Follow dulu dong biar enak. Buat yg belum. Yang udah nih kasih ***** aje.
Emuuuuaaaaaaccccchh.
Duh muncrat.
Yuk happy reading yaaaaa
🌸🌸🌸
"Gimana, Fan? Ada dokumennya?" tanya seorang pria tua, yang rambutnya sudah terlihat hampir putih semua.
Brugh!
Seorang pria muda menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Menghela napas pelan seraya menyibak rambut gondrongnya ke belakang.
"Nggak ada, Pa. Aku udah acak-acak itu kantor pos. Belum dikirim kali."
"Nggak mungkin. Anak buah papa yang kirim laporan keuangan itu."
"Ya, Papa ada-ada aja. Pake dokumen dikirim lewat pos. Kan sekarang ada gosend. Bisa kirim barang langsung sampai."
Pria tua itu terdiam. Ia tahu tak akan pernah menang berdebat dengan anak laki-lakinya itu.
"Kamu nggak kerja?" tanya sang papa lagi.
"Masuk malam, Pa. Udah ah aku mau pergi dulu."
Pria muda itu bangkit dari duduknya. Belum sempat ia melangkah keluar, suara panggilan dari arah belakang membuatnya menoleh.
"Kak Taufan!" Seorang gadis berlari menghampirinya.
"Apa, Karin?"
"Kunci mobil mana?"
"Tuh di meja!"
"Okey." Gadis itu segera mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. Lalu pergi keluar rumah.
"Lihat tuh adik kamu! Harusnya kamu jagain dia, pasti pacaran lagi deh."
"Yah namanya juga anak muda. Memangnya sang pujangga macam Donny Kei nggak pernah pacaran?" ledek sang anak pada papanya.
Donny sang papa hanya menggeleng lemah. Menatap putra kesayangannya itu melangkah keluar rumah. Hari-harinya kini hanya ditemani kedua anaknya. Semenjak sang istri meninggal lima tahun lalu karena kanker payudara.
Donny adalah seorang pengusaha dibidang kuliner, yang merangkap sebagai seorang penulis novel. Ia memiliki cafe cofee and cake. Juga makanan khas Indonesia, bakso gagal move on namanya. Karya-karya hasil tulisannya juga sudah banyak bertebaran di toko buku.
Ia merintis usahanya dari nol. Saat itu ia bersama-sama membangun usaha dengan sang istri yang bernama Hilda. Hanya saja saat ia memutuskan untuk menulis, masalah kerap timbul dalam rumah tangganya. Sang istri merasa dirinya menjadi kurang perhatian. Lebih sering bermain handphone dan laptop tiap kali pulang kerja. Sehingga ia memutuskan untuk berpisah, karena menganggap kalau sang istri tak bisa menghargai karyanya.
Belum genap setahun perceraiannya, ia memutuskan untuk menikahi mantan kekasihnya. Dan itu membuat mantan istrinya merasa geram. Bagaimana tidak, nafkah untuk putranya tak lagi ia beri. Justru menikah dengan wanita lain. Sampai sekarang Donny tak pernah lagi tahu bagaimana keberadaan mantan istrinya itu.
🌸🌸🌸
Pria berambut gondrong itu duduk di sebuah warung pinggir jalan. Menanti datangnya gelap. Masih sekitar tiga jam lagi dia harus berangkat kerja. Shift malam di sebuah perusahaan bergerak di bidang otomotif. Sebagai pengawas mesin produksi.
Meski papanya memiliki usaha sendiri, ia tak pernah tertarik untuk meneruskan bisnis orang tuanya. Ia lebih suka bermain dengan alat las, besi-besi, mur, baut yang menurutnya lebih macho.
"Fan, sendirian aja. Cewek lu mana?" Sebuah suara mengejutkannya.
Taufan menoleh, seorang pria dengan rambut cepak duduk di sebelahnya.
"Eh, elu Ndi. Cewek? Cewek yang mana?"
"Susah emang kalau ceweknya banyak. Oh iya kok mobil baru loe nggak dipake? Malah pake motor butut gitu."
"Andi, Andi. Males, dipake adek gue. Enakan juga pake motor. Nggak macet."
"Iya, tapi nggak bisa buat gebet cewek."
Mereka berdua terbahak. Pria bernama Andi adalah sahabat Taufan, rumahnya tak jauh dari warung itu. Setiap malam sebelum mereka berangkat kerja. Pasti nongkrong dulu di sana. Sambil ngopi dan ngerokok. Sesekali menggoda cewek-cewek lewat yang baru pulang kerja.
"Fan, lihat deh!" Andi menepuk bahu Taufan seraya menunjuk ke seberang jalan.
Taufan menyipitkan kedua matanya. "Kenapa, Ndi?"
"Itu ada anak kecil, di depan indomaret. Pake tongkat. Jangan-jangan dia buta, mau nyebrang. Bantuin gih!"
Seketika Taufan bangkit dan membuang rokok dari jarinya. Lalu melangkah menyebrangi jalan menuju anak tersebut. Taufan berjongkok di sebelahnya.
"Adek mau ke mana?" tanyanya.
"Om siapa?" Suara bocah itu gemetar. Ia ingat pesan sang bunda, untuk tidak berbicara dengan orang asing.
"Om bisa bantu kamu, kamu mau ke mana? Mau nyebrang?"
Anak laki-laki itu hanya menggeleng.
"Rumah kamu di mana? Om antar pulang ya!" Lagi, Taufan ingin sekali membantu anak itu.
Bugh!
"Aduh!" Taufan tersungkur, ia memegangi bahunya yang sakit. Seseorang baru saja memukulnya dari belakang.
Ia pun menoleh dan bangkit, seraya membersihkan kedua telapak tangannya. Rasanya sakit dan ingin marah. Namun, saat melihat orang yang memukulnya barusan. Rasa marah itu seketika redam.
"Kamu ngapain anak saya? Mau nyakitin anak saya lagi?" Wanita berjilbab di depannya melotot tajam. Dengan tangan kanan memegang kantung plastik belanjaan. Belanjaannya itulah sebagai alat untuk memukul Taufan.
"Ma-maaf. Sa-saya nggak ngapa-ngapain," jelas Taufan bingung. Perkataan wanita itu membuatnya seolah pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Padahal ia sama sekali tak pernah bertemu dengan mereka kemarin-kemarin.
"Halah, mana ada sih maling mau ngaku. Ayo, Sayang kita pulang!" Wanita itu meraih tangan bocah laki-laki yang ternyata adalah anaknya. Menjauh dari Taufan.
Taufan menatap kepergian keduanya dengan rasa penasaran.
'Apa kita pernah ketemu? Tapi kayanya enggak deh. Kok dia bisa bilang nyakitin anaknya lagi? Pake sebut gue maling lagi. Emang gue pernah nyolong apa?' gumamnya.
Taufan memutuskan untuk mengikuti wanita dan anak laki-laki tadi. Hingga ia sampai di dekat sebuah bangunan dengan pagar tinggi. Bertuliskan sebuah nama Pondok Pesantren. Ia tak lagi melangkah. Karena keduanya masuk ke dalam pondok.
'nggak mungkin gue bisa masuk sana. Gue kan bukan orang Islam,' gumamnya lagi.
"Maaf, Mas. Ada apa ya berdiri di sini? Sudah adzan Isya. Jangan melamun saja. Yuk kita sholat Isya berjamaah di masjid." Seorang pria paruh baya dengan sorban putih menegurnya.
"Ta-tapi, Pak. Sa-saya."
"Sudah, ayo. Nanti di sana ada sarung kok punya santri." Pria itu merangkul Taufan masuk ke dalam pondok menuju masjid.
Beberapa santri melirik ke arahnya sekilas. Mereka lalu ikut berjalan di belakangnya. Taufan bingung. Kenapa santri-santri itu menghormatinya. Padahal ia baru saja datang. Atau mungkin pria di sebelahnya adalah seseorang yang dihormati.
"Nah, itu di sana tempat wudhunya. Saya ke depan dulu." Pria itu menunjuk ke arah di mana banyak santriwan yang sedang mengantri wudhu.
Taufan melihat dirinya sendiri, ia hanya mengenakan kaus oblong, dengan celana jeans bolong-bolong. Merasa malu dan tidak pantas. Tapi, anehnya santri yang berada di sana tidak ada yang menatapnya dengan sinis. Justru selalu tersenyum tiap kali bersitatap.
Ia memperhatikan cara mereka mengambil wudhu, lalu mengikutinya. Setelah selesai. Suara iqomat terdengar. Taufan melangkah sampai di depan pintu. Seorang bocah laki-laki mendekatinya, menyodorkan sebuah sarung dan baju koko.
"Bang, pakai ini," ucapnya.
Taufan hanya mengangguk. Dan memakainya. Jujur ia begitu gugup. Ingin berlari dan keluar dari tempat itu. Namun, kakinya terasa berat. Ia justru nyaman berada di tempat itu. Wajah-wajah teduh yang ia lihat. Tempat ini khusus pria. Saat ia masuk tadi, tertulis pondok putra. Lalu ke mana perginya wanita dan anaknya tadi.
"Allahu Akbar."
Takbir terdengar dari arah depan, Taufan berjinjit. Ia melihat pria paruh baya yang tadi mengajaknya masuk, kini berdiri di barisan paling depan. Sebagai Imam sholat.
Dengan perlahan, ia mengikuti setiap gerakan sholat. Di situ ia merasa menemukan sebuah tempat yang begitu nyaman dan menyejukkan hatinya. Lantunan ayat suci yang dibaca sang Imam, membuatnya merinding meski ia tak tahu artinya apa. Sampai akhir sholat. Seluruh santri berdoa. Ada yang langsung meninggalkan masjid. Ada juga yang tetap tinggal untuk membaca alquran.
Taufan melepas kembali baju koko dan sarung yang diberikan tadi. Melipat dan meletakkannya di pojok ruangan dalam lemari. Ia lalu berjalan keluar masjid. Dan duduk di terasnya. Menatap bangunan di seberang masjid yang masih satu komplek di dalam gerbang depan tadi. Bangunan yang ia lihat adalah berlantai tiga. Kamar-kamar para santri.
"Assalamualaikum," sapa seseorang.
Taufan menoleh, seorang pria paruh baya tadi menegurnya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. "Walaikumsalam," ucapnya gugup. Meski ia non muslim, ia sering mendengar teman-temannya saling mengucap salam.
Pria itu ikut duduk di sebelah Taufan. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya pria itu.
"Eum, sebenarnya saya."
"Ngomong saja."
Taufan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Gimana caranya dia bilang kalau dia tadi mengikuti seorang wanita berjilbab dengan anak laki-lakinya yang buta.
"Saya ingin belajar agama di sini," ucap Taufan seketika. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.
Rasa penasaran dengan wanita tadi membutakan hati dan pikirannya. Jelas, wajah wanita itu membayanginya. Perkataannya pun membuatnya semakin ingin mengenalnya.
"Masya Allah. Mas tinggal di mana? Kenalkan saya Yusuf, biasa para santri memanggil saya Ustadz Yusuf. Panggil Abi juga nggak apa-apa." Pria bernama Yusuf itu mengulurkan tangan.
"Saya, Taufan. Pak. Rumah saya nggak jauh kok dari sini." Taufan menjabat tangan pria paruh baya itu.
"Nak Taufan mau ikut saya ke rumah? Nanti saya akan berikan pakaian. Agar belajarnya lebih nyaman."
"Ta-tapi, Pak. Saya belum siap kalau sekarang. Karena saya harus kerja."
"Oh, Mas Taufan sudah bekerja. Baiklah. Mas bisa datang kapan pun ke sini. Kalau mau cari saya, tanya saja sama santri di sini. Rumah saya di dalam sana!" Yusuf menunjuk arah belakang bangunan di depannya.
"Makasih, Pak." Taufan bangkit kembali menyalami Yusuf, lalu berpamitan.
Ia melangkah keluar gerbang pesantren. Sesekali menoleh ke belakang. Mencari sosok wanita dan anak kecil tadi. Tiba-tiba dari arah depan.
"Kamu ngapain di sini?" suara cempreng itu kembali mengejutkannya.
"Ka-kamu lagi." Taufan menjadi salah tingkah, kepergok oleh wanita yang ia ikuti tadi.
"Jangan-jangan benar kamu mau culik anak saya, kan? Ngaku! Kamu ke sini ngikutin saya?"
Taufan menelan ludah, sebelum dia dikeroyok santri. Ia memilih untuk melangkah pergi. Menjauh dari wanita itu dengan sedikit berlari.
Sesampainya ia di warung tempat semula, dengan sedikit ngos-ngosan. Taufan duduk, mengambil aqua gelas dan meminumnya.
"Lu kenapa, Fan? Dikejar ******?" tanya Rudi, pemilik warung. Bapak-bapak berkumis tipis, kepala botak.
"Lebih galak dari pada ******, Bang. Tapi manis. Ada lesung pipinya."
"Hahaha gila loe, ****** punya lesung pipi. Udah sana pulang. Si Andi juga baru balik mau gawe. Nungguin loe nggak nongol-nongol."
"Tengkyu, Bang. Nih duit gue. Kembaliannya ambil aja." Taufan meletakkan uang lima ribu di atas toples kacang.
Ia lalu naik ke motornya dan tancap gas pulang.
"Ah, kembalian dari Hongkong! Kurang serebu woy!" ujar Rudi geram.
Dari kejauhan Taufan melambaikan tangannya. Seraya tersenyum kecil.
🌸🌸🌸
Tbc.
Vote dan komennya ya gaesss.
Tengkyu 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Risna Oktivia
kurang serebu woe🤣
2021-04-19
0
Tukiyem Samudra
113
2020-07-02
0
Siti Arfah
bagus ceritax
2020-06-02
1