Pertemuan Kembali

...🕊️Selamat Membaca🕊️...

Kantin SMA

Sekumpulan siswa duduk di salah satu meja panjang yang ada di dalam kantin. Mereka bercengkrama ria, kadang juga tertawa, ditemani oleh beberapa minuman juga snack yang sampahnya sudah berserakan di atas meja.

"Minuman gue habis nih, beliin sekotak susu stroberi dong, Ger ..." pinta seorang siswa bersurai hitam jabrik.

"Pergi beli sendirilah! Punya kaki, kan?" tolak siswa yang dipanggil Ger, Geri.

"Ck ... capek, ah. Lo aja deh yang beli, Ki!" pintanya lagi. Kali ini pada temannya yang lain, Kiki.

"Ya elah Nes, tinggal jalan beberapa langkah juga. Jangan manja, deh." Malah balasan itu yang diterima si Jabrik.

"Kalian pada ngak setia kawan, nih. Dimintai tolong itu aja malah banyak alasan," gerutunya.

"Kita juga capek kali Nes, males gerak nih ..." seorang siswa lagi berpendapat.

"Cih ... gayanya capek padahal nggak ada kerjaan juga," ledek si Jabrik yang tak lain adalah Nesya.

"Dari pada pusing, mending minta tolong aja sama junior yang lewat. Mereka tidak akan berani nolak deh, secara kita ini kan senior di sini," saran salah satu siswa lainnya.

"Ide bagus tuh. Boleh di coba." Nesya menyunggingkan senyuman liciknya.

Kini pandangannya mulai mengitari seluruh kantin dan kebetulan ada dua orang siswa yang lewat di depannya. Langsung saja Nesya panggil mereka.

"Heii rambut cepak dan botak, kemari kalian!" Seru Nesya lantang.

Sontak dua orang yang merasa terpanggil itu menoleh dan mendapati seorang siswa yang melambai-lambai di antara siswa lainnya. Mereka berdua segera menghampiri meja yang ditempati sekumpulan siswa itu.

"Hei ... kalian anak kelas satu, kan?" tanya Nesya.

"Ya," jawab salah seorang dari mereka yang berambut cepak sisir samping.

"Lo yang tanpa rambut, tolong beliin gue sekotak susu stroberi!" suruh Nesya.

Siswa plontos itu mengangguk dan hendak beranjak untuk membeli pesanan seseorang yang ia ketahui jika itu adalah senior mereka, namun lebih dulu tangan seseorang mencegat kepergiannya.

"Ada apa, Vin?" tanya si siswa berkepala botak.

"Jangan pergi, Son!"

"Kalau gue nggak pergi maka akan terjadi masalah yang akan merepotkan. Lo tahukan gue benci hal yang merepotkan," jelas siswa bernama Soni itu.

"Tapi mereka tidak bisa semena-mena begini pada kita, mentang kita juniornya," balas siswa bernama Vino.

"Hei! Apa-apaan ini? Pakai memprovokasi si botak segala. Kalian nggak suka gue suruh, hah?" Protes Nesya.

"Tentu saja kami tidak suka. Memangnya kami ini pesuruh lo, eh?" tantang Vino tanpa takut.

Mendengar sang junior yang berani menantang dirinya, Nesya merasa mendidih. Ia menggebrak meja menggunakan kakinya. "Sialan!" serunya dengan nada tinggi. Nesya berdiri hendak melabrak siswa kelas satu yang songong itu namun seketika lengannya ditahan oleh Geri.

"Mau masuk ruang BP lagi, hah? Baru kemarin lo masuk ke sana, mau masuk lagi?" peringat Geri.

Untuk menghindari masalah, akhirnya Nesya mengalah. Ia mendengus keras sebelum mendudukkan kembali pantatnya pada bangku kantin.

"Kalian bisa pergi sekarang!" Kiki memilih mengusir dua junior itu, jika mereka tetap di sana takutnya Nesya akan mengamuk lagi.

Sebelum pergi Vino sempat melirik Nesya dan ternyata perempuan itu juga tengah menatapnya kesal. Dengan senyuman mengejek, Vino berujar.

"Senior GILA."

...🍁 🍁 🍁...

"Senior gila?" panggil Vino tak yakin.

"Eh? Alvino?" Nesya menyapa balik. Raut wajahnya sirat akan keterkejutan. Tak menyangka jika akan bertemu mantan juniornya di SMA dulu.

"Kamu benar-benar Senior gila itu?" Vino memastikannya lagi.

Nesya terkikik kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan mantan juniornya di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. "Apa aku masih terlihat gila di matamu sampai saat ini, Vin?" tanya Nesya dengan suara lembut dan jangan lupakan senyuman manis yang mengiringinya.

Deg

Vino terdiam, ia merasa jika saat ini jantungnya tengah berdegup kencang akibat menerima senyuman manis dari mantan seniornya. Apa dulu seniornya itu pernah tersenyum semanis ini? Ah, Vino rasa tidak pernah. Dan sekarang? Perubahan mengerikan macam apa ini? Ke mana Nesya yang tomboy dulu? ke mana seniornya yang urakan dan sering mengumpat? Ke mana .... ke mana siswa jabrik yang dulu sering masuk ruang BP?

"Kamu tidak membohongiku, kan? Kamu tidak mungkin seniorku dulu." Vino masih sulit percaya karena perubahan Nesya memang sedrastis itu.

Nesya ingin tertawa terbahak-bahak, namun urung ia lakukan demi menjaga imagenya di kantor, ia hanya terkekeh anggun menanggapi kebodohan Vino. Apa sebegitu drastis perubahan dirinya hingga mantan juniornya itu tak memercayai jika dia memang adalah Senior gila yang dimaksud.

"Aku harus bagaimana agar kamu percaya padaku, Vin, ah ... maksudku si rambut cepak?!" tanya Nesya dengan menggunakan panggilan masa lalunya pada Vino.

Deg

Vino terdiam lagi. Kali ini ia sudah yakin jika perempuan yang berdiri di hadapannya ini adalah benar seniornya. Senior yang dulu sering bersitegang dengannya. Senior yang berada dua tingkat di atasnya.

"Kalian saling mengenal?" Reina yang semula hanya mendengarkan, kini mulai membuka suara.

"Ya, nanti akan ku ceritakan."

"Ya sudah, ayo Nesya!" ajak Reina.b

"Aku duluan ya, Vin." Nesya pamit.

"Ya." Vino hanya berdehem, namun pandangannya tak pernah lepas dari paras cantik Nesya.

"Ah, tunggu!" henti Vino ketika Nesya juga Reina sudah melangkah menjauhinya.

Dua perempuan berbeda usia itu berbalik, "Apa?" itu Reina yang bertanya.

"Bukan dirimu, aunty." Mendengar itu Reina hanya bisa mengelus dada. Sudah dibilang jangan panggil aunty tetap juga dirinya yang masih muda ini dipanggil aunty.

"Senior, setelah jam kantor berakhir, bisakah kita mampir ke cafe untuk sekedar berbincang?" ajak Vino.

"Tentu," angguk Nesya.

"Ya. Aku akan menunggumu Senior!"

"Nesya. Cukup panggil namaku, Vin. Aku bukan seniormu lagi saat ini," pinta Nesya.

"Hn? Ah ... ya. Nesya." Darah Vino berdesir ketika memanggil nama Nesya untuk yang pertama kalinya.

"Sampai ketemu lagi." Kali ini Nesya benar-benar menghilang bersama Reina.

"Ada apa denganku?" Vino memegangi dadanya yang berdentum hebat.

.......

Setelah selesai bekerja, sesuai rencana kini Nesya dan Vino sudah berada di sebuah cafe dekat kantor.

"Aku tak menyangka jika akan bertemu lagi denganmu, Vin." Nesya memulai pembicaraan.

"Ya, aku juga. Senior banyak berubah."

Nesya terkekeh kecil, ia sangat mengerti dengan maksud perubahan yang dibicarakan Vino. "Banyak yang sudah terjadi dan inilah aku yang sekarang. Apa aku terlihat aneh?" tanya Nesya dengan wajah sedikit miring ke kanan mencoba bertingkah imut dan ternyata itu berhasil membuat Vino memalingkan wajahnya ke arah samping. Ada rona merah muda yang samar di pipi putihnya. Nesya terkekeh kembali.

"Sepertinya hanya aku yang berubah di sini."

"Ya?" Vino kembali menatap Nesya. Tak mengerti dengan maksud perkataan perempuan di depannya ini.

"Kau tak berubah, Vin, masih tetap tampan seperti sembilan tahun lalu."

BLUSH

Vino tahu dia tampan dan ia juga sudah sering mendapat pujian seperti itu, tapi entah kenapa kalau Nesya yang mengucapkan rasanya ada yang beda. Wajahnya tiba-tiba panas dan hatinya membuncah bahagia. Ada apa ini?

"Vin?" panggil Nesya saat dilihatnya si tampan tengah melamun.

"Y— ya? Ada apa, Senior?" balasnya gugup yang lagi-lagi menuai kekehan geli dari Nesya.

"Ck ... sudah ku bilang panggil namaku, bukan Senior - senior lagi!" protesnya.

"Ah, ya." Vino lupa. Bukan lupa sepenuhnya sih, hanya saja ia terlalu canggung untuk memanggil nama perempuan cantik itu. Ada sensasi aneh, ia belum siap.

"Oh ya, ku dengar kau merupakan wakil direktur di perusahaan?" tanya Nesya.

"Iya, dan direkturnya adalah pamanku. Adik kandung ayah," beritahunya dan Nesya hanya menganggukkan kepala paham.

"Selama ini kamu kemana saja, setelah lulus dari SMA aku tak pernah bertemu lagi denganmu dan menurut yang ku dengar dari paman, kamu dipindahkan dari perusahaan cabang?"

Nesya melotot mendengar ucapan panjang Vino. "Ini pertama kalinya ku dengar kamu berkata sepanjang ini, Vin ..." katanya takjub.

BLUSH

Lagi-lagi Vino memerah, bisa sekali Nesya menggodanya.

"Maaf," katanya. "Memang benar, setelah lulus aku kehilangan ayahku. Jadi aku, ibu dan kakakku memutuskan untuk pindah ke kampung halaman ibu. Selang beberapa tahun, ibuku juga pergi. Aku hidup berdua bersama kakakku. Aku kuliah dan bekerja di sana sampai perusahaan memindah tugaskanku ke sini," jelas Nesya panjang.

"Ya ..." Hanya respon seperti itu yang Vino berikan. Namun dalam hati ia berkata jika nasib mereka tak jauh berbeda. Mereka sama-sama sudah kehilangan orang tua dan hanya hidup bersama sang kakak. Kebetulan menyedihkan macam apa ini.

.......

Vino terus memandang dalam diam Nesya yang tengah berkutat dengan ponselnya. Ada debaran aneh di hatinya setiap menatap wajah cantik Nesya dan hal itu juga berlaku untuk sembilan tahun yang lalu. Saat seniornya masih dalam rupa yang tomboy dan urakan.

"Nes—,"

"Vin!" Baru saja Vino akan memanggil nama Nesya, tapi perempuan itu sudah mendahuluinya.

"Ya?"

"Aku harus pulang sekarang," katanya.

"Ku antar?" tawar Vino.

"Tidak perlu." Nesya menggeleng. "Aku sudah ada yang jemput."

"Ku antar ke depan." Nesya mengangguk

untuk tawaran yang satu itu.

Sampainya di depan cafe, Nesya pamit dan segera berlari menuju sebuah mobil sedan berwarna putih. Ada seorang pria yang sedang menunggu di luarnya.

Nesya langsung memeluk si pria begitu sudah berada di dekatnya. Dan tanpa disangka si pria berbadan tinggi tegap itu juga mengecup pucuk kepala Nesya.

"Ada hubungan apa mereka?" Sungguh Vino merasa hatinya saat ini memanas melihat pemandangan itu. Ia tak suka Nesya bersama pria lain. Apakah dia cemburu? Ah ... benar, dia cemburu.

Tak lama setelah kepergian Nesya dengan pria itu, Vino menghubungi seseorang.

"Di mana?"

"............"

"Bisa temui aku sekarang?"

"............."

"Di cafe dekat perusahaan."

"........"

PIP

Vino kembali memasuki Cafe dan menunggu seseorang di dalam sana.

... ....

Seorang pria yang tadi dihubungi Vino, sedari tadi terus mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Sudah lebih dari 10 menit orang yang menyuruhnya datang kemari belum juga angkat bicara, membuatnya lelah menunggu.

"Merepotkan, jadi apa yang mau lo bicarakan? Lo tahu? Demi lo, gue rela ninggalin istri gue yang hamil tua di rumah. Gue nggak bisa lama, cepatlah jika lo ingin berceri—"

"Dia kembali, Son," ucap Vino akhirnya.

"Dia?" Soni mengernyit heran. "Siapa yang lo maksud?"

"Senior gila."

"Senior gila?" Pria bernama Soni itu mencoba mengingat-ingat siapa gerangan senior yang disebut Vino dengan sebutan gila. Setelah flashback sejenak ia langsung mengingatnya. "Nesya Putri Adhinata?" tanyanya meyakinkan.

"Ya." Vino mengangguk.

"Apa? Yang benar?" Soni terlihat antusias.

"Ya."

"Senior yang dulu suka bertengkar dengan lo itu, kan? Senior tomboy itu?"

"Ya, dia sekarang bekerja di perusahan gue."

"Tak dapat dipercaya, lalu bagaimana? Apa lo seneng? Bukankah saat dia ngilang dulu lo begitu murung, tapi kenapa sekarang wajah lo masih kusut seperti itu?" Tanya Soni.

"Sebelum lo datang, kami minum di cafe ini."

"Lalu di mana dia?"

"Sudah pergi."

"Pergi?"

"Ya, dijemput oleh seorang pria."

"Hahahhaahaa ..." Tawa Soni langsung pecah setelah mendengar perkataan Vino. Sekarang ia mengerti kenapa wajah teman sedari kecilnya itu kusut dan masam. "Ternyata cemburu, toh," ucapnya setelah berhenti tertawa.

"Puas lo nertawain gue?" Vino mendelik tajam pada Soni.

"Sorry, tapi mungkin aja pria itu bukan kekasihnya."

"Mereka berpelukan dan pria itu juga mencium keningnya."

"Ppfft ..." Soni ingin tertawa lagi, tapi untuk sekarang ia tunda dulu. Ia tak ingin membuat Vino kesal. "Bisa saja itu saudaranya? Kakak mungkin?"

"Kakak?" Vino tampak berpikir. "Bisa jadi, Nesya bilang dia memiliki seorang kakak?" Seingat Vino sih begitu, tapi ia tak tahu apa kakaknya Nesya itu perempuan atau laki-laki.

"Sudahlah ... ini baru hari pertama. Masih banyak waktu untuk pendekatan. Jangan khawatir, jika dia jodohmu maka dia akan kembali padamu," ucap Soni.

"Hah? Pikiranmu terlalu jauh, Son. Gue aja belum sempat memikirkan tentang jodoh, pernikahan masih jauh buat gue."

"Makanya pikirkan mulai sekarang! Lo nggak ingin kayak gue, eh? Sebentar lagi punya anak."

"Ck, gue masih muda, belum berpikiran untuk menikah. Masih ingin menikmati masa sendiri."

"Lo pikir gue nggak menikmati masa muda, hah? Gue seneng bisa nikah muda. Saat pulang ada yang nyambut, ada yang masak makanan buat gue, memanjakan gue, dan menemani gue tidur. Lo yakin nggak iri, Bro?" goda Soni.

Skakmat, Vino terdiam. Jujur, ia juga ingin merasakan hal itu. Disambut oleh seseorang dengan senyuman manis di saat dirinya pulang ke rumah, memasakkan makanan enak untuknya setiap hari, memanjakannya, merawatnya saat sakit, menghiburnya di kala sedih dan yang terakhir menemaninya ketika tidur. Oh ... membayangkan yang terakhir membuat wajah Vino panas seketika karena apa yang dibayangkannya saat ini adalah Nesya sebagai objeknya.

"Gila lo!" Soni geleng-geleng melihat Vino yang sedang mengkhayal.

"Selamat berfantasi teman, gue pulang dulu, sudah rindu istri tercinta. Bye." Soni menepuk pelan pundak Vino sambil dirinya berlalu pergi meninggalkan cafe.

"Ya."

"Menikah, ya?" Dan dimulailah hari dimana Vino memikirkan satu kata itu.

.......

Nesya meletakkan barang belanjaannya di atas meja, sebelum pulang tadi ia dan sang kakak mampir dulu ke supermarket untuk membeli kebutuhan dapur.

"Tadi di cafe sama siapa?" tanya Naufal yang tengah melonggarkan ikatan dasinya.

"Ah ... bersama mantan juniorku di SMA dulu, namanya Alvino Pranaja." Nesya menghampiri Naufal dan menyodorkan segelas air minum untuk kakaknya.

"Makasih." Naufal menyesap setengah dari isi gelasnya dan kemudian mendesah lega. "Pranaja?" tanyanya ketika mendengar nama belakang yang disebutkan sang adik.

"Ya, dia juga termasuk keluarga yang memiliki perusahaan. Dia wakil direktur di sana."

"Hebat ya dia, masih muda sudah jadi wakil direktur," puji Naufal.

"Ck, apa susahnya sih, Kak, toh itu juga perusahaan keluarganya sendiri."

"Hahaha, kau ini." Naufal mengacak pelan surai hitam sang adik. "Apa Vino itu tampan?" godanya.

HAH?

Nesya melotot saat mendengar pertanyaan itu dari sang kakak. "Hm ... ya begitulah," jawabnya gugup dengan wajah yang sedikit merona.

"Wah ... jika melihat ekspresimu sekarang ini, kurasa yang namanya Vino itu sangatlah tampan. Benarkan?" Naufal menaik turunkan alisnya.

"Kak!" Nesya langsung cemberut karena Naufal terus menggodanya.

"Lihatlah sekarang adikku jadi senyum-senyum sendiri?" Melihat wajah menggemaskan sang adik, Naufal semakin gencar untuk menggodanya.

"Tidak, Kak. Aku hanya teringat kenangan masa SMA dulu. Kakak tahu? Satu bulan setelah kami bertemu, Dia baru sadar jika aku adalah perempuan. Hahahaahahah." Nesya langsung tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian dahulu.

.......

Nesya yang baru menyudahi panggilan alamnya, memilih untuk segera keluar dari toilet.

Cklek

Setelah keluar, tanpa sengaja ia bertemu dengan Vino yang juga habis dari toilet, toilet laki-laki berada di depan toilet perempuan. Jadi sekarang posisi mereka saling berhadapan.

"Lo?!" seru Nesya dengan nada ketus.

"Ck, selain gila ternyata lo mesum juga, ya."

HAH?

"Woi!" Nesya tak terima. Tak ada angin tak ada hujan, junior songongnya yang satu itu langsung mengatainya mesum. Dengan napas menggebu-gebu, ia langsung menghampiri Vino, meraih kerah bajunya dan mencengkramnya kuat. Manik coklatnya menatap tajam pada manik hitam di hadapannya.

"Atas dasar apa lo ngatain gue mesum, hah?" tanya Nesya dengan nada penuh penekanan dan tatapan intimidasi.

"Gue rasa lo nggak buta untuk bisa melihat tanda di depan toilet." Tanpa ada rasa takut Vino membalas pertanyaan Nesya.

HAH

Nesya melepaskan cengkramannya pada kerah baju Vino dan kemudian menoleh ke belakang, tepat ke arah pintu toilet perempuan.

"Gue masih bisa lihat jika tanda itu adalah tanda orang menggunakan rok," jawab Nesya polos.

"Itu lo tahu, sementara lo?" Sasuke memandang remeh Nesya.

"Gue?" tunjuk si Jabrik pada dirinya. "Gue masuk toilet yang benar lah," ucapnya yakin.

Vino memandang Nesya dari atas sembari tersenyum meledek. "Maksud lo dengan celan—

—rok?"

Vino terdiam, ia memperhatikan kembali penampilan Nesya dari atas - bawah- atas lagi dan sekarang ia baru sadar jika orang yang berada di depannya ini adalah seorang perempuan. Tapi, dengan penampilan seperti ini? Rambut jabrik? Lengan baju yang digulung? Wajah kusam tanpa make up? Dia perempuan?

"L—lo perempuan?" tanya Vino gagap.

HAH

Nesya menganga lebar, tak percaya dengan kebodohan junior di hadapannya. Walaupun tomboy, selama ini Nesya selalu menggunakan rok kok kalau ke sekolah, tapi kenapa makhluk tampan yang satu ini baru menyadarinya. Padahal dalam sebulan ini mereka selalu bertemu dan juga sering bersitegang. Masa sih Vino tak sadar?

"Jadi selama ini lo pikir gue ini laki-laki? Yang benar aja ... mata lo katarak, ya?" ejek Nesya.

"Apa kata lo?" Vino sadar jika kali ini ia memang bodoh karena tak menyadari jika Nesya itu perempuan, tapi ia juga tak terima dikatai katarak.

"Hahahha ... dasar junior bodoh!" Nesya diiringi tawanya segera pergi meninggalkan Vino yang masih berdiri di depan toilet.

"*Senior gila!"

Nesya mengabaikan gerutuan junior tampannya itu*.

.......

"Hahahahaa ... Kakak tahu? Wajah Vino saat itu benar-benar lucu." Selesai bercerita Nesya kembali tertawa terbahak, namun tawanya tak berlangsung lama ketika ia melihat Naufal hanya diam sembari menatapnya datar.

"Kamu pikir itu lucu?" tanya Naufal.

"Apa?" Nesya mengernyit. Bingung kenapa respon sang kakak tidak seperti yang ia harapkan.

"Kamu terlihat bahagia sekali saat menceritakannya, tak salah lagi ... kamu pasti menyukai Vino, kan?" goda Naufal.

"Hm ... oh ya, bagaimana interview nya, Kak? Kakak dapat pekerjaannya?" tanya Nesya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Dapat dong, siapa sih yang bisa menolak pesona kakakmu yang tampan ini?" balas Naufal bangga.

"Cih, tampan tapi Bujang Lapuk," ledek sang adik.

"Kamu juga, Perawan Tua!" balas Naufal sambil mencubit gemas hidung sang adik.

"Isshhh ... " Nesya mengusap hidungnya yang merah karena ulah sang kakak. "Ya sudah, aku mau bersih-bersih dulu setelah itu memasak makan malam." Nesya mundur dari hadapan sang kakak lalu beranjak menuju kamarnya.

"Semoga kamu mendapatkan seorang pria yang akan menggantikanku untuk menyayangi dan melindungimu,Sya ..." do'a Naufal.

.......

Nesya selesai memasak makan malam, juga telah menyelesaikan menghias cupcakenya. Itu semua tak luput dari bantuan sang kakak. Mereka sudah sering memasak bersama, membagi tugas rumah tangga. Masakan Naufal juga tak kalah enak dari masakan Nesya.

"Kak, aku keluar sebentar, ya?" pamit Nesya.

"Ke mana?" tanya Naufal.

"Aku mau memberikan ini pada tetangga baru kita." Nesya memperlihatkan box berisi beberapa cupcake coklat yang tadi ia buat. "Aku berkenalan dengannya tadi pagi," lanjutnya.

"Oh ... baiklah, cepat kembali! Sebentar lagi kita akan makan malam."

"Iya Kak, aku pergi dulu."

.......

Nesya melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah yang berada tepat di sebelah rumahnya. Sampai di depan pintu ia langsung menekan bel.

Tak lama kemudian seseorang dari dalam membukakan pintu, seorang wanita tua dengan rambut yang sudah memutih.

"Selamat malam, maaf aku datang mengganggu," sapa Nesya ramah.

"Kamu tetangga baru itu, kan?" tanya wanita yang tak lain adalah bi Cici.

"Iya, namaku Nesya, Bi," ucap si cantik memperkenalkan diri.

"Silahkan masuk, Non!" ajak bi Cici.

"Tidak usah, Bi. Aku kemari hanya untuk mengantarkan ini." Nesya kemudian menyerahkan box berisi cupcake itu pada bi Cici.

Bi Cici sedikit mengintip isi di dalam box, "Terima kasih banyak, Non ..." ucapnya.

"Sama-sama, Bi dan juga aku akan sangat senang jika Bibi memanggilku Nesya saja," pintanya dengan senyuman manis.

"Tentu, Non Nesya." Bi Cici mengangguk dan tersenyum.

"Ya sudah, Bi, aku pulang dulu ya. Semoga suka dengan cupcake buatanku," katanya.

"Pasti, tuan Adrian pasti juga akan menyukainya," balas bi Cici dengan membawa-bawa nama sang majikan.

"Semoga."

Setelah berpamitan, Nesya segera kembali ke rumah di mana sang kakak tengah menunggunya untuk makan malam.

.......

"Aku pulang!"

Vino baru kembali ke kediamannya setelah beberapa menit kedatangan Nesya. Ia segera masuk dan menghampiri sang kakak dan bi Cici yang sedang duduk di meja makan.

"Vino? Terlambat sekali pulangnya?" tanya Adrian yang saat ini tengah mencoba cupcake coklat buatan Nesya.

"Ah, aku tadi menemui uncle Bara dulu sebelum pulang, Kak ..." jawab Vino sambil satu tangannya meraih gelas dan menuangkan air ke dalamnya.

"Ada apa?"

"Ada urusan sedikit," jawabnya kemudian meminum segelas air yang tadi ia tuang. Adrian hanya mengangguk-anggukkan kepala dengan pandangan lurus ke depan.

"Ya sudah, ayo makan!" ajak Adrian.

"Kakak duluan saja! Aku mau bersih-bersih dulu."

"Baiklah."

"Oh ya, Bibi bikin cupcake?" tanya Vino saat matanya melihat jika ada makanan itu di atas meja.

"Bukan Tuan, tetangga baru yang ada di sebelah mengantarkannya untuk kita," jawab bi Cici.

"Ini enak Vin, cobalah!" kata Adrian.

"Iya Tuan, cupcakenya enak terlebih orang yang membuatnya sangat cantik," beritahu bi Cici sembari tersenyum melirik ke arah Adrian dan Vino menyadarinya.

"Eh, ada apa ini?" tanya Vino dengan nada menggoda. "Kakak bertemu perempuan cantik di belakangku?"

"Ya Tuhan, kenapa jadi aku yang kena?" tanya Adrian yang tak tahu apa yang terjadi.

"Maaf Kak, aku bercanda. Aku ambil satu, ya." Vino mencomot satu cupcake dan memakannya sambil menuju kamar.

"Enak," gumamnya.

.......

"Kakak sudah tidur, Bi?" tanya Vino saat dirinya tengah mengambil air untuk dibawa ke kamar. Sementara bi Cici sedang mencuci piring.

"Sudah Tuan," jawabnya.

"Oh ya Bi, tadi kakak bertemu dengan siapa?" Vino masih penasaran.

"Tadi pagi ada seorang perempuan yang menolong tuan Adrian yang tengah kesusahan menjalankan kursi rodanya. Mereka berkenalan dan ternyata wanita itu tetangga baru. Rumahnya tepat di sebelah rumah kita." Vino hanya mengangguk paham mendengar penjelasan asisten rumah tangganya itu.

"Perempuan itu sangat cantik Tuan terlebih dia juga baik hati. Senyumnya juga tulus saat berbicara pada tuan Adrian," lanjutnya.

"Ya." Vino mengangguk lagi.

"Dan sepertinya tuan Adrian sedikit tertarik."

Deg

"Benarkah?" Vino sedikit kaget. Baru kali ini ia mendengar jika kakanya tertarik pada seseorang. Bahkan seorang perempuan cantik yang menjadi dokter fisioterapinya saja diabaikannya. Padahal sudah secara terang-terangan perempuan itu mengaku memiliki perasaan padanya. Ini sungguh diluar dugaan.

"Ya, Tuan."

"Memangnya seperti apa perempuan itu, Bi?" tanya Vino.

"Hm ..." Bi Cici coba membayangkannya.

"Dia perempuan cantik, kira-kira lebih muda usianya dari pada tuan Adrian. Ia memiliki surai hitam panjang dan manik indah berwarna coklat terang. Senyumannya juga manis dan terlihat begitu tulus." jelasnya.

Deg

Seketika Vino mengingat seseorang dengan ciri seperti itu.

"Nesya ..."

...Bersambung...

...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers......

...🙏🏻😊...

Terpopuler

Comments

Alfino Sripendowo

Alfino Sripendowo

ttp smngat smoga sukses dan slm kenal tor

2021-05-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!