Mohon Follow dulu yaaaa
🌸🌸🌸
Apa yang kamu pikirkan saat mendengar kata "Janda."
Pikiran pertama yang melintas adalah negatif. Kalau ditinggal meninggal suaminya.
"Kasihan ya, masih muda ditinggal mati suaminya."
"Emang enak, suaminya meninggal. Makanya jadi perempuan jangan cerewet. Nurut sama suami. Liat tuh, bingung kan dia udah nggak ada yang ngasih uang lagi. Biayain hidup dia."
Kalau jadi janda karena cerai.
"Duh kasihan banget ya dia, padahal baik. Tapi suaminya direbut pelakor. Dia juga sih, nggak pernah dandan. Jadi disabet deh sama cewek lain."
"Emang enak dicerai sama lakinya. Abis dia selingkuh sih sama laki lain. Nggak ada bersyukurnya jadi bini."
"Eh dia dicerai gara-gara katanya nggak bisa ngasih anak, kasihan ya."
Gimana kalau itu terjadi dengan keluarga kalian, anak perempuan, atau adik perempuan. Nyesek gaes. Belum lagi janda yang harus membesarkan anak-anaknya sendiri di balik cibiran para tetangga julid. Keluarga atau bahkan pria hidung belang. Mereka biasa menganggap janda itu seperti barang bekas dan murahan.
Padahal Rosulullah saja memuliakan janda dengan menikahinya.
Tapi, buat para laki-laki jangan sampai menjandakan istri demi janda yang lain ya. Kalau nikah lagi, silakan. Yang penting bukan suami saya. Hehehe.
🌸🌸🌸
Siapa sih di dunia ini wanita normal yang ingin menjadi seorang janda?
Tidak ada pastinya.
Sama halnya dengan wanita berjilbab abu-abu, yang tengah duduk di sebuah taman. Ia adalah Lathifa Nur Rahma. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu tengah menemani sang putra bermain.
"Bunda, aku mau es krim." Suara kecilnya terdengar seraya menarik ujung jilbab bundanya.
Belum sempat wanita itu mengangguk, anak laki-laki berusia tiga tahun itu sudah berlari. Ia menuju ke seberang jalan. Di mana seorang pedagang ice cream terlihat ramai dikelilingi para pembeli.
Brak!
Tiba-tiba sebuah mobil melintas tanpa disadari oleh bocah laki-laki itu. Akibatnya tubuh bocah itu tertabrak.
"Zain!" teriak Thifa melihat kejadian itu.
Thifa berlari ke tempat di mana sang putra tergeletak. Kejadian itu mengingatkannya kembali dengan kecelakaan yang menimpa suaminya. Beberapa tahun silam.
Thifa mengangkat tubuh putranya ke pangkuan. Darah mengalir dari pelipis dan kepala belakang. Tubuhnya pun luka-luka. Sementara mobil yang menabraknya sudah kabur. Namun, ia sempat mengingat nomor polisinya. B 7451 PAS.
🌸🌸🌸
Dua tahun telah berlalu, semenjak kecelakaan tersebut. Zain, putra Thifa mengalami kebutaan. Kedua matanya tak bisa berfungsi lagi. Benturan dibagian kepala membuat jaringan retina sang anak mengalami kerusakan.
Thifa begitu terpukul, setelah kematian suaminya yang mendadak. Kini sang anak harus pula mengalami nasib tragis. Ia hanya bisa berserah diri pada Allah. Atas semua yang menimpa keluarganya.
Meski awalnya terasa berat, ia tahu kalau Allah tak akan mengujinya di luar batas kemampuannya. Ia kini mengajarkan sang anak untuk kembali menghafal quran. Meski ia tak dapat melihat huruf-huruf hijaiyah. Tapi, tak menyurutkan niat sang anak untuk terus bisa menghafal, dengan cara mendengarkan suara murotal yang distel sang bunda.
"Zain, Bunda mengajar dulu, ya." Thifa mengusap kepala sang anak lembut.
"Iya, Bunda."
"Kamu sama eyang, ya."
"Thifa, nanti sepulang dari ngajar. Ummi minta tolong kamu ke kantor pos, ya. Tolong belikan materai." Ummi yang sedari tadi menemani Zain, menyodorkan selembar uang pada sang putri.
"Berapa banyak, Ummi?"
"Selembar, untuk keperluan Abi di pesantren. Kebetulan koperasi kehabisan."
"Baik, Ummi. Insya Allah nanti aku ke sana. Aku berangkat dulu, ya."
Thifa menyalami umminya, begitupula dengan Zain menyalami bundanya.
Ada rasa perih, saat Thifa hendak keluar berangkat mengajar. Ia harus meninggalkan sang anak di rumah. Meskipun ada umminya. Ia tahu, menjaga Zain dengan keadaan seperti itu tak semudah menjaga anak-anak lain yang normal.
Zain masih suka menangis setiap kali mendengar anak-anak seusianya bermain di luar. Ia ingin ikut juga, tapi eyangnya selalu melarang. Pernah sekali ia dibiarkan bermain dengan anak-anak lain. Dengan diawasi. Sayangnya masih ada anak yang suka mengejeknya. Meski anaknya sendiri tidak menangis. Namun, eyangnya merasa sakit mendengar cucu kesayangannya diejek oleh anak lain. Oleh karena itu ia tak mengizinkan Zain bermain.
🌸🌸🌸
Siangnya, saat jam istirahat tiba. Thifa keluar dari kelas menuju ke kantor. Matanya dikejutkan oleh sesosok wanita yang lama sekali tak pernah bertemu. Terakhir saat di pemakaman sang suami beberapa tahun lalu.
"Assalamualaikum, Thifa," sapanya lembut.
"Wa-waalikum salam." Thifa memeluk wanita berjilbab itu.
"Apa kabar, Mbak?" tanya Thifa seraya mengurai pelukan. Matanya berkaca-kaca tak percaya menatap wanita di hadapannya itu.
Wanita yang dulu hanya bisa duduk di kursi roda tak berdaya. Wanita yang pernah dibohongi olehnya dan sang suami. Kini, wanita itu berdiri tegap di depannya, dengan menggandeng seorang anak perempuan seusia putranya.
"Iya, ini aku, Thifa."
"Mbak Syahila? Masya Allah."
Thifa mengajak wanita yang pernah ada dalam masa lalunya itu, untuk duduk di sebuah ruang tunggu.
"Kenalin, ini suami aku sekarang. Mas Danar. Ini anak kami. Namanya Syaqila." Syahila memperkenalkan suami dan anaknya.
Saat Syahila memperkenalkan anak perempuannya itu. Kening Thifa bertaut. Ia merasa bingung, karena dulu ibu mertuanya pernah bilang kalau Syahila tak bisa memilik anak. Karena rahimnya telah diangkat.
"Kamu pasti bingung, kenapa aku bisa punya anak?" tebak Syahila.
"Maaf, Mbak."
Syahila tersenyum kecil. "Iya, aku tahu kok. Waktu Mas Danar mau menikahiku, aku pernah bilang sama dia. Kalau aku nggak bisa ngasih dia keturunan. Dia nggak percaya dengan hasil lab yang tempo hari aku lihat di apartemen.Orang tua Mas Danar mengajakku ke rumah sakit untuk periksa. Ternyata rahim aku baik-baik saja. Aku nggak mau suudzon sama mama atau pun pihak rumah sakit waktu itu. Aku pikir mungkin semua ini memang sudah jalan yang harus aku tempuh. Setelah menikah, Mas Danar mengajakku berobat ke Singapura. Aku diterapi sampai bisa jalan lagu seperti sekarang." Syahila menceritakan kehidupannya setelah kepergian Athar.
Thifa terdiam. Ia merasa dirinya tak sehebat dan setegar wanita di hadapannya itu. Bahkan bisa dibilang lemah. Masih memiliki tubuh yang sempurna, keluarga yang utuh. Tapi, seringkali mengeluh dengan keadaan atau ujian yang kerap kali menimpanya.
Saat pertama melahirkan pun, ia sempat mengalami baby blues berkepanjangan. Belum lagi ASI nya tak kunjung keluar. Tak ada suami yang mendampingi. Hingga sang anak tumbuh menjadi anak yang aktif, lalu kehilangan penglihatan. Ia masih terkadang suka menyalahkan takdir. Mengapa takdir buruk selalu menimpanya. Seharusnya ia bersyukur masih banyak yang peduli dan menyayanginya.
"Thifa, kenapa diam? Mana anak kamu?" tanya Syahila mengejutkannya.
"Ada di rumah sama eyangnya."
"Oh."
"Kalian ke sini ada perlu apa? Nggak mungkin kan kalau cuma mau nemuin aku?" Thifa mencoba bercanda dengan mantan madunya itu.
"Ini, aku mau titip Syaqila di pesantren ini. Untuk usia lima tahun berarti TK ya?"
"Owh. Iya, Mbak. Ada TPA di sini. Nanti tujuh tahun bisa masuk ke MI nya. Emang udah siap masuk pesantren, sayang?" tanya Thifa pada gadis kecil berjilbab pink itu.
Gadis kecil itu tersenyum malu. Wajahnya persis sekali dengan sang mama. Cantik, dan kulitnya putih bersih. Ia hanya mengangguk.
"Eum, pendaftarannya sama adik aku. Sebentar, ya, Mbak." Thifa bangkit dari duduknya. Ia mendekat ke meja sang adik.
"Va, ada calon santriwati baru." Thifa menepuk bahu adiknya yang sedang sibuk mengetik.
"Oh, iya, Mbak. Sebentar. Aku selesain ini dulu."
"Okey."
Deeva adik perempuan Thifa kini menjadi staf administrasi di pesantren. Dua tahun setelah kepergian Athar. Ia menikah dengan ustadz Fikri dan tinggal di rumah sang ustadz. Namun, hingga sekarang, adik perempuan Thifa itu belum juga dikaruniai seorang anak.
🌸🌸🌸
Sepulang mengajar, setengah tiga sore. Thifa keluar pesantren hendak membeli materai pesanan ummi ke kantor pos. Dengan mengendarai sepeda ontel, ia mengayuh perlahan sambil menikmati suasana jalanan. Setengah jam lagi kantor pos akan segera tutup, ia pun mempercepat kayuhannya.
Sesampainya, ia pun memarkir sepedanya di samping mobil hitam. Matanya terbelalak saat melihat plat nomor mobil tersebut. Ia mengenalinya. Mobil itu adalah yang telah menabrak sang putra hingga tak bisa melihat lagi.
Napas Thifa seketika sesak, kakinya gemetar. Ia memegang mobil itu melihat ke arah dalam. Barangkali ada pemiliknya. Namun, di dalam kosong. Ia bergegas masuk ke kantor pos membeli materai terlebih dahulu.
Thifa menunggu di depan pintu, ia penasaran dengan pemilik mobil tersebut. Siapa orang yang telah menyelakai anaknya dua tahun lalu. Ia tak akan menuntut, ia hanya ingin tahu. Seperti apa wajah penabrak itu yang tak punya hati nurani.
Lima belas menit ia menunggu. Lelah.
Ia pun hendak memutar sepedanya ke arah pagar. Namun, terhenti saat seorang pria bule berjalan ke arah mobil hitam itu. Lalu masuk dan menghidupkan mesin. Tak lama kemudian mobil itu mundur diarahkan juru parkir, dan melaju meninggalkan tempat tersebut.
Jantung Thifa berdebar, rasanya ia ingin marah. Kesal. Sungguh betapa teganya pria tadi, menabrak seorang anak tak berdosa hingga buta. Lalu ia melarikan diri tanpa tanggung jawab. Bagaimana jika sang anak waktu tak selamat, pelaku masih bebas berkeliaran. Sama seperti penabrak suaminya.
Mata Thifa berair mengingat kembali kejadian itu. Pipinya kembali basah. Ia menarik napas dalam dan mengusap pipi dengan punggung tangan.
"Mbak, baik-baik saja?" tanya sang juru parkir yang melihatnya.
Thifa hanya mengangguk. "Iya, Bang. Saya nggak apa-apa."
Thifa lalu kembali naik sepeda dan pulang. Setidaknya ia sudah tak penasaran lagi dengan wajah penabrak itu. Hanya satu yang menjadi pertanyaan. Kenapa dia kabur? Dan tak mau bertanggung jawab.
💕💕💕
***Bersambung.
Vote dan komennya yaaa***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
NAH KN, BETUL KOMENKU, SI OTHOR SUKA RUSAK KBAHAGIAAN, TU ANAK THIFA, DIBUAT BUTA...
2022-11-29
0
Raditya
kok tifah sih ngk dijadikan sekuel, pdhal disini yg terluka itu istri pertama dh sakit ditinggal nikah lg ma tifah ini
2020-09-10
1
Tukiyem Samudra
137
2020-07-02
0