BANGKIT SETELAH KEHILANGAN
“Jika hati ini tak mampu membendung segala kerinduan, apa daya tak ada yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu."
Bibir Panembahan Somawangi Nampak terus bergerak mengucapkan doa-doa dan kalimat pujian untuk Sang Hyang Widhi Wasesa. Semakin bertambahnya usia, semakin menyadarkan dirinya bahwa hidup hanyalah tipuan rasa semata. Semua keinginannya bisa dia raih, hanya satu yang gagal di rengkuhnya, rasa cintanya kepada Miryam bertepuk sebelah tangan.
“Oh Dewata Yang Agung, maafkanlah kesalahanku karena telah membuatnya menderita. Semayamkan rasa bahagia di dalam hatinya. Biarkan aku yang memikul beban ini, memendam kerinduan sampai ajal menjemputku,” bisiknya.
Tok! Tok! Tok!
Salah satu pelayannya masuk dan memberitahukan kedatangan eyang Karangkobar dan Roro Lawe.
“Persilahkan mereka masuk,” ujarnya.
Pelayan itu keluar kamar lagi. Sesaat kemudian kedua saudaranya masuk ke dalam kamarnya yang cukup luas. Diantara putera dan puteri Begawan Wanayasa, yang tertarik dengan kehidupan keramaian hanyalah Panembahan Somawangi.
Pada usia muda dia meninggalkan padepokan untuk mengabdikan dirinya menjadi prajurit di Kotaraja. Sebagai putera Begawan Wanayasa yang sangat dihormati, disamping kemampuan olah kanuragannya yang mumpuni Somawangi muda mendapat pangkat Lurah. Tugasnya memimpin satu kompi prajurit khusus dalam operasi penyergapan dan pembumihangusan daerah-daerah musuh.
Keberhasilannya dalam setiap operasi, membuatnya diangkat sebagai Senopati, salah satu panglima perang kerajaan dibawah perintah langsung Rangga dan Rakyan Tumenggung. Dalam peperangan besar menaklukkan kadipaten Surabaya, Somawangi dan para prajuritnya berhasil menerobos benteng pertahanan musuh. Atas jasanya Sultan, langsung memberikan hadiah berupa tanah perdikan, daerah otonom yang bebas di pimpin oleh Somawangi. Diperbolehkan membentuk angkatan perang sendiri, namun tetap bersumpah setia kepada kerajaan.
Sedangkan kedua saudaranya tidak tertarik masuk kemiliteran. Mereka lebih suka malang melintang di dunia persilatan. Kalau Somawangi menguasai kekuatan inti air yang dikenal ajian Tirtanala, maka adiknya Karangkobar menguasai kekuatan inti api yang dikenal sebagai Geni Sawiji. Karakternya mudah panas dan suka marah-marah. Dalam keadaan apapun, Karangkobar selalu mengumpat. Di dunia persilatan dia dijuluki Dewa Kemarahan.
Sedangkan Roro Lawe adalah Dewi Pengetahuan karena pengetahuannya akan berbagai ilmu. Bahkan orang-orang juga menjulukinya si Segala Tahu. Tanyakan apa saja yang menjadi masalahmu, dia pasti memiliki jalan keluarnya. Dia menguasai kekuatan inti angin, yang dikenal sebagai Bayu Godham. Walaupun sebenarnya dia juga menguasai Tirtanala dan Geni Sawiji. Tapi karena jarang berkelahi dia lebih dikenal karena kecerdasannya.
“Salam saudaraku Somawangi!” ucap kedua saudaranya.
“Selamat datang kakakku Roro Lawe sang Dewi Pengetahuan dan adikku Karangkobar sang Dewa Kemarahan,” sahut Panembahan.
Senyum tipis tersungging di wajahnya yang nampak begitu rapuh.
“Senang sekali bertemu kalian kembali,” bisiknya lirih.
Roro Lawe berjalan menghampiri tubuh adiknya yang terbaring lemah. Di peluknya tubuh itu dengan rasa sayang. Terakhir mereka bertemu saat Panembahan berkunjung dengan Miryam, yang masih menjadi istrinya. Saat itu tubuh Panembahan Somawangi masih terlihat gagah dan berwibawa.
“Apa yang telah dilakukan perempuan itu kepadamu adikku?” tanya Roro Lawe.
Mata Eyang Karangkobar terlihat merah bergejolak, dan rambutnya nampak membara karena menahan kemarahan.
“Perempuan Sundal dan kekasihnya itu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi denganmu, kakang Soma,” ujar Karangkobar geram.
Roro Lawe memegang kedua pundak Panembahan, mengalirkan hawa hangat dari kekuatan Geni Sawiji. Membebaskan tubuh Panembahan dari kekuatan Tirtanala yang membuatnya lumpuh. Sesaat kemudian kedua kaki dan tangannya sudah bisa digerakkan kembali. Bahkan Roro Lawe menarik tubuhnya untuk duduk dengan tegak.
“Bangunlah Somawangi. Tidak pantas seorang pemimpin sepertimu menyerah menunggu takdir kematian,” ujar Roro Lawe. “Kau adalah Senapati, panglima perang tangguh kebanggaan Mataram. Kanjeng Sultan pasti kecewa kalau melihat keadaanmu begini.”
Panembahan Somawangi terdiam. Kata-kata kakak perempuannya itu menyentuh hatinya. Kemudian Roro Lawe membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Nampak para lurah, pemimpin prajurit tanah perdikan duduk bersimpuh di luar kamarnya.
“Lihatlah para prajuritmu yang setia menunggu perintahmu. Di alun-alun, pasar, di pendopo rakyat dan abdi menunggu titahmu. Apa kau tak memikirkan penilaian rakyatmu terhadap pemimpinnya?” kata-kata Roro Lawe semakin menohok. “Panembahan Somawangi yang Agung, sedang terpuruk karena cinta? Karena isterinya dibawa kabur oleh kekasihnya?”
Panembahan Somawangi tersentak. Matanya tajam menatap Roro Lawe.
“Bangkitkan kemarahanmu Somawangi. Tunjukkan ketangguhanmu sebagai panglima perang yang tak pernah terkalahkan. Tunjukkan bahwa rakyat masih memilki kebanggaan terhadap pemimpinnya!” tegas Roro Lawe.
“Tidaaak!! Aaarghh!!!” teriak Panembahan Somawangi.
Kata-kata Roro Lawe berhasil membakar kembali semangat hidupnya. Jiwa petarungnya yang sombong, angkuh dan dingin perlahan tumbuh kembali.
“Kembalikan kekuatanku kembali. Berikan aku kekuatan Tirtanala, kakakku Roro Lawe,” ucapnya.
Nada suaranya terdengar dingin dan datar.
Roro Lawe terdiam sejenak, menatap api yang hidup kembali di kedua mata adiknya.
“Kalau kau ingin Tirtanalamu kembali, kau harus pergi ke Dataran Tinngi Dieng, negeri para Dewa. Minta maaf di depan makam ayah, lalu bersemedi di bawah Curug Plethuk disaat Purnama. Mohon berkah para Dewa agar mengembalikan kekuatanmu.”
Panembahan Somawangi berdiri tegak. Dia siap menjalani kembali ritual mendapatkan kekuatan Tirtanala dari awal. Dia akan menempuh perjalanan sunyi demi kekuatan dahsyat yang dilepasnya demi cintanya kepada Miryam.
Akhirnya mereka berbagi tugas. Panembahan Somawangi akan pergi ke negeri Kahyangan, di Dataran Tinggi Dieng, tempat para Dewa bersemayam. Roro Lawe akan memimpin tanah Perdikan untuk sementara. Sedangkan Eyang Karangkobar akan mencari jejak keberadaan Miryam dan Santika.
Tubuh Eyang Karangkobar diselubungi api. Sesaat kemudian Dewa Kemarahan itu melesat meninggalkan Dalem Perdikan Somawangi menuju desa Jalatunda. Tujuannya disamping melacak jejak orang yang telah mengkhianati kakaknya juga akan membumuhanguskan seluruh penduduk Jalatunda sampai tak bersisa.
***
Malam itu langit diatas Jalatunda sangat gelap. Awan hitam menutupi sebagian besar bentang alamnya yang begitu kelam, membuat suasana begitu mistis dan mencekam. Tidak ada suara manusia atau desah napas yang terdengar. Sudah berbulan-bulan Jalatunda menjadi desa mati sejak seluruh penduduknya di jadikan santapan oleh Nyai Nagabadra, siluman naga penguasa hutan Kecipir. Manusia terakhir yang hidup adalah Miryam, sudah membekukan tubuhnya bersama jasad suaminya di bawah pohon cinta.
Namun mendadak langit menjadi terang benderang. Gulungan api sebesar gubuk di sawah melesat membelah kegelapan langit Jalatunda. Bola api turun dengan cepat, menabrak gerbang masuk desa hingga habis terbakar. Terus menggulung, meninggalkan jejak kebakaran hebat di setiap benda yang di lewatinya. Sesaat kemudian gulungan api itu berhenti di depan bangunan besar, Dalem Kelurahan Desa Jalatunda.
Kobaran api semakin mengecil dan berganti dengan sosok tubuh manusia yang berdiri tegak memandang bangunan kosong itu. Walaupun apinya sudah padam, tapi sekujur tubuh eyang Karangkobar tetap mengeluarkan cahaya merah membara. Jangankan manusia, iblis yang tercipta dari api pun mungkin bergidik melihat sosoknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Neng Dasa
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2021-11-30
0
Jimmy Avolution
Terus....
2021-10-29
1
🦊⃫⃟⃤Haryani_hiatGC𝕸y💞🎯™
aku suka part pembukanya kak.. semangat 💪
2021-09-25
1