Bab 1

Di dalam kamar Mila mengurung diri. Tepat jam dua malam, dia pulang bersama dua temannya, yang mengantarkannya hanya sampai depan gerbang. Selama ini, mereka tak berani mengantar Mila sampai depan pintu rumah. Takut kena sasaran juga omelan Pak Satria.

Dikalangan teman-teman Mila, Pak Satria terkenal sangar. Apalagi kalau putrinya pulang larut malam begini, bisa jadi mereka ikut kena juga bulan-bulanan orang tua itu.

Sejam sebelum Mila masuk kamar, ibunya sempat menegur kenapa jam segini baru pulang? Darimana saja kamu? Namun, pertanyaan-pertanyaan itu diabaikan.

Dengan langkah sempoyongan, Mila membuka pintu kamar. Langsung masuk tanpa menghiraukan. Alih-alih menjawab, ia malah membanting daun pintu.

...*****...

Di meja makan, Pak Satria dan istrinya tengah sarapan, Mila keluar dari kamar, menuruni anak tangga. Rambutnya terlihat sangat berantakan. Langkahnya masih terhuyung sisa mabuk semalam.

Melihat kedatangan putrinya, Pak Satria langsung membatalkan suapan ke mulutnya. Mendadak selera makannya hilang. Sendok di genggamannya dijatuhkan ke piring cukup keras. Menimbulkan suara yang mengejutkan.

Akan tetapi, suara dentingan piring yang cukup keras itu tak membuat Mila bergeming. Seenaknya saja ia merebahkan tubuhnya ke sofa. Disambarnya remote TV yang tergeletak di meja. Alih-alih peduli dengan amukan Pak Satria, malah dia menaikan volume TV.

Menurut Pak Satria, tingkah anak itu benar-benar keterlaluan. Membuat beliau naik pitam. Bahkan telah bangkit hendak mendatangi. Rasanya ingin menampar Mila sekali lagi.

Merasa akan terjadi kembali pertengkaran, dengan sigap Ibu Retno menahan tangan suaminya itu.

“Jangan, Pak. Biar Ibu saja yang bicara.”

Syukurlah, bujukan istrinya berhasil meredam emosi Pak Satria. Saat suaminya kembali duduk, Ibu Retno segera mendekati putrinya.

Saat sudah di dekat putrinya, Ibu Retno dengan lembut membisiki, “Nak, kecilin TV-nya. Ibu mau bicara.”

Bisikan itu, membuat Mila mengerlingkan mata. Dengan teramat sungkan, dia menghilangkan volume TV.

Senyap beberapa saat, barulah ibu mulai bicara, “Boleh Ibu bicara?”

“Bicara apa sih, Bu?” Kepalanya mendongak malas. Mila enggan membangkitkan tubuhnya dari punggung sofa.

“Bangun sayang, Ibu ingin duduk di dekatmu.” Tangan lembut Ibu Retno membelai rambut anak gadisnya itu.

Dengan malas, ia mengangkat badannya. Bergeser pelan bak ulat bulu, memberi tempat agar ibunya bisa duduk.

“Sekarang Ibu mau bicara apa?” tanya Mila sembari mengangkat kedua alisnya.

“Nak, maukah kau masuk ke pesantren dan sekalian kuliah?”

“Apa pesantren?” Pertanyaan yang sungguh mengagetkan Mila.

Dari ujung meja makan, Pak Satria menatap tajam. Tatapannya bagai singa mengawasi mangsa.

“Ibu jangan bercanda ya. Aku nggak mau. Pesantren itu sangat membosankan, Bu,” suara Mila meninggi bebarengan dengan bangkitnya ia dari sofa. Berdiri sembari berkacak pinggang, mengintervensi ibunya.

Dari jauh, Pak Satria menegur Mila. Supaya kembali duduk. Sungguh tidak sopan bersikap begitu pada ibunya.

“Hey Mila, jangan begitu. Cepat kembali duduk! Ibu kamu belum selesai bicara.”

Gadis itu mengerlingkan mata. Ia merobohkan tubuhnya ke sofa lagi. Menekuk muka. Baginya pembicaraan ini sangat menjengkelkan.

Tapi, tangan penuh kasih ibu kembali membelai rambut putrinya. Sesekali anak rambut Mila yang keluar, beliau selipkan di sela-sela daun telinga. Kalau dipandang-pandang, sebenarnya Mila itu cantik.

“Dengar Mila. Ayah dan Ibu bukannya tak sayang. Tapi ini demi kebaikanmu. Ayah dan Ibu ingin sekali kamu menjadi gadis yang baik.”

“Oh ... jadi menurut Ibu, Mila selama ini nggak baik gitu?” cegat Mila.

Ibu Mila menggeleng, menolak sangkaan anak gadisnya itu

“Bukannya begitu, Nak. Kamu itu gadis yang baik. Dengan kamu masuk ke pesantren sambil berkuliah itu akan membuatmu jauh lebih baik.”

Perkataan ibunya itu dibalas dengan gelengan. Mila menolak mentah-mentah. Mengganggap itu rayuan ibunya saja. Sebagai anak, ia tahu kalau ibunya sangat pandai dalam mengolah kata. Bicaranya halus namun mampu membuat orang lain menuruti.

Maklum saja, beliau seorang pemimpin salah satu perusahaan komunikasi besar di Jakarta. Siapa yang tak kenal Ibu Retno Wulandari? Di kalangan bisnisman tanah air, beliau adalah pengusaha wanita yang piawai dalam menarik hati investor. Saat bicara, semua kliennya pasti menurut dan mau bekerja sama untuk menanam saham di perusahaannya.

Tetapi, semua itu tak mempan buat putrinya sendiri. Sekarang dia malah ingin segera pergi dari hadapannya. Agar niatnya itu berhasil, ia memungkasinya dengan perkataan yang menohok, “Pokoknya aku nggak mau ke pesantren dan aku nggak mau kuliah, Bu. Aku hanya ingin kerja. Bukannya ini lebih baik?”

Setelah melontarkan perkataan itu, dia pergi begitu saja. Merasa pembicaraan ini belum selesai, Bu Retno menimpali ucapan anak gadisnya dengan sedikit menaikan nada suaranya.

“Kamu mau kerja apa dengan ijazahmu yang hanya lulusan SMA?”

Rupanya, omongan ibunya itu tak dihiraukan lagi oleh Mila. Dari bawah wanita paruh baya itu melihat, anak gadisnya menutup pintu dengan keras sebagai wujud penolakannya. Sedangkan Pak Satria hanya bisa menggelengkan kepala.

...*****...

Suara dering ponsel terdengar samar karena tersaingi hentakan musik disko. Kemudian tangan seorang gadis berjemari lentik mengambil alat komunikasi miliknya itu. Di layar ponsel tertulis, Mila memanggil. Dengan segera ibu jarinya yang nampak terawat itu, menekan tombol terima pada ponselnya.

“Halo, Mil.” sapa wanita itu. Tangan kirinya mengantarkan sebatang rokok menyala ke bibirnya yang merah. Dihisapnya benda berasap itu beberapa detik, kemudian asapnya ia semburkan dari bibir sensualnya.

“Halo Rev, tolongin gue dong,” kata Mila dari balik telepon. Langsung tanpa basa-basi.

“Tolongin apa sob?” tanya wanita itu

“Gue bisa nggak kerja di tempat lu?”

“Bentar-bentar. Gue nggak salah dengar ‘kan?” pekik teman Mila itu. Tidak percaya pada ucapan sahabatnya itu. Mungkin sahabatnya itu sedang bercanda.

Apa dia tidak salah dengar? Masa seorang Mila Maharani bekerja di diskotik. Karena selama ini dia lho, yang menjadi pelanggan setia di diskotiknya. Bahkan, ia seringkali menraktir teman-temannya. Menghamburkan uang dalam semalam.

“Nggak, Rev. Elu nggak salah denger,” terang Mila. “Gue pengen kerja di diskotik elu.”

Mendengar pernyataan itu, sekali lagi Reva masih tak percaya. Untuk meyakinkan dirinya kalau ini bukan mimpi, ia menepuk pipinya sendiri beberapa kali sampai timbul rasa sakit. Ternyata ini bukan mimpi.

Tidak tunggu dulu. Ia masih belum puas. Reva menggelengkan kepala. Mengerjapkan matanya berulang-ulang. Kenyataan ini sungguh aneh dirasakan olehnya.

“Tunggu. Tunggu, Rev. Sebelumnya maaf nih ya. Bukannya gue nggak mau nerima elu. Tapi gue masih nggak ngerti kenapa elu mau kerja ke tempat gue? Elu nggak kuliah?” tanya Reva sembari menautkan alis. Ia beringsut pindah ke tempat yang cocok untuk mengobrol.

Di seberang ponsel, kemudian Mila diam sesaat. Bimbang, apakah dia harus mengatakan sejujurnya atau dia harus berbohong.

“Halo, Mil. Kok elu diem? Halo ... halo.”

Setelah terdiam cukup lama, Mila pun menjawab, “Rev, kayaknya biar jelas gue harus ketemu elu sekarang juga deh. Gue pengen bicara langsung sama elu. Elu tunggu gue sekarang ya. Gue ke diskotik elu.”

“Oke gue tunggu,” jawab Reva dan sambungan telepon pun terputus.

...*****...

Suara sepatu hak tinggi menggema saat Mila berjalan melewati ruang tamu menuju pintu. Saat di depan pintu, bersamaan dengan dia yang hendak memutar kunci, bel depan rumah berbunyi. Mila terkejut, siapa gerangan yang datang? Begitu pintu dibuka, tak terduga ternyata ayah pulang.

“Sial. Aku kok lupa ya kalo jam segini ayah pulang?” batin Mila.

“Mau kemana kamu, Mil?” Begitu berpapasan, Pak Satria langsung menegur. Matanya melotot garang.

“Mila, jawab pertanyaan ayah. Mau kemana kamu?” tanya Pak Satria menaikan suaranya. Betapa tidak emosi, Pak Satria saat putrinya sendiri tak menjawab pertanyaannya. Ditambah lagi dengan koper yang dibawa Mila saat ini. Mau kemana anak itu.

Saat ini Mila malas berdebat dengan sang ayah. Karenanya, ia meninggalkan begitu saja orang tuanya itu.

“Mila, mau kemana kamu?” teriak Pak Saka. Pertanyaan sang ayah tetap tak digubrisnya walaupun sudah membentak. Malah, langkah putrinya makin jauh meninggalkannya.

Mila melangkah cepat, sesekali menoleh ke belakang, barangkali ayahnya mengikuti. Di gerbang, ia perintahkan security untuk membukanya.

Setelah keluar, dia langsung menyetop taksi yang kebetulan lewat depan rumah. Langsung saja ia meminta taksi itu melaju. Malam ini, Mila benar-benar ingin bebas dari keluarganya yang mengekang.

Sejurus kemudian Mila pun sampai ke diskotik milik Reva. Seusai bayar taksi, Mila bergegas memasuki tempat dugem itu. Menaiki satu per satu anak tangga. Hingga sampailah di tempat dimana beberapa orang merasakan surga dunia malam ini. Hingar bingar dunia malam yang selama ini ia gandrungi.

Tanpa diberitahu Reva sebelumnya, ia langsung tahu sahabatnya itu berada. Tempat favoritnya menikmati hentakan musik sembari mengawasi karyawannya bekerja. Segera saja Mila menghampiri.

“Hai Rev," sapa Mila saat sudah di dekatnya.

“Oh hai, Mila.” Reva pun membalas sapaan itu.

Keduanya lantas cium pipi kiri dan kanan seperti yang sering mereka lakukan saat bertemu.

Mila sudah menganggap Reva melebihi saudara sendiri. Sahabat lama dari SD. Tempatnya berbagi suka duka.

“Duduk, Mil.”

Setelah Mila duduk, Reva menawarinya minum.

“Mau minum apa, Mil?”

“Biasa.”

“Kau mau mabuk lagi, Mil?”

Sebenarnya tadi Reva mau memanggil pelayannya, tapi saat Mila hendak mabuk lagi, dia jadi mengurungkan niatnya.

“Ya, biar semua beban di pikiran gue ilang,” jawab Mila sedikit berteriak dan merentangkan tanggannya. Mewakili perasaam dirinya yang ingin bebas. Badannya lalu merebah ke sandaran kursi sembari memijat pelipis sendiri yang terasa pening.

“Beban apa, Mil? Bukannya selama ini elu selalu hidup berfoya-foya?”

“Iya sih itu bener. Tapi sekarang semua beda. Tiap hari bokap gue selalu marahin gue,” gerutu Mila sembari menepikan koper ke sampingnya.

Reva pun melirik koper sahabatnya.

“Elu ngapain bawa koper segala, Mil? Jangan-jangan elu kabur, Mil?” tanya Reva yang langsung dibalas dengan anggukan Mila.

“Wah gawat elu, Mil!” cela Reva. “Kenapa elu kabur dari rumah, Mil? Kalo nyokap elu nyariin gimana?”

“Biarin aja nyariin gue. Abis gue bete. Masa gue mau dikuliahin ke Jawa Timur. Dan yang bikin gue kesel lagi, gue disuruh masuk pesantren. Parah banget ‘kan ortu gue. Gue jadi nggak bebas deh kalo gue ke pesantren.”

Mendengar celoteh sahabatnya itu, Reva tak bisa berkomentar. Sebenarnya di dalam hati, ia setuju pemikiran orang tua Mila. Sayang, Reva tak berani berkomentar apa-apa. Takut Mila kesal juga.

“Gue boleh kerja di sini ‘kan, Rev?” tanya Reva tiba-tiba. Mengulang pertanyaannya saat di telepon.

“Bo ... boleh dong. Elu ‘kan sahabat gue,” jawab Reva sambil menepuk punggung tangan Mila. Bibirnya berusaha mengukir senyum.

“Makasih. Elu emang sahabat gue yang terbaik,” ucap Mila.

Kemudian dibalas dengan anggukan Reva yang penuh ketulusan.

“Nanti elu nginep di rumah gue aja dulu ya, Rev? Karena mess karyawan udah penuh. Lagian mana betah elu tidur barengan sama karyawan-karyawan gue,” kelakar Reva yang berhasil membuat raut tegang sahabatnya menjadi sedikit sumringah.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!