“Siapa yang menangis, Yah?” tanya Ibu Retno. Berjalan mendekati kamar Mila. Suara tangisan itu makin terdengar jelas dari dalam kamar anak gadisnya. Beliau tak tahu kalau putrinya sudah kembali ke rumah.
“Anak perempuanmu,” jawab Pak Satria dengan malas. Beliau justru duduk santai sembari nonton TV.
“Maksudnya yang nangis di dalem itu Mila, Pah?” tekan Ibu Retno, minta kejelasan.
Pak Satria hanya menggeram, mengiyakan pertanyaan istrinya.
“Alkhamdulillah akhirnya kau pulang juga, Nak,” ungkap Ibu Retno lalu buru-buru mendekati pintu kamar putrinya dan mengetuknya.
Wanita itu bisa mengartikan sikap sungkan suaminya. Pasti telah terjadi keributan besar tadi.
Tahu sang ibu telah kembali, dari dalam kamar, Mila sengaja berteriak untuk menceritakan perlakuan buruk ayahnya, “Ayah jahat. Ayah tega mengusir pacar Mila.”
Mendengar teriakan Mila itu, sang ibunda ingin dia cepat-cepat membukakan pintu kamar.
“Nak, buka pintunya. Ibu mau masuk,” pinta Ibu Retno. Sudah berkali-kali beliau mengetuk pintu.
“Kamar nggak dikunci Mila, tapi dikunci Ayah. Ayah mengurung Mila, Bu. Kunci kamar ada di Ayah.”
Mendengar itu, Ibu Retno menengok suaminya yang tak menghiraukan.
“Udah, Bu. Biarin aja. Ayah sengaja kurung dia biar nggak kabur lagi. Udah gitu pulang-pulang bawa laki-laki nggak jelas,” sahut Pak Satria. Saking kesalnya, ibu jari beliau menekan kasar tombol remot.
Ibu Retno mengerutkan dahi mendengar ucapan suami. Hatinya tak setuju dengan apa yang dilakukan suaminya. Biar bagaimanapun Mila adalah anak. Apalagi sudah dua bulan tak bertemu. Tentu Ibu Retno sangat rindu. Masih syukur putrinya itu pulang, tentu beliau ingin melepas rindu. Karena itu, beliau akan mendesak suaminya agar membukakan pintu.
“Jangan begitu, Yah. Ayo sini mana kuncinya. Ibu mau masuk.”
“Benar kata Ayah. Biarin aja Mila, Bu. Ngapain Ibu masuk? Ibu mau nasihatin? Udah bosen, Bu. Mila dinasehatin. Nanti ujungnya Mila disuruh ke pesantren,” sahut Mila lagi.
“Nggak, Nak. Ibu kangen sama kamu. Ibu sekarang ingin peluk kamu,” jawab Ibu Retno kembali mengetuk pintu.
“Jangan masuk, Bu. Biarin aja. Ntar kalo capek juga dia berenti,” sahut Pak Satria. Lama-lama beliau risih pada seruan putrinya yang seperti anak kecil. Menurutnya, anak itu akan tambah ngelunjak kalau sikap ibunya begitu.
“Ayo, Pah. Buka pintunya.” Tak berhenti Ibu Retno membujuk suaminya. Khawatir putrinya itu melakukan hal yang lebih nekat. Karena sekarang sudah tidak ada lagi tangisan Mila.
Rupanya desakan Ibu Retno yang terus-terusan membuat suaminya risih. Dengan terpaksa, Pak Satria menuruti. Sebenarnya beliau masih tidak ingin membukakan pintu kamar itu. Yang ada beliau ingin mengurung Mila sampai dia mau masuk ke pesantren.
Pada putaran kunci yang terakhir, pintu pun terbuka. Ibu Retno menghambur ke kasur. Rasa rindunya tak tertahankan. Terbukti, beliau langsung memeluk Mila dan menciuminya berkali-kali.
“Kemana saja kau pergi selama ini, Nak?” tanya Ibu Retno dengan berlinangan air mata. Tangan beliau membelai lembut rambut panjang Mila. “Ibu kangen banget sama kamu, Nak. Kenapa kamu bisa begitu saja pergi ninggalin Ibu?”
Di pelukan ibu, Mila hanya diam saja. Tak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Membiarkan tubuhnya dipeluk, menatap nanar pada dedaun yang berayun dari balik jendela.
“Puas kamu, Mil? Apa kau tidak kasihan dengan ibumu yang setiap hari seperti orang gila mencarimu?” bentak Pak Satria yang ikut masuk juga ke dalam kamar. Beliau membungkukan badan. Meluapkan emosi dengan menunjuk-nunjuk Mila.
“Tapi Ayah juga salah. Seharusnya kau tidak terlalu kasar dengan Mila. Dia pergi karena kau selalu memarahi Mila," jawab Ibu Retno di sela tangisannya. Netranya yang basah melirik suaminya. "Dan sekarang, kau seharusnya tak perlu mengurung Mila begini."
“Bu, Ayah lakukan ini supaya anak kita tidak kabur lagi."
Suami-istri itu saling beradu mulut. Pak Satria mencoba menerangkan kejadian yang sebenarnya yang dijadikannya alasan mengurung Mila. "Asal kau tahu dia pulang bersama laki-laki sembarangan yang kita tidak tahu latar belakangnya."
Ucapan ayahnya itu membuat Mila membuang muka.
“Apa benar yang dikatakan ayahmu, Nak?” tanya Ibu Retno. Beliau ingin mendengar dari mulut putrinya sendiri.
“Benar, Bu. Itu calon suami Mila, Bu. Mila pulang karena Mila ingin mengenalkan Andre dan berharap Ayah dan Ibu memberi restu,” kata Mila lirih.
“Apa katamu? Kamu kok mudah sekali memutuskan seseorang sebagai calon suamimu. Ayah dan Ibumu saja belum tahu bagaimana keluarga laki-laki itu,” timpal Pak Satria dan berlalu meninggalkan kamar itu.
Selepas suaminya pergi, Ibu Retno lantas berpikir kalau perkataan suaminya tadi ada benarnya juga. Memang dalam memilih jodoh, orang tua harus tahu asal-usul orang yang nantinya bakal menemani hidup anaknya. Namun, bukan sekarang baginya menasihati Mila. Menunggu waktu yang tepat. Sebab, masalah ini perlu dibicarakan dari hati ke hati.
...*****...
Esoknya Andre datang lagi ke rumah Mila. Setelah berhenti di depan gerbang, dia membunyikan klakson. Hari ini kekasihnya itu, sengaja diminta Mila semalam untuk menjemputnya.
“Pak Aryo, cepat buka pintunya!” pinta Mila pada security yang tampak siaga menjaga gerbang. Melihat sikap Pak Aryo, gadis itu dapat menebak kalau penjaga keamanannya disuruh ayah untuk mencegahnya kabur kembali.
“Tapi, Non. Saya diamanati Pak Satria untuk tidak mengizinkan Non Mila pergi,” jawab Pak Aryo. Dia terlihat siaga berdiri tegak di tengah gerbang, agar tidak bisa diterobos gadis majikannya.
Bagi Mila apa yang dilakukan petugas keamanannya itu sungguh menyebalkan. Membuatnya jengkel seketika. Menggeram gemas dengan mengepalkan tanggannya di hadapan Pak Aryo. Kalau bukan orang tua, mungkin sudah dia pukul.
“Ikh ... Pak Aryo buka tidak? Saya tidak segan lho memecat Bapak,” ancam gadis itu, menunjuk muka security-nya.
Mendengar kata “pecat”, Pak Aryo jadi ciut. Dengan ancaman itu, lantas beliau pun kalah.
“Ampun, Non. Jangan pecat saya. Baik pintu gerbangnya saya buka, Non.”
Dengan tangan gemetar dia memutar kunci yang sudah tertaut di gembok.
Bak burung lepas dari sangkar, Mila menghambur dan cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Di dalam sana Andre terkekeh melihat pacarnya berhasil mengelabui security.
“Ayo jalan, Ndre! Sebelum security itu lapor ke bokap,” pinta Mila. Dia merebah kesal pada sandaran kursi.
Kendaraan roda empat itu lalu meninggalkan Pak Aryo yang sedang mematung di gerbang. Sepertinya masih tersihir dengan ancaman Mila. Ketika anak majikannya itu telah pergi jauh, beliau baru sadar. Kok aku bisa-bisanya kalah ya dengan ancaman Mila.
Sesal sekarang tiada guna karena gadis majikannya itu telah berhasil kabur. Seharusnya ia jangan takut dengan ancaman tadi. Terus apa yang harus dikatakan nanti, kalau Pak Satria menanyakannya? Kepala Pak Aryo pusing tujuh keliling. Ditepuknya dahi sendiri karena kebodohannya.
Kemudian ditutuplah kembali gerbang besar bercat putih itu. Pak Aryo dengan langkah lunglai kembali ke pos. Ketika ia baru saja duduk, telepon yang menempel di dinding, berdering. Sontak bunyi telepon itu membuat Pak Aryo keringat dingin. Security itu tahu pasti telepon dari Pak Satria. Meski gemetaran saat meraih gagang telepon, mau tak mau beliau harus tetap menjawab panggilan itu.
Degup jantungnya jadi tak menentu saat mengangkat gagang telepon. Ternyata benar dugaannya, suara Pak Satria terdengar memberi salam. Dirinya yang dikuasai rasa takut, menjawab salam majikannya dengan terbata-bata.
"Wa ... wa 'alaikum sa ... salam."
“Gimana, Pak? Mila aman 'kan?” tanya Pak Satria tanpa basi-basi.
Pertanyaan itu membuat lidah Pak Aryo kelu. Dia makin tak bisa ngomong apa-apa untuk menjawab pertanyaan tuannya.
“A-anu, Pak. Ma-maafkan sa-saya, Pak.”
“Kenapa? Ada apa Pak Aryo?” tanya Pak Satria. Ucapan Pak Aryo yang terbata-bata makin memunculkan perasaan herannya.
“A-anu, Pak. Non Mila. Anu Non Mila, Pak.”
Dengan jawaban Pak Aryo yang seperti itu, Pak Satria pun meminta supaya memberi laporan dengan jelas.
“Pak Aryo dari tadi anu anu terus. Memangnya kenapa dengan Mila?” Lama-lama beliau dapat menangkap apa yang hendak dikatakan security itu. Dengan menyelidik beliau pun bertanya, “Apa jangan-jangan Mila kabur lagi, Pak?”
“I-iya, Pak,” jawab Pak Aryo begitu ketakutan saat mengiyakannya. Keringat sebesar jagung membasahi dahi yang timbul dari degup jantungnya yang makin kencang.
“Aduh! Gimana sih, Pak? Disuruh menjaga gerbang biar Mila nggak kabur aja nggak bisa!”
Teguran majikannya itu langsung membuat Pak Aryo makin takut. Wajahnya pucat pasi, peluh terlihat sudah sangat membasahi pelipisnya.
“Maaf, Pak. Saya diancam akan dipecat Non Mila,” jelas Pak Aryo.
“Pak Aryo, harusnya Pak Aryo ‘tuh tahu yang berhak mecat Bapak itu saya.”
“I-iya, Pak. Saya baru menyadari itu saat Non Mila sudah pergi.”
“Aduh. Gimana sih, Pak?” keluh Pak Satria di telepon. “Terus dengan siapa Mila pergi?”
“Dengan lelaki kemarin yang mengantar Non Mila, Pak.”
Lebih kesal lagi Pak Satria mendengar jawaban itu.
“Aduh. Tuh ‘kan, Pak. Saya kecolongan.”
Setelah mengucap kata itu, kemudian Pak Satria menutup teleponnya. Dengan tertunduk dan diliputi rasa bersalah, Pak Aryo duduk dengan lesu.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments