Pernyataan Cinta

...Selamat Membaca...

Vino terpesona memandang penampilan Nesya malam ini. "Ha-hai, Sya?" sapa Vino gagap. "Vino bodoh, kenapa aku jadi gagap begini sih," rutuknya dalam hati.

"Ha-hai!" Nesya ikutan tertular gagapnya Vino.

"Silahkan duduk!" Vino menarik salah satu kursi untuk diduduki calon kekasihnya.

"Thanks." sebelum duduk Nesya melepas cardigan yang ia pakai kemudian menyampirkannya di belakang kursi. Karena hari sudah malam dan juga gaunnya yang tanpa lengan makanya Nesya memutuskan untuk menggunakan cardigan yang nantinya akan ia buka setibanya di restoran.

Vino ikutan duduk, tepat di depan Nesya. Mereka dibatasi oleh meja yang tak terlalu besar.

Sambil menunggu hidangan yang tadi sudah sempat dipesan, Vino kini hanya memperhatikan lekat perempuan yang duduk di depannya. Ya, Nesya. Malam ini, dia terlihat sangat cantik dan menawan di mata Vino. Gaun barley yang melilit tubuh ramping itu begitu cocok dengannya, Nesya terlihat manis dan sexy dalam waktu yang bersamaan. Rambutnya diikat tinggi, menampakkan leher jenjang Nesya yang begitu putih juga mulus, membuat Vino harus segera mengalihkan pandangannya karena takut berpikiran yang tidak-tidak.

Nesya sendiri, sedari tadi menyadari jika Vino memperhatikannya. Ia jadi salah tingkah sendiri. Melempar pandangannya ke segala arah, mencoba menghindar agar tak berkontak mata dengan Vino.

Setelah beberapa saat berada dalam suasana yang canggung, pelayan datang membawa hidangan makan malam. Tanpa banyak suara, mereka segera menikmati makanan yang tersedia, karena memang itu kan tujuannya makan malam.

Hanya dentingan alat makan beradu dengan piring yang terdengar, Vino dan Nesya begitu menikmati makan malamnya sambil sesekali mereka melempar senyum dan pujian atas hidangan lezat yang mereka cicipi.

"Sya, aku ke toilet sebentar ya," pamit Vino.

"Ya." si cantik mengangguk.

.......

Nesya's POV

Ah, Vino pergi, akhirnya aku bisa bernapas lega juga bar ang sejenak. Jujur setelah selesai makan setengah jam yang lalu, tak ada satupun percakapan yang terjadi di antara kami. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, hanya bisa berterima kasih pada Vino karena telah mengundangku makan malam, hanya itu.

Haaa...entahlah, aku tak tahu apa tujuan Vino mengajakku makan malam. Apa ini hanya makan malam biasa atau Vino memang berencana menyatakan perasaannya padaku. Oh ya ampun, kenapa aku jadi percaya diri sekali, apa aku begitu berharap kalau Vino menyukaiku? Hm...kalau boleh berterus terang, iya. Aku mengharapkan hal itu terjadi. Sejak bertemu dengan Vino kembali, perasaanku yang sudah tertimbun lama kembali tergali.

Dahulu, sembilan tahun yang lalu, aku memang memiliki perasaan khusus pada juniorku itu. Pertengkaran dan perdebatan kami tak jarang menjadi memori indah yang tak jarang kukenang selama berada jauh darinya. Aku merindukannya, merindukan wajah dinginnya, merindukan mulut tajamnya dan merindukan seringaian mengejek yang sering ditunjukannya padaku itu. Aku merindukannya, namun perlahan rasa rindu itu terbenam karena waktu yang terus berlalu, juga kesibukan yang semakin mengisi hariku, hingga aku tak punya waktu untuk memikirkan rindu itu lagi. Sampai saat aku bertemu dengannya tiga hari yang lalu.

"Ah, kenapa aku jadi mengenang masa lalu begini?" aku memilih bangkit dari kursi dan berjalan ke arah pembatas restaurant. Oh ya, restoran ini begitu unik karena berada di tepi sungai. Dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat air sungai yang tenang. Cahaya dari gedung-gedung tercetak jelas di permukaan air sungai karena terbiaskan, memberi kesan menakjubkan. Vino hebat dalam memilih tempat dinner, aku suka.

Wussshh...

Aku sedikit mengusap-usap lenganku yang telanjang, angin malam yang berhembus berhasil menembus kulitku dan seketika dingin menyergap raga. Kenapa Vino lama sekali?

"Nesya!" ah, baru ku pikirkan dia sudah datang. Syukurlah, ku pikir dia akan meninggalkan aku sendirian di sini.

"Ya?" Aku menoleh ke belakang tepat dimana suara Vino berasal.

Deg

Aku membelalakkan mata saat pandanganku tertuju pada sosok yang kini tengah berlutut di hadapanku. Aku menutup mulut tak percaya.

"Vino?"

"Nesya, maukah kamu menjadi kekasihku?" ucapnya sembari mempersembahkan padaku sebuket bunga mawar merah.

Apa? Apa aku tak salah dengar? Vino memintaku untuk jadi kekasihnya?

"Vin, ka-kamu serius?" malah pertanyaan bodoh itu yang aku tanyakan.

Ku lihat dia tersenyum dan menatapku dengan lembut, hal itu berhasil membuat detak jantungku berdetak tak karuan.

"Jika kamu mau, silahkan ambil bunga ini," katanya.

Aku masih terdiam, aku memang menginginkan hal ini, ya...aku ingin menjadi kekasihnya Vino. Namun, aku tak boleh gegabah, aku harus meyakinkan diri dulu jika Vino benar serius padaku. Aku sudah cukup umur dan ingin hubungan ini nantinya sampai pada jenjang yang lebih serius lagi. Oleh karena itu, aku harus memastikannya.

"Vino berdirilah!" Aku membantunya untuk bangkit, tak tega rasanya melihat ia terus berlutut seperti itu. Kini kami berdiri saling berhadap-hadapan.

"Kita baru ertemu kembali setelah sekian lama Vin dan apa yang membuatmu yakin untuk menjadikanku kekasihmu?" tanyaku padanya. Tak lupa aku juga menatap dalam matanya, mencoba menyalami makna dari pancaran mata kelam itu. Apakah ia benar-benar serius padaku.

Deg

Aku tersentak kala tangan Vino memegang kedua pundakku, matanya menatap dalam mataku.

"Kamu ingat saat pertama kali kita bertemu, Sya?" tanya Vino.

Aku mengangguk, "Di kantin sekolah," jawabku.

"Hn. Waktu itu kamu memanggilku rambut cepak," sambung Vino dan kemudian dia tersenyum. Senyum menawan yang berhasil membuatku terpesona untuk beberapa detik.

"Aku belum tahu namamu, jadi ku panggil saja begitu," ungkapku jujur.

"Hn dan aku juga belum tahu namamu waktu itu," katanya lagi.

"Iya, dan kamu memanggilku Senior gila?" aku sedikit merengut kala mengingat hal itu.

"Maaf, tapi waktu itu kamu memang terlihat bodoh," Ck, dan kali ini ia tertawa. Matanya menyipit dengan senyum yang lebar. Lagi, aku terpesona.

Tawanya terhenti dan kemudian ia kembali menatapku, "Tapi kamu tak sebodoh diriku," lanjutnya.

"Eh? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

"Setelah satu bulan, aku baru tahu ternyata Senior gila ini adalah seorang perempuan," jelasnya sembari mencolek hidungku.

Deg

Perlakuannya barusan membuat pipiku terasa panas, "Ah, i-iya, ka-kamu bodoh," kataku gugup.

Vino tersenyum, sepertinya dia menyadari jika aku salah tingkah. Aduh, malunya.

"Aku tak pernah menyangka jika masa SMA-ku akan dihiasi dengan perdebatan juga pertengkaran dengan dirimu, Sya, itu membuatku sedikit terhibur." Vino kembali berujar - mengenang masa lalu kami.

"Ka-kamu menikmati masa itu?" tanyaku.

"Hn." Dia mengangguk. "Hanya setahun dan setelah itu tidak lagi," lanjutnya.

"Eh, kenapa?"

"Karena tak ada dirimu," akunya.

Deg

Aku terkejut mendengar pengakuannya, sebegitu berpengaruhnya kah keberadaan diriku baginya.

"Nesya?" panggilnya lagi.

"Ya?" Dengan ragu aku memandangnya. Wajahnya tampak serius kali ini, membuat sesuatu di dalam dadaku berdetak hebat.

"Kamu tadi bertanya, apa yang membuatku yakin untuk menjadikanmu kekasihku? Maka jawabannya hanya satu-," Vino menggantung ucapannya.

"Apa itu?" cicitku pelan. Sungguh baru kali ini aku berada di posisi mendebarkan seperti ini. Memang sering aku mendapat pengakuan cinta dari beberapa pria namun kali ini berbeda, karena ini berasal dari pria yang aku juga menaruh hati padanya, tak seperti pria lain yang ujungnya aku tolak.

"Aku mencintaimu Nesya Putri Adhinata."

Deg

Vino mencintaiku, apa ini benar?

"Sebenarnya sudah dari dulu perasaan ini ku pendam, aku menyukaimu dari dulu Nesya."

"Saat aku masih menjadi Nesya si tomboy urakan?" tanyaku.

"Hn, saat kamu masih seorang senior gila yang menyebalkan," jawabnya dan kami berdua tertawa.

Setelah tawa kami berhenti, suasana hening...

"Hm, bolehkah aku tahu bagaimana perasaanmu, Sya?" tanya Vino kemudian.

Mendengar hal itu, aku tersenyum dan lantas menggenggam tangan Vino yang masih memegang buket bunga.

"Kalau begini, kamu tahu kan jawabannya?" tanyaku.

"Hn, terima kasih."

Kami berdua saling melempar senyum, Vino tiba-tiba meraih tangan kananku dan mengecup punggung tanganku lembut.

"Kamu sangat cantik malam ini," pujinya setelah menjauhkan wajah dari tanganku yang masih digenggamnya.

"Kamu juga tampan," balasku balik memuji dan kami kembali tersenyum.

Malam itu kami menghabiskan waktu bersama dengan berkeliling kota.

.......

Adrian's POV

Hari sudah malam dan saat aku bertanya pada bi Cici, beliau mengatakan jika saat ini jam sudah menunjukkan angka 10. Vino belum juga kembali dan hal itu membuatku sedikit mencemaskannya.

"Tuan tidak mau tidur duluan? Biar saya yang menanti tuan Sasuke," kata bi Cici yang sedari tadi setia menemaniku duduk di ruang tamu.

"Tidak bi, sebaiknya bibi saja yang beristirahat. Biar aku yang menunggu Vino pulang," tolakku.

"Sungguh tidak apa-apa tuan jika saya tidur duluan?" Bi Cici bertanya lagi. Sepertinya beliau tidak enak hati membiarkanku sendiri menanti kepulangan Vino.

"Tak apa, Bi. Aku tahu bibi pasti capek karena seharian ini bekerja. Jadi beristirahatlah!" Semoga bi Cici mendengarkanku. Kasihan jika beliau  harus menemaniku disini, aku tahu beliau pasti lelah.

"Baik tuan, saya permisi dulu."

Setelah bibi pergi, tinggal lah diriku seorang diri. Namun tak berselang lama, aku mendengar suara mobil yang masuk pekarangan rumah. Sepertinya Vino sudah pulang.

Segera saja aku melajukan kursi rodaku menuju pintu masuk. Ya, walaupun buta tapi aku sudah hapal setiap ruangan di rumahku, itu semua terwujud karena latihanku selama dua tahun ini.

Cklek

"ku pulang," sapa seseorang yang kudengar melangkah masuk.

"Selamat datang." Ya...orang itu adalah adikku.

Setelah memastikan dia masuk, aku kembali menutup juga mengunci pintu.

"Kenapa kakak belum tidur?" tanya Vino sembari dia mendorong kursi rodaku, sepertinya menuju ruang tamu.

"Aku menunggu kabar bahagia darimu," jawabku terus terang. "Bagaimana, misimu sukses?" tanyaku. Saat ini kami sampai di ruang tamu dan Vino sepertinya duduk di sofa yang tak jauh dari tempat kursi rodaku berpijak.

"Saat ini aku telah menjadi pria yang paling bahagia di dunia ini kak," jawabnya. Dari perkataannya aku bisa menebak jika misi Vino berhasil dan saat ini adik kecilku telah memiliki seorang kekasih.

"Syukurlah," ucapku lega. "Jangan buang-buang waktu lagi, Vin. Segera perkenalkan calonmu padaku dan kalau bisa langsung saja ikat dia dalam tali pernikahan," usulku. Ku pikir, tak perlu berlama-lama dalam menjalin sebuah hubungan. Jika sudah sama-sama saling mencintai dan menginginkan hubungan yang lebih serius, ada baiknya segera menikah saja.

"Secepatnya kak," Kata Vino.

"Bagus."

"Oh ya kak, ada sesuatu yang ingin ku tanyakan padamu?" kata Vino tiba-tiba.

"Hn, apa? Tanyakan saja!" balasku.

"Itu...," Ku dengar Vino menghela napas sejenak baru kemudian kembali berucap. "Ini tentang tetangga kita, kak," lanjutnya.

"Tetangga? Maksudmu tetangga yang mana?" tanyaku bingung.

"Tetangga baru kita kak, dia seorang perempuan bernama Nesya."

Deg

Aku tersentak saat Vino menyebutkan nama itu. emangnya ada apa dengan Nesya? Dan sejak kapan adiknya mengenal perempuan baik hati itu.

...Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!