4

Bagian 4

Thifa POV.

🌸🌸🌸

Hari ini adalah hari yang paling menentukan dan mendebarkan buatku. Setelah melaporkan kasus tabrak lari beberapa tahun lalu. Atas kecelakaan yang menimpa putraku Zain.

Sebenarnya aku pernah melaporkan kejadian itu. Namun, polisi kehilangan jejak. Karena di taman tersebut tak ada cctv sebagai alat bukti. Pengakuanku yang melihat plat nomor itu pun tak diyakini. Karena setelah dicari ternyata pemilik mobil itu sudah meninggal.

Aku nggak percaya, kasus itu akhirnya tak pernah berlanjut sampai saat ini. Beruntung, Allah masih memberiku petunjuk lagi. Mungkin ini adalah jawaban atas doaku selama ini. Untuk mempertemukan aku dengan sang pelaku.

Kulihat Zain sedang tertidur lelap di ranjangnya. Waktu masih menunjuk ke pukul satu siang. Akan kutinggal ia sebentar menuju kantor polisi.

Setengah jam yang lalu polisi menelponku. Memberi kabar kalau pelaku sudah ada di tempat. Dan aku diminta untuk datang.

Kuusap perlahan kening Zain, lalu kukecup lembut. Wajahnya kembali mengingatkanku akan sang ayah. Mas Athar,  apa kabarmu di sana? Anakmu kini sudah besar. Maafkan aku, karena aku tak bisa menjaganya. Maafkan aku karena telah lalai dan telah membuatnya tak bisa melihat lagi. Kini, akan aku temui orang itu.

Tanpa terasa pipiku menghangat, air mata perlahan menetes. Setiap kali aku mengingat kembali akan almarhum suamiku.

Ya Allah berikan ia tempat terindah di sisiMu. Aamiin.

Kuusap air mata ini dengan punggung tangan. Dan aku beringsut dari ranjang.

"Thifa, kamu sudah siap?" tanya Abi yang sudah berdiri di tengah pintu.

Aku mengangguk. "Sudah, Abi."

"Ya sudah, ayo! Ustadz Fikri sudah menunggu di luar." Abi melangkah menuju keluar.

Aku pun bergegas keluar kamar, kulihat Ummi menghampiriku.

"Hati-hati ya, Nduk. Jangan gegabah. Kalau bisa diselesaikan dengan musyawarah," ujarnya seakan tahu apa yang aku kehendaki.

"Insya Allah, Ummi."

Ummi mengusap bahuku.

Aku pun keluar kamar, menitipkan Zain pada Ummi. Kami pergi bertiga, aku, Abi dan Ustadz Fikri. Sengaja aku memberitahu Abi. Karena aku nggak mungkin pergi sendiri tanpa mahromku. Sementara Ustadz Fikri ikut untuk melindungi kami. Dan membantuku apabila nanti ada yang aku tidak mengerti masalah hukum. Karena kebetulan Ustadz Fikri punya keluarga sebagai pengacara.

🌸🌸🌸

Kami tiba di kantor polisi tepat pukul setengah dua siang. Perjalanan dari rumah ke sini tidak begitu jauh memang. Jaraknya hanya empat kilometer.

Setelah Ustadz Fikir memarkir kendaraannya, kami pun turun. Aku berjalan mengikuti langkah Abi, sementara Ustadz Fikri berjalan di belakangku.

Sesampainya di dalam, aku diminta duduk di hadapan polisi yang sudah menunggu. Di sebelah terlihat seorang pria yang tak asing lagi. Ya, pria pastinya pria yang telah menabrak anakku.

"Jadi kamu yang laporin saya ke sini?" tanyanya.

Aku menoleh dan menatap tajam, wajahnya tanpa dosa sekali dia. Kalau tidak ingat aku wanita, dan di kantor polisi. Sudah kutampar wajahnya itu.

"Kamu ada masalah apa si sama saya? Saya nggak ngelakuin apa pun seperti yang kamu laporkan," ucapnya lagi.

Aku mendengar ia mendengkus kesal, lalu membuang muka. Gimana aku bisa percaya kalau dia bukan pelakunya. Melihat tampang dan pakaiannya saja sudah seperti kriminal.

"Bagaimana, Pak. Hasil penyelidikannya?" tanyaku pada polisi di hadapan kami.

"Maaf, Bu. Mobil yang dimiliki saudara Taufan memang mobil yang pernah menabrak putra Ibu. Tapi, bukan saudara Taufan pelakunya," jelas pak polisi membuatku melotot.

"Mana bisa mobil itu jalan sendiri, Pak?" tanyaku penasaran.

Kulirik pria di sebelahku yang tengah tertawa. Lalu ia kembali diam menatap ke depan. Begitu pula denganku yang meliriknya dengan sinis. Bisa-bisanya dia tertawa, sementara anakku di rumah tiap kali menangis hanya karena dia ingin bermain bersama dengan teman-temannya seperti dulu.

"Saudara Taufan membeli mobil tersebut dari seseorang, yang diduga pelaku penabrakan itu. Dan kami sudah menangkap pelakunya. Dia ada di dalam, kalau ibu mau lihat bisa saya antar." Pak polisi menatapku.

Apa?

"Jadi bukan dia pelakunya?" tanyaku meyakinkan.

"Bukan, Bu. Mari saya antar ke dalam. Orang itu sudah kami amankan."

Aku bangkiy berdiri mengikuti polisi tadi. Pria di sebelahku juga ikut bangkit.

"Kamu ngapain ngikutin saya?" tanyaku pada pria di belakangku.

"Loh, saya juga pengen tahu siapa pelakunya."

"Buat apa?"

"Ya penasaran, sama kaya kamu."

Aku menghela napas pelan, kubiarkan dia berjalan mengikutiku. Abi dan Ustadz Fikri juga melangkah mengikuti polisi.

Kami tiba di depan ruangan jeruji besi. Seorang pria paruh baya terlihat duduk di sudut ruangan. Tatapannya kosong, dengan rambut cepak dan kulit yang hitam legam.

"Itu orangnya, Bu." Pak polisi menunjuk ke arah pria itu. Satu-satunya orang yang ada di dalam.

Pria itu menoleh lalu bangkit berdiri, dia menghampiriku hendak meraih tanganku.

"Bu, maafkan saya. Sungguh saya nggak bermaksud kabur waktu itu. Maafkan saya, Bu. Saya cuma takut warga menghakimi saya," ucapnya dengan nada sendu.

"Bapak tahu akibatnya apa atas kecelakaan itu? Anak saya yang saya sayangi itu buta, Pak! Bapak tahu rasanya nggak bisa melihat? Bapak tahu gimana perasaan kami saat itu? Bahkan saya sempat menuduh orang lain yang melakukannya." Aku menatap pria paruh baya itu.

Tanpa terasa air mataku kembali menetes, setiap kalo mengingat kejadian itu.

"Nih!" Pria di sebelahku menyodorkan sebuah sapu tangan.

Aku melirik sekilas, malu sebenarnya. Sudah menuduh dia yang tidak-tidak, sekarang justru dia menawarkan benda yang kubutuhkan untuk menghapus jejak air mata di pipiku ini.

"Udah pake aja, nggak usah sungkan," ujarnya lagi.

Aku mengusap wajahku dengan punggung tangan. "Makasih," ucapku menolaknya.

Terdengar dia menghela napas kasar.

"Bu, tolong maafkan saya. Saya punya anak dan istri yang harus saya nafkahi. Kalau saya di sini, bagaimana dengan mereka, Bu. Saya udah dipecat jadi supir karena kecerobohan saya itu. Saya hanya ingin bebas, Bu. Agar anak dan istri saya tidak terlantar."

Pria di hadapanku terus memohon. Abi tiba-tiba menghampiriku, mengusap bahuku pelan.

"Kamu pikirkan baik-baik, Nduk," ucap Abi.

"iya, Abi."

Akhirnya aku membalik badan. Bukan maksud aku tak perduli dengan keluarga bapak itu. Atau aku tak punya hati nurani. Aku melakukan ini untuk anakku. Paling tidak hukuman itu setimpal dengan apa yanh diperbuat. Melarikan diri bukan penyelesaian terbaik. Seandainya saja waktu itu bapak ini ada dan mau menolong atau membantu kami membawa Zain ke rumah sakit. Mungkin aku juga nggak akan tega membawa kasus ini ke jalur hukum. Karena murni kelalaian.

"Maafkan saya, Pak. Hukum tetap berjalan. Semoga hakim nanti meringankan hukuman Bapak." Aku melangkah menjauh.

"Maaf ustadzah," panggil Ustadz Fikri saat aku sudah berada di luar.

Aku menoleh, loh ke mana Abi dan pria tadi. Hanya ustadz Fikri yang ada bersamaku saat ini.

"Ustadz, Abi ke mana?" tanyaku celingukan.

"Eum, ngobrol dengan pria tadi. Kamu kenal?"

Aku menggeleng, Abi kenal dengan pria itu? Aku jadi penasaran.

Aku melangkah masuk kembali ke dalam, kulihat Abi sedang berbicara dengan pria tadi. Entah siapa namanya. Yang jelas mereka seperti sudah kenal lama. Kenapa Abi nggak pernah cerita kalau kenal sama tuh cowok.

"Thifa, sini!" panggil Abi yang melihatku berdiri memandang ke arah  mereka.

Aku jadi kikuk, karena belum meminta maaf pada pria itu. Sudah menuduhnya menabrak Zain. Kuberanikan diri berjalan ke arah mereka.

"Thifa, kenalin ini Nak Taufan. Nah Nak Taufan, ini anak Abi, Thifa."

Aku mengatupkan kedua tangan di dada, saat pria itu mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Kulihat matanya sekilas, entah kenapa aku merasa mata itu mirip sekali dengan Mas Athar

Aku mencoba menepis semuanya, nggak Thifa. Mas Athat sudah meninggal, dan nggak mungkin hidup lagi. Terlebih penampilan keduanya saling bertolak belakang.

Mas Athar yang klimis, Wangi, dan jutek bicara sedikit kasar. Pertama bertemu saja sudah memanggil dengan sapaan loe gue. Sementara pria di depanku, meski penampilannya urakan. Namun, cara bicaranya begitu lembut dan sopan. Bahkan ia tak pernah meninggikan nafa suaranya padahal jelas-jelas aku tadi sudah menuduhnya.

"Ma-maaf kalau saya tadi sudah menuduh kamu," ucapku gugup.

"Iya, Mbak Thifa. Nggak apa-apa."

Duh, kenapa dipanggil mbak sih? Apa wajahku sudah setua itu.

"Kenapa, Mbak? Ada masalah?" tanyanya lagi.

"Eum,  enggak. Abi, ayo kita pulang. Kasihan Zain sama Ustadz Fikri udah nunggu di parkiran."

Aku langsung berbalik badan. Dan melangkah keluar kantor polisi lagi. Menuju ke parkiran. Sesampainya, aku langsung naik ke dalam mobil. Tak lama Abi menyusul.

Pria bernama Taufan itu sedang berjalan ke arah parkiran motor. Aku mengernyit, kenapa dia naik motor?  Ke mana mobilnya?

Mobil yang dikendarai Ustadz Fikri mulai melaju, meninggalkan kantor polisi.

"Abi, Abi kenal di mana sama cowok tadi?" tanyaku penasaran.

"Oh, dia pernah main ke pesantren. Katanya mau belajar agama."

"Apa?"

"Kenapa, Thifa?"

"Eum, enggak apa-apa, Abi."

Aku menunduk, jadi cowok tadi mau belajar di pesantren. Berarti aku bisa ketemu sama dia tiap saat dong. Hadeuh. Makin nggak enak aja aku sama dia nantinya di sana.

Kenapa orang sudah sebesar itu masih mau belajar di sana?

Duh, kenapa pula aku mikirin dia. Dia mau belajar atau mau apa pun toh itu bukan urusanku lagi.

🌸🌸🌸

Tbc.

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

MAMA HILDA PRNAH NIKAH SAMA DONY PAPANYA TAUFAN...

2022-11-29

0

Kartika Wati

Kartika Wati

jangan² Taufan sama Athar kembar

2021-04-28

0

Siti Lailatul Mubarokah

Siti Lailatul Mubarokah

apa saudara taufan dan athar kak

2020-04-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!