Sesampainya di rumah, Alya tidak langsung masuk, ia memilih duduk di teras rumah sambil menikmati embusan angin. Suara gemerisik dari dedaunan pohon mangga yang saling bergesekan itu menambah suasana tenang dan menyejukkan.
Hari pertama bekerja memang cukup menguras tenaga, tetapi Alya begitu bersemangat karena ia cukup baik dalam menjalankan pekerjaannya. Ditambah teman-teman di bagiannya begitu ramah dan hampir semuanya baik.
"Alya! sudah pulang, Nak," tegur Adi yang muncul dari dalam rumah. Pria paruh baya itu menghampiri Alya dan disambut senyuman oleh gadis manis itu.
"Ibu kemana, Pak?" tanya Alya usai mencium punggung tangan Adi.
"Ada di dalam. Sedang ada tamu," jawab Adi.
"Siapa?"
"Bu Tari. Teman Ibu kamu. Mau pesan kue sepertinya," Adi mengulurkan tangan mengajak Alya untuk masuk.
"Oh ... " Alya pun segera bergelayut manja di lengan ayahnya sambil berjalan memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam,"
Melihat Alya datang, Tari mengerutkan kening menatap Alya. Dan tak lama bibirnya mengurai senyum saat bisa mengenali Alya yang sudah berubah menjadi gadis dewasa yang manis. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu terakhir ia bertemu dengan Alya yang masih bocah.
Heni dan Tari menjalin pertemanan cukup lama. Berawal dari acara pengajian dan sama-sama menjadi jamaah, keduanya bertemu. Meski tak sering bertemu, namun keduanya cukup akrab.
"Alya! lama enggak ketemu kamu, Nak?" ucap Tari kemudian segera memeluk Alya.
"Iya, Tante. Sudah lama sekali, hampir satu tahun. Tante enggak pernah kesini lagi?" imbuh Alya kemudian melepaskan pelukannya.
"Tante akhir-akhir ini sibuk, banyak hal yang harus diselesaikan, sampai ke pengajian saja sering absen, tanya tuh! sama Ibu kamu," ujar Tari.
Heni hanya tersenyum menanggapi kalimat Tari.
"Bagaimana, Sayang, hari pertama bekerja? Lancar?" tanya Heni.
"Lhoh! Alya sekarang kerja,Jeng?" Tari menatap Heni bergantian menatap Alya.
"Iya, Jeng. Anaknya maksa, pingin kerja sambil kuliah katanya," jawab Heni.
"Kamu mandiri sekali, Nak. Tante bangga sama kamu," Tari menatap lembut sambil mengusap pipi Alya dengan sayang.
Ketiga wanita itu sudah larut dalam percakapan membahas tentang Alya yang sekarang bekerja.
...***...
Banyak hal yang menjadi bahan obrolan ketiga wanita itu, sampai tak terasa waktu terlewati begitu saja.
Tari menghentikan obrolan saat terdengar dering ponselnya. Ia melihat nama penelfon di layar ponsel.
"Reno Akbar"
"Assalamu'alaikum," sapa Tari saat telfonnya tersambung.
"Ma, aku sudah di depan rumah temen Mama,"
"Iya, Sayang. Sebentar lagi Mama keluar," ucap Tari sambil mengedarkan pandangannya keluar rumah. Tampak sebuah mobil mewah berwarna hitam sudah terparkir di depan rumah Alya.
"Jeng Heni, Alya. Tante pamit pulang dulu ya, anak Tante sudah jemput. Ada di depan," tutur Tari setelah menutup sambungan telfonnya.
Setelah saling berpamitan, Alya dan Heni mengantar Tari sampai ke teras depan rumah.
"Hati-hati, Tante!" Alya dan Heni melambaikan tangan mengantar kepergian Tari.
...***...
Akbar yang tengah menunggu di dalam mobil menatap kehadiran sang Mama yang ke luar dari dalam rumah dengan dua wanita lainnya. Sekilas ia hanya cuek, lalu mulai menyalakan mesin mobilnya. Tapi saat ia menoleh dua kali, ia mempertajam penglihatannya saat melihat gadis yang menarik perhatiannya sedang bersama Tari.
"Zahrani Aliya Putri"
Akbar fokus menatap Alya, melihat dengan teliti saat gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum begitu manis. Senyum simpul terulas di dibibir Akbar.
Senyum itu segera menghilang saat pintu mobil terbuka dan Tari memasuki mobil.
"Sudah, Ma?" Akbar memastikan.
"Sudah. Ayo, Sayang!"
Akbar menatap sekilas pada Alya yang masih berdiri di teras sebelum kemudian melajukan mobilnya.
...***...
"Itu tadi siapa, Ma?" tanya Akbar tanpa menoleh ke arah Tari.
"Itu 'kan teman pengajian Mama, Sayang, Tante Heni. Masa kamu lupa? Kamu 'kan enggak sekali ini antar jemput Mama ke rumah Tante Heni. Kamu dulu kalau gak salah pernah ketemu juga ...." Tari menghentikan ucapannya saat menatap ekspresi Akbar yang kurang puas atas jawaban yang ia berikan.
"Maksud kamu gadis tadi, Alya?" tanya Tari sambil menatap wajah putranya yang berubah ekspresi, sedikit ada senyum berkedut di ujung bibir Akbar.
Tari menahan senyum, "Alya anaknya Tante Heni, Sayang. Dia manis banget, Mama suka. Kamu suka gak, Sayang?" tanya Tari, ia tersenyum menatap Akbar yang sedikit salah tingkah mendapat pertanyaan darinya.
Akbar berdehem pelan, "cuma tanya saja, Ma."
Tak mau menggoda putranya lebih jauh, Tari hanya mengangguk dan menahan senyum. Ia merasa bahagia saat Akbar terlihat punya rasa tertarik dengan Alya.
...****...
Sesampainya di rumah, Tari dan Akbar segera turun dari mobil dan memasuki rumah. Ketika Akbar hendak menaiki tangga, Tari menahan Akbar untuk berbincang di ruang tengah.
"Bagaimana hari pertama kamu bekerja, Nak?" Tari menatap wajah Akbar yang terlihat malas untuk menjawab pertanyaan darinya.
"Biasa saja, Ma. Akbar cuma lihat situasi saja di sana," jelas Akbar dengan mengulas sedikit senyum terpaksa.
"Sayang, Mama cuma pesan yang lalu biar berlalu, cukup Mama yang sakit. Kamu sama Nana tidak perlu terlalu larut dalam masalah ini, dengan mengorbankan masa depan dan hidup kamu. Kamu punya masa depan cerah yang sedang menunggu kamu datang menjemput. Sejauh ini Mama juga baik-baik saja kan. Mama juga berusaha untuk bangkit dari keterpurukan karena Mama punya kamu dan Nana," ucap Tari penuh kesungguhan. Berharap Akbar mau berdamai dengan keadaan.
Akbar hanya mematung dengan pandangan kosong mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.
***
Akbar baru saja menapakkan kaki di ruang tamu, seketika terdiam saat melihat Tari menangis. Wanita kesayangannya itu berurai air mata hingga sesenggukan menahan tangis.
Di sisi lain, terlihat pula Ayahnya, Pratama Hendarsyah duduk di sofa tunggal bersebrangan dengan Tari. Wajah pria itu penuh ketegangan juga seulas kesedihan tergambar di sana.
Tak jauh dari Ayahnya, Akbar juga melihat seorang balita, mungkin usianya masih tiga tahun pada waktu itu. Sangat manis berada dalam gendongan seorang wanita muda yang ia kenali sebagai sekertaris Ayahnya, juga berada di sana. Wanita bernama Monic itu hanya menunduk dengan wajah takut.
Akbar mendekat lalu duduk di samping Tari.
"Ma ... Mama kenapa? Ada apa ini, Ma?" Akbar menghapus buliran air mata Tari yang semakin deras mengalir.
Akbar semakin bingung saat Tari langsung memeluknya dan semakin tersedu-sedu.
"Akbar ... !" Akbar segera menoleh ke arah Tama.
"Mungkin sudah saatnya kamu juga tahu. Ini memang salah, tapi Papa tetap harus tetap mengatakannya," Ayahnya berucap dengan nada berat. Berulang laki-laki itu menghela nafas berat.
"Monic ...." Tama melirik ke arah Monic. Wanita itu semakin menundukkan kepala. "Dia ... dia telah menjadi istri ke dua Papa."
Suara isakan Tari kembali mengeras mendengar ke dua kalinya sang suami mengumumkan kabar buruk dalam hidupnya itu.
Keterkejutan tergambar jelas di wajah Akbar. Ia melihat sekilas ke arah Monic dengan tatapan marah berbalut kebencian.
"Anak ini juga anak Papa, berarti dia ... dia juga Adikmu," Akbar kembali menatap tajam ke arah Tama.
Belum sempat hilang rasa terkejutnya, kembali sang Ayah memperkenalkan buah hati dari sebuah kesalahan yang merenggut kebahagiaan keluarganya.
Akbar masih terdiam, tak mampu berucap apapun. Kabar itu sangat mengejutkannya. Dunianya seolah runtuh bersamaan rasa benci yang teramat sangat untuk Tama.
Remasan tangan Tari pada lengan kemejanya membuat jantung Akbar bergemuruh, seluruh emosi menjalar keseluruh tubuhnya, tangannya terkepal dan matanya memerah menahan air mata yang hendak mengalir. Merasakan kekejaman sang Ayah yang tega mengumumkan secara terang-terangan penghianatan yang telah dilakukan.
"Kau sungguh keterlaluan, Pa!" desis Akbar sambil melempar tatapan tajam pada Tama.
"Akbar ...." Tari menengadah menatap Akbar dengan derai air mata.
Belum sempat Akbar menjawab Tari, ia menolah ke arah tangga saat terdengar derap langkah kaki seseorang.
"Dasar! Kamu wanita jahat!!" Nana berlari dari arah tangga dan langsung merangsek ke arah Monic.
"Kamu jahat udah ngambil Papaku!" Nana berusaha mendorong Monic hingga tubuh wanita itu membentur dinding. Kembali Nana berusaha menjambak Monic.
"Mas ... tolong aku!" Teriak Monic. Wanita itu berusaha melindungi balita dalam gendongannya.
Tama segera berlari melerai Nana.
"Nana! Hentikan!" Tama menarik kasar tangat putrinya hingga cengkraman Nana pada Monic terlepas.
Nana tetap meronta-ronta dengan terus ingin menyerang wanita yang telah mengambil Ayahnya. Untuk anak seumuran Nana, mungkin yang ia mengerti hanya Papanya telah diambil orang lain.
Melihat Nana yang terus ingin menyerang Monic membuat emosi Tama semakin tersulut.
"Hentikan!" Tangan Tama sudah melayang hendak menyentuh pipi Nana.
"Cukup Pa!" Akbar berseru menghentikan Tama.
Ia berdiri sembari merangkul Tari lalu menghampiri Nana yang sudah ketakutan. Akbar meraih tangan adiknya dari cengkraman tangan Tama.
"Jangan lagi menyakiti Adikku lebih dari ini," geram Akbar.
Ia segera membawa ibu dan adiknya kedalam kamar. Meninggalkan Tama dan Monic begitu saja.
Dalam hatinya hanya rasa sakit teramat sangat. Bukan hanya karena penghianatan sang Ayah, tapi lebih pada kedua wanita yang begitu ia sayangi kini harus tersakiti.
****
Terima Kasih yang sudah bacaa..
Semoga kalian semua sukaa....
Jangan lupa kasih like dan coment ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Baby_Miracles
sedih😬
2021-07-09
1
Khalisah Rochman
nyesek thor....
2020-12-19
1
Rivaldo Akbar
pak tama kecantol mak lampir
2020-10-31
1