CINTA AYAH
Ayah mungkin tak pandai menunjukkan rasa cinta pada anak-anaknya, tapi dibalik itu semua ia diam-diam berjuang dan berkorban demi masa depan mereka.
Tidak ada pohon yang bergoyang di pagi itu. Tidak ada angin yang mendesah, tidak ada dedaunan yang bergesekan. Suasana begitu tenang dan sepi. Memberi ruang rindu setiap hati yang mengabdikan dirinya di jalan cahaya. Seperti kau menemukan sebuah harapan setelah kehilangan pegangan, dan jatuh di ruang sunyi.
Panembahan Somawangi duduk terpekur diatas sebuah bangunan batu mirip candi. Pada dinding-dindingnya terukir indah relief perjalanan hidup ayahnya Begawan Wanayasa. Di atas sebuah bukit, di dataran tinggi Dieng, ayahnya bersemayam. Menjalani tidur panjang dalam mimpi yang indah, setelah semua kewajiban hidupnya tertuntaskan.
Maka disitulah tempat yang paling tepat untuk menyuarakan kepedihan. Mengadukan derita hidupmu pada orang yang selalu melindungimu saat masih bersama. Sambil meneteskan air mata tanpa merasa malu, karena dia biasa melihat tangismu.
“Maafkan aku ayah, aku datang kembali. Mungkin aku pernah membawa cinta yang salah ke hadapanmu. Karena aku hanya menuruti keinginanku. Mengarang dusta demi mendapatkan cinta yang nyata. Tapi berakhir pada mimpi yang berkepanjangan dan menyakitkan. Karena aku tak bisa melupakannya, melupakan cinta yang sengaja aku pendam terlalu dalam di relung jatiku,” batin Panembahan. “Aku bahkan tak bisa lagi membedakan, apakah ini cinta atau kutukan?”
Ada titik air yang mengkristal di sudut matanya. Dan Panembahan membiarkannya terjatuh membasahi jubahnya.
“Aku tak pernah bisa melupakan bayang-bayangnya walaupun dia telah menyakitiku begitu rupa. Sekarang apa yang harus aku lakukan ayah?”
Bibirnya terus melantunkan puja-puja, berharap ada keajaiban mengembalikan cintanya walau apapun bentuknya. Membangun kembali kebanggaannya sebagai seorang laki-laki yang dicintai dengan sepenuh hati. Merekonstruksi nama baiknya sebagai seorang pendekar tangguh dan panglima perang yang ditakuti. Menunjukkan pada dunia bahwa dia telah menjelma menjadi sosok manusia baru dengan segala keangkuhan dan keteguhannya.
Lalu sudut matanya menangkap cahaya itu. Cahaya bintang yang melesat dilangit, menabrak dinding udara, lalu meledak dan terbelah menjadi dua. Satu cahaya berwarna mengarah jatuh mengarah ke bukit dimana makam ayahnya berada. Satu cahaya lagi terjatuh entah dimana. Melesat ke bagian bumi lainnya.
Bum!
Terdengar ledakan keras. Panembahan Somawangi bergegas memburunya. Dengan lincah kakinya turun ke bawah bukit tempat jatuhnya benda langit tadi. Sebuah lubang besar seperti kawah kecil nampak terbentuk akibat benturan batu meteor tadi. Di pusat lubang, terlihat sepihan batu sebesar jempol orang dewasa bersinar memantulkan cahaya matahari pagi. Tanpa ragu, Panembahan turun ke dalam lubang dan mengambilnya.
“Hm, benda apa ini?” batinnya.
Batu Kristal berbentuk setengah lingkaran itu begitu halus seperti batu pualam yang baru di gosok. Panembahan mengamatinya dengan seksama. Penglihatan batinnya tak setajam dulu lagi, setelah dia melepaskan seluruh kekuatannya.
“Saat purnama nanti, aku akan membawanya ke air terjun Curug Plethuk untuk mengetahui kandungannya,” batinnya.
Tiba-tiba dia teringat dengan doa-doa yang dia ucapkan didepan makam ayahnya tadi. Firasatnya mengatakan para Dewata mendengar keluhan dan jeritan hatinya, sehingga memberikan batu ini kepadanya. Dia yakin ada misteri yang terkandung didalamnya, yang akan menyelesaikan semua kegundahan hatinya.
“Aku harus mencari pecahan batu yang satunya. Siapapun yang memilikinya, kalau laki-laki akan aku jadikan saudaraku, kalau perempuan aku jadikan isteriku,” batinnya.
Lalu tiba-tiba terdengar suara petir di pagi itu diiringi desir angin yang lembut menerbangkan anak-anak rambutnya yang panjang.
“Jleger!”
***
Riyani duduk bersimpuh di dalam gerobak yang membawanya. Sesuai perintah ayahnya, Demang Wanasepi, dia akan diantar oleh para pengawalnya ke rumah bibinya di dukuh Kebondalem. Wajahnya terlihat gelisah, duduknya pun tak tenang. Sebentar-sebentar kepalanya menengok ke belakang. Perasaannya mengatakan ayahnya sedang dalam ancaman bahaya yang dapat merenggut nyawanya.
“Kita kembali, ki Jogoboyo!” ujar Riyani tiba-tiba.
Ki Jogoboyo, kepala keamanan, yang duduk di samping sais yang mengarahkan gerobak, langsung menoleh.
“Bagaimana cah ayu?”
“Kita kembali ki. Putar balik gerobaknya,” kata Riyani lagi.
Jogoboyo mengernyitkan keningnya.
“Kenapa? Ada yang ketinggalan di rumah?” tanya ki Jogoboyo. “Katakan saja, nanti biar salah satu pengawal yang mengambilnya di rumah.”
Riyani menggeleng cepat.
“Bukan itu ki? Pokoknya kita harus balik secepatnya. Ayah dalam bahaya?”
Wajah ki Jogoboyo terkesiap kaget. Bahaya? Perasaan tadi di rumah baik-baik saja.
“Bahaya apa? Tadi ayahmu berpesan agar aku mengantarmu ke Kebondalem. Katanya kamu kangen ketemu sama bibimu?”
Riyani menggelengkan kepalanya kembali. Lalu dia melompat dari gerobak dan berlari kembali ke rumahnya. Para pengawal segera mengejarnya. Riyani berhenti lalu berkata kepada salah satu pengawalnya.
“Turun! Aku pinjam kudamu!” perintahnya.
Wajahnya nampak marah, matanya melotot. Tanpa banyak tanya, pengawal itu langsung turun dan memberikan kudanya kepada gadis cantik itu.
“Monggo, ndoro,” ucapnya.
Riyani dengan sigap naik ke atas pelana. Lalu kaki kanannya menyentak perut kuda itu. Dengan cepat kuda itu berlari membawa junjungannya kembali ke Dalem Kademangan.
“Heya!”
Beberapa saat kemudian dia sudah sampai di luar Dalem Kademangan. Dia turun lewat kebun belakang. Suasana nampak masih sepi. Hm, nampaknya tamu ayah belum datang, batinnya. Kakinya melangkah pelan, hamper tanpa suara, takut ayah mendengarnya. Setelah itu dia masuk ke rumah dan bersembunyi di bilik belakang ruang tamu. Terlihat ayahnya sedang duduk menunggu kedatangan sahabatnya.
Tak lama, lelaki tua yang tadi pagi menemuinya datang lagi. Ayahnya langsung menyambutnya.
“Ternyata benar kau yang datang, kakang Karangkobar. Sudah lama sekali sejak kita berpisah duapuluh tahun yang lalu,” katanya.
“Kau tidak terkejut melihatku Wanasepi?”
“Tentu saja aku terkejut, tapi anakku tadi sudah menceritakan kedatanganmu, sehingga aku tidak terlalu terkejut lagi.”
Percakapan mereka terdengar jelas di telinga Riyani.
“Ada apa kakang? Apakah ada hal yang sangat mendesak sehingga kau turun gunung dari pertapaanmu?” tanya Ki Demang lagi.
“Ya. Ada dua hal penting yang perlu aku sampaikan kepadamu. Yang pertama aku sedang mencari Santika. Begundal yang telah berani membawa kabur Miryam, isteri kakakku Panembahan Somawangi. Apakah dia disini?”
Riyani terkesiap kaget saat mendengar orang tua itu menyebut nama lelaki yang sangat dicintainya itu. Apa? Kakang Santika melarikan isteri Panembahan Somawangi? Jadi, Miryam sudah punya suami?
Mendadak pikiran gadis itu seperti melayang dan berputar-putar. Dia tak menyangka kakang Santikanya bisa berbuat senista itu. Melarikan isteri orang? Hal yang benar-benar tak bisa di percaya. Untuk sesaat dia tak mempedulikan percakapan ayahnya lagi, sampai dia mendengar lelaki itu mengumpat ayahnya dengan marah.
“Wedhus Gembel! Kalau kau tidak tahu urusannya, kenapa kau memerintahkan saismu untuk mengantarnya pulang dan lewat tanah perdikan? Kau bohong!”
“Maafkan aku kakang Karangkobar kalau kau menganggapku berbohong. Terus apa lagi yang kau inginkan dariku?”
“Yang kedua! Aku akan melamar puterimu!”
“Apa!”
“Puterimu akan aku nikahkan dengan kakakku. Menggantikan kedudukan Miryam sebagai isteri penguasa tanah Perdikan, Panembahan Somawangi.”
Tubuh Riyani bergetar hebat mendengar kata-kata lelaki tua yang penuh ancaman itu. Ayahnya tidak mungkin memperbolehkan lelaki tua itu membawa dirinya. Dia yakin ayahnya lebih suka bertarung berkalang tanah daripada menyerahkan kehormatan puterinya kepada lelaki asing itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Neng Dasa
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2021-11-30
0
Jimmy Avolution
Sippp....
2021-10-29
1
Yukity
mampir kesini...
like😍
2021-10-04
1