PENGGANTI MIRYAM
Desa Jalatunda yang tadinya gelap gulita, mendadak terang benderang. Kobaran api yang menyala semakin besar membakar kayu-kayu kering dan rumah-rumah warga yang kosong tak berpenghuni. Karangkobar sampai terbengong sendiri menjumpai keadaan itu. Kemana semua penduduk Jalatunda perginya? Batinnya.
Rumah-rumah dan bangunan megah yang tak terawat, pepohonan dan rerumputan yang tumbuh liar di sana-sini, menyisakan pertanyaan mendalam di hati Dewa Kemarahan itu. Teringat saat kecil dulu pernah diajak ayahnya berkunjung ke Jalatunda, desa yang sangat makmur dan kaya. Jalanannya bersih dan rapi, penduduknya ramah, setiap singgah ke rumah pasti ada banyak makanan di dalamnya. Bahkan saking kayanya, desa Jalatunda juga memiliki pasukan keamanan yang dibayar dengan kas Desa.
“Miryam! Santika! Keluar kalian semua!” teriaknya.
Suaranya menggema, menabrak dinding udara dan memantul kembali kepadanya.
“Miryam! Santika! Atau siapapun yang masih bernafas di desa ini, keluarlah kalian semua!!” teriaknya lebih keras.
Lalu dia terdiam , menunggu jawaban. Tapi sepi tetap menyelubungi desa itu, bahkan suara hewan malam pun sama sekali tak terdengar. Aneh, batinnya.
“Miryam! Santika! Wush! Keluar!”
Selarik api merah yang sangat panas melesat dari kedua matanya. Membakar rumah-rumah yang ada di depannya. Memaksa Miryam dan Santika untuk keluar dari persembunyiannya. Lalu tubuhnya kembali terbang keudara. Mulutnya terus berteriak-teriak dan mengumpay nama Miryam dan Santika, sambil menebarkan api mautnya. Sebaran sinar panas seperti pita terpancar kesana-kemari, melibas dan membakar habis rumah-rumah, pepohonan dan rerumptan yang terkena sebarannya.
***
Pagi yang cerah. Matahari bersinar terang dengan cahayanya yang menghangatkan hati. Menghadirkan suasana gembira bagi siapapun yang menyambut kedatangannya. Suasana yang damai nampak dari kehidupan penduduk di Kademangan Wanasepi. Sejak ayam jantan berkokok, mereka sudah mulai menyibukkan dirinya dengan kegiatan rutin yang menjadi keseharian mereka.
Setelah meneguk kopi panas dan makan ‘godhogan boled’, makanan khas pedesaan yang terbuat dari ubi kayu, para penduduk yang sebagian besar petani mulai pergi untuk mengerjakan ladangnya. Dengan peralatan cangkul, sabit serta keranjang di kepalanya mereka bergegas menyambut matahari sambil berharap tanaman mereka semakin tumbuh subur.
Di Dalem Kademangan, Riyani sudah sibuk memasak di dapur. Memang dia harus mempersiapkan makanan sejak pagi, karena biasanya ada tamu-tamu ayahnya yang datang pagi-pagi. Ayah biasanya mengajak mereka makan pagi di ruang amperan sambil menikmati bunga-bunga yang tumbuh di taman. Namun pagi itu dia kedatangan tamu yang penampilannya ‘aneh’.
“Kulanuwun!” sapanya dengan nada yang kaku.
Sepertinya tamunya kali ini tidak biasa berbasa-basi. Riyani mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seorang kakek tua, dengan tubuh tinggi tegap, berdiri gagah di depan pintu. Pakaiannya putih-putih, rambutnya, jambang, kumis dan jenggotnya yang panjang menjuntai juga berwarna putih. Tapi yang paling aneh, kedua matanya tertutup kain merah menyala.
“Monggo,” sahut Riyani halus. “Tapi maaf, kalau mau bertamu tunggulah sebentar, Romo Demang sedang pergi ke ladang memeriksa persediaan air untuk para petani.”
Lelaki tua itu nampak terhenyak. Suara Riyani begitu lembut dan halus. Lelaki yang selalu menutup matanya dengan kain itu rupanya bisa menebak kecantikan perempuan hanya dari suaranya saja. Dan dia tahu, Riyani adalah gadis desa yang sangat cantik. Suaranya begitu menggetarkan jiwanya.
“Baiklah,” lelaki tua itu menganggukkan kepalanya. “Aku akan pergi dulu. Sampaikan pada ayahmu, sahabatnya Karangkobar datang untuk berkunjung.”
Riyani menganggukkan kepalanya. Ternyata kakek tua itu adalah sahabat ayahnya. Hm, tapi kok penampilannya aneh gitu ya?
***
“Apa!”
Seperti mendengar petir di siang bolong, tubuh Demang Wanasepi hamper terloncat ke belakang karena kaget mendengar apa yang disampaikan puterinya, Riyani.
“Karangkobar katamu?”
Riyani menganggukkan kepalanya. Ada rasa cemas yang tersirat dari wajah ayahnya.
“Kenapa Romo? Dia temanmu kan?” tanya gadis itu heran.
Demang Wanasepi menganggukkan kepalanya. Karangkobar memang dikenalnya dahulu saat dia masih nyantrik atau belajar di padepokan milik Begawan Wanayasa, ayah Karangkobar. Sebenarnya orangnya baik dan lurus, dan masuk dalam jajaran pendekar aliran putih yang disegani. Saat dia masih nyantrik, Karangkobar sudah menjadi pendekar.
Tapi Karangkobar sangatlah pemarah. Dan kalau sudah marah, dia tidak ingat lagi siapa kawan dan siapa lawan. Semua yang menghalangi jalannya akan dibakar habis.
“Eh, Riyani, sebaiknya kau mengemasi pakaianmu. Pergilah sementara keluar kademangan, aku akan menyuruh Jogoboyo untuk mengantarmu,” kata ki Demang.
Riyani menatap wajah ayahnya semakin heran.
“Ada apa Romo? Kenapa Riyani harus pergi? Apa ada bahaya yang mengancam?”
Pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan gadis cantik yang mencintai Santika itu.
“Romo belum bisa menjelaskan sekarang, karena kamu harus pergi secepatnya.”
Ki Demang memanggil sais dan pengawal Kademangan untuk mengantarkan Riyani ke rumah bibinya, di Kebondalem. Lalu dia mempersiapkan segalanya. Sudah lama sekali Karangkobar menyendiri bertapa di Gua Batu Hitam diatas pegunungan Sewu. Kabarnya dia sudah mundur dari dunia persilatan. Tapi kenapa dia muncul lagi?
Tak lama,lelaki tua yang diceritakan puterinya datang lagi. Ki Demang langsung menyambutnya.
“Ternyata benar kau yang datang, kakang Karangkobar. Sudah lama sekali sejak kita berpisah duapuluh tahun yang lalu,” katanya.
“Kau tidak terkejut melihatku Wanasepi?”
“Tentu saja aku terkejut, tapi anakku tadi sudah menceritakan kedatanganmu, sehingga aku tidak terlalu terkejut lagi.”
Karangkobar tersenyum. Hidungnya mencium bahu harum tubuh perempuan yang masih belia di sekitar rumah itu.
“Ada apa kakang? Apakah ada hal yang sangat mendesak sehingga kau turun gunung dari pertapaanmu?”
“Ya. Ada dua hal penting yang perlu aku sampaikan kepadamu.”
Demang Wanasepi terdiam menyimak kata-kata putera gurunya itu.
“Yang pertama aku sedang mencari Santika. Begundal yang telah berani membawa kabur Miryam, isteri kakakku Panembahan Somawangi. Apakah dia disini?”
Demang Wanasepi terkesiap kaget saat mendengar Karngkobar menyebut nama Santika.
“Santika? Kenapa kakang berprasangka orang itu ada disini?” ki Demang balik bertanya.
“Jawab saja pertanyaanku dengan jujur Wanasepi. Kau tahu kan siapa aku?”
Ki Demang menghela nafas panjang.
“Ya. Santika memang pernah kesini. Bahkan tinggal lama disini, lima tahun lebih. Tapi dia datang kesini untuk berobat, sampai dia sembuh dari penyakitnya. Kemudian pamit pulang ke Jalatunda. Diluar itu, aku tidak tahu urusannya dengan isteri kakakmu.”
Karangkobar mulai mengumpat. Suaranya mulai meninggi.
“Wedhus Gembel! Kalau kau tidak tahu urusannya, kenapa kau memerintahkan saismu untuk mengantarnya pulang dan lewat tanah perdikan? Kau bohong!”
Wanasepi terdiam lagi, rasanya sia-sia membantah perkataan Karangkobar. Tapi dia waspada.
“Maafkan aku kakang Karangkobar kalau kau menganggapku berbohong. Terus apa lagi yang kau inginkan dariku?”
“Yang kedua! Aku akan melamar puterimu!”
“Apa!”
Untuk kali kedua Demang Wanasepi benar-benar terkejut.
“Puterimu akan aku nikahkan dengan kakakku. Menggantikan kedudukan Miryam sebagai isteri penguasa tanah Perdikan, Panembahan Somawangi.”
Suara Karangkobar begitu dingin, sombong dan penuh tekanan. Seolah melarang ki Demang untuk menolak kemauannya melamar putrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Neng Dasa
👍🏻👍🏻
2021-11-30
0
Jimmy Avolution
Ayo....
2021-10-29
1
🦊⃫⃟⃤Haryani_hiatGC𝕸y💞🎯™
kok aku ga asing ya dengan Jalatunda... kek pernah dengar ya
2021-09-25
2