...🕊️Selamat Membaca🕊️...
"Surai hitam dan manik coklat terang?" seketika Vino mengingat seseorang dengan ciri fisik seperti itu.
"Nesya," pikirnya. Ah iya, dia baru ingat. Dia harus menghubungi mantan seniornya itu sekarang juga untuk mendapatkan klarifikasi mengenai pria yang tadi menjemputnya. Vino sudah mendapatkan nomor ponsel Nesya dari data-data yang ia peroleh dari Bara tadi sore.
Langsung, setelah ia mengambil minum, Vino segera melesat menuju kamarnya.
.......
Vino membuka nomor ponsel Nesya, namun dirinya belum memiliki keberanian untuk menghubungi perempuan yang dua tahun lebih tua darinya itu. Ia masih menyusun kata yang sekiranya dibutuhkan untuk memulai pembicaraan.
Beberapa menit kemudian, Vino menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya pelan dan segera memencet tombol panggil. Ia menempelkan ponsel di telinga, panggilannya masih menyambungkan dan itu sukses membuatnya sesak napas.
"Halo?" suara di seberang sana menyapa gendang telinganya. Begitu merdu dan mendayu, membuat Vino terlena sesaat.
"Halo, ini siapa?" Suara itu kembali menyapa dan berhasil membuat Vino tersadar untuk segera menjawabnya.
"H—hi, ini aku, Vino," jawabnya sedikit gugup.
"Oh Vino, kamu dapat nomorku dari mana?" tanya Nesya-orang di seberang sana.
"Ah ... dari Uncle," akunya jujur.
"Oh ya, ada apa menelpon malam-malam begini?"
"Tanyakan tidak, ya?" Vino kembali berpikir. Apa tidak apa jika dirinya menanyakan mengenai pria yang tadi bersama Nesya? Bagaimana tanggapan mantan seniornya itu nanti? atau yang terburuk ternyata pria itu adalah kekasihnya, oh mungkin saja suaminya? Ah, itu tidak mungkin. Nesya belum menikah dan Vino tahu hal itu karena tadi ia melihat CV perempuan itu.
"Vino, kau masih di sana?"
"Ah iya,maaf Senior."
"Nesya, bukan senior lagi, Vino. Apa namaku terlalu buruk ya sehingga kamu tidak mau memanggil namaku?" ada nada sendu yang terdengar di seberang sana dan Vino seketika merasa bersalah.
"Bukan begitu. Maafkan aku, Sya," kata Vino tak enak. Mulai sekarang ia akan memanggil nama perempuan itu walau darahnya terus berdesir setiap mengucap nama Nesya.
"Itu lebih baik." Seseorang disana terdengar puas.
"Oh ya, kamu sedang apa?" tanya Vino kemudian. Basa basi dulu sebelum ke inti.
"Rencananya aku mau tidur sebelum kamu menelponku."
"Maaf, aku jadi mengganggumu waktu tidurmu." Vino jadi tak enak hati. Karena rasa penasarannya malah mengganggu waktu istirahat Nesya.
"Tidak apa, aku senang kamu menghubungiku."
Deg
Hati Vino langsung bahagia mendengarnya.
"Ekhm ... tadi kamu pulang bersama siapa, Sya?" Wah, Vino mengelap peluh imaginernya. Akhirnya pertanyaan ini ia tanyakan juga, tinggal menunggu jawabannya saja.
"Oh ... itu Kak Naufal, kakakku."
Seketika Vino merasakan angin segar di sekitarnya. Syukurlah ... ternyata benar dugaan Soni, pria itu hanyalah kakak dari Nesya, jadi masih ada kesempatan.
"Oh, baguslah." Tak sengaja kata itu terucap dari bibirnya.
"Bagus? Maksudnya, apa yang bagus, Vin?"
Sial! Vino merutuki mulutnya sendiri. Apa yang harus ia jawab sekarang.
"Vino?"
"Ah, baguslah ada yang menjemputmu, Sya. Jadi kamu akan aman," jawabnya berkilah.
"Ah iya, kakak memang perhatian padaku karena hanya aku satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Jadi Kakak tidak ingin hal buruk terjadi padaku," jelas Nesya.
Vino sangat mengerti perasaan itu karena dia juga merasakannya. Ia juga memiliki saudara yang harus ia jaga. Adrian adalah satu-satunya kakak yang ia miliki saat ini dan tentu saja sebagai adik, ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sang kakak yang ia sayang.
"Sya, aku tutup teleponnya ya, kamu harus istirahat karena besok akan masuk kerja."
"Iya... kamu juga, kan?"
"Ya. Selamat malam, Sya."
"Selamat malam."
TIT
Vino mematikan sambungan telepon, meletakkan ponsel di atas kasurnya dan langsung memegangi dadanya yang tengah berdentum hebat. Ah, kenapa ia jadi seperti anak remaja yang sedang kasmaran begini.
"Ah, Nesya. Aku menyukaimu."
.......
Pagi sekali Vino sudah rapi dengan pakaian kantornya, ia segera duduk di meja makan dan menyantap sarapan paginya dengan kilat.
"Kak, aku berangkat dulu ya," pamitnya pada Adrian.
"Tidakkah ini terlalu pagi, Vin?" tanya Adrian heran.
"Ah, aku harus pergi ke suatu tempat dulu sebelum ke kantor Kak," jawabnya.
"Oh begitu, ya sudah hati-hati di jalan, ya. Menyetirnya pelan-pelan saja!" Seperti biasa nasehat yang satu itu tak pernah Adrian lupakan.
"Ya, Kakak juga jaga diri. Aku pergi dulu."
Vino segera menghilang dari balik pintu rumah, sementara Adrian kembali menyantap sarapannya yang belum habis.
"Tuan Vino terlihat bersemangat sekali hari ini," komentar bi Cici yang setia berdiri di samping Adrian.
"Aku juga merasakannya, Bi. Nada suaranya terdengar bahagia. Apa terjadi sesuatu padanya?" tanya Adrian penasaran.
"Entahlah Tuan, namun yang jelas ekspresi tuan Vino seperti seseorang yang sedang jatuh cinta," beritahu bi Cici. Dia sudah 60 tahun hidup di dunia ini dan dari ekspresi serta gerak-gerik Vino tadi sangat jelas menandakan jika tuan mudanya itu sedang jatuh cinta. Bi Cici yakin akan hal itu.
"Cinta? Vino? Wah, adikku sudah dewasa rupanya." Adrian hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Topik ini akan dia gunakan untuk menggoda Vino nanti.
.......
Hari ini Nesya diantar oleh Naufal ke kantor, kebetulan tempat kerja kakaknya searah dengannya jadi Nesya bisa menumpang.
"Kak, aku masuk dulu ya. Kakak hati-hati jalannya!" setelah berpamitan Nesya segera memasuki kantor sementara Naufal kembali melesatkan mobilnya menuju perusahaan tempatnya bekerja.
.... ...
Setelah memarkirkan mobil, Naufal langsung melangkahkan kakinya memasuki gedung perkantoran tempatnya bekerja. Di perjalanan tak jarang banyak mata yang memperhatikannya, kebanyakan itu adalah mata-mata wanita. Bagaimana tidak, karyawan baru itu memiliki wajah yang tampan dengan perawakan bak model, pantas banyak wanita yang mengaguminya.
Ruangannya berada di lantai empat, ia harus menaiki lift untuk bisa sampai di sana. Setelah pintu lift terbuka,Naufal segera masuk ke dalamnya. Hanya ada dua orang di dalam lift itu, dirinya dan seorang perempuan. Pria berambut gelombang itu melirik dengan ekor matanya pada perempuan yang berdiri tepat di sampingnya.
"Cantik dan anggun," pujinya dalam hati.
Setelah berapa lama, pintu lift terbuka. Perempuan yang tadi di dalam bersamanya memilih untuk keluar lebih dahulu dengan sedikit tergesa, Naufal mengikuti dari belakang. Tanpa diduga, perempuan itu malah tersandung kakinya sendiri dan hampir terjatuh jika saja Naufal tidak menahan pinggangnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Naufal. Saat ini posisinya, Naufal berada di belakang si perempuan dan salah satu lengannya tengah melingkar di area perut si perempuan.
Sadar akan posisinya yang sedikit rawan, pria itu segera melepaskan tangannya dari perut si perempuan. Dengan canggung ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Terima kasih banyak." Perempuan anggun itu menghadap ke arah Naufal, menundukkan kepala sebentar lantas mengucapkan terima kasih.
"Ah iya, sama-sama. Lain kali berhati-hatilah," jawab serta nasehat Naufal.
Perempuan itu hanya mengangguk dengan kepala menunduk.
Setelah itu keadaan hening, tak ada di antara Naufal maupun perempuan itu yang bergerak terlebih dahulu. Mereka seperti tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
"Kenapa dari tadi dia hanya menunduk?' batin Naufal heran.
"Aku belum pernah melihat dia di kantor ini sebelumnya," suara hati si perempuan.
"Sandra!" suara panggilan itu segera mengambil alih atensi dua manusia berbeda gender yang tengah melamun tadi.
"Kakak?" si perempuan bersuara.
"Pak Sandi?" Naufal menyapa sembari menunduk hormat. Sandi adalah pemimpin tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
"Kalian sudah bertemu?" tanya pria bernama Sandi, seseorang yang tadi memanggil nama Sandra. Naufal dan perempuan bernama Sandra itu mengernyit bingung.
"Apa maksudmu, Kak?" tanya Sandra.
"Eh?" Sandi memperhatikan mereka berdua bergantian. Pria berambut hitam klimis itu pikir mereka sudah berkenalan, ternyata belum.
"Perkenalkan ini Naufal Putra Adhinata, mulai sekarang dialah yang akan membantu pekerjaanmu. Maksudku, dia sekretrismu," beritahu Sandi.
Sandra melotot dengan wajah yang merona. "Apa tidak salah? Sekretarisku seorang pria?" teriaknya dalam hati. Sungguh, berdekatan dengan pria saja selama ini ia jarang kecuali ayah dan kakaknya, tapi kini ia harus bekerja dan bertemu setiap hari dengan pria asing. Kenapa tega sekali kakaknya mencarikan sekretaris pria buatnya. Tanpa sadar Sandra menggembungkan pipinya pertanda kesal pada sang kakak yang seenaknya mengambil keputusan tanpa meminta pendapatnya.
Sandi terkikik dalam hati melihat ekspresi sang adik, ia tahu jika saat ini adik cantiknya itu sangat kesal. Bukan tanpa alasan sebenarnya Sandi melakukan ini, ia hanya ingin adiknya itu mulai membuka diri pada lawan jenis. Selama ini Sandra hanya sibuk bekerja dan bekerja, melupakan jika dirinya juga bertambah tua. Sudah saatnya bagi Sandra untuk menikah dan memberinya keponakan yang lucu, hehe.
"Naufal sangat tampan, cocoklah jika disandingkan dengan adik cantikku," pikir Sandi.
"Kak?" seru Sandra.
"Ah..." Sandi tersadar dari pemikirannya yang berniat menjodohkan dua orang itu.
"Naufal, perempuan cantik ini adalah adikku, Sandra namanya. Mulai hari ini kau akan bekerja sebagai sekretarisnya," jelas Sandi.
"Baik, Pak." Naufal mengangguk paham. Sementara Sandra tambah cemberut karena sang kakak memuji dirinya di depan orang asing.
"Apa? Jadi perempuan ini yang menjadi atasanku? Wakil direktur di perusahaan ini? Tak dapat dipercaya!" entah kenapa pikiran remeh itu menggerayangi benak Naufal.
"Ya sudah, aku akan kembali ke ruanganku. Selamat bekerja Pak Naufal, Buk Sandra," kata Sandi sebelu m pergi meninggalkan mereka berdua.
"Menyesal aku meminta bantuan kakak untuk mencarikan sekretaris baru," rutuk Sandra dalam hati.
Menghembuskan napas sejenak, Sandra membenahi sedikit pakaiannya dan berkata dengan tegas. "Pak Naufal ikut aku! Akan ku tunjukkan di mana ruanganmu."
"Baik," angguk Naufal.
"Perempuan yang aneh," batin Naufal.
.... ...
"Vino?" Nesya dikejutkan dengan penampakan Vino di depan pintu ruangannya.
"Pagi, Sya!" sapa Vino.
"Hm, pagi," balas Nesya.n
Mereka berpandangan sesaat sampai Nesya kembali buka suara. "Apa yang kamu lakukan di depan ruanganku pagi-pagi begini?"
"Memberikan ini!" Vino menyerahkan sebuket bunga krisan merah untuk Nesya.
Mata Nesya terbelalak memandang buket bunga yang saat ini tengah disodorkan Vino padanya. Beberapa saat kemudian Nesya beralih memandang si pemberi bunga yang kini tersenyum tipis padanya, uh ... tampannya.
"Untukku?" tanya Nesya sambil menunjuk dirinya.
"Ya ..." Vino mengangguk.
"Dalam rangka apa?"
"Selamat bergabung di Pranaja Group," jawabnya.
"Eh?"
"Ambil ini!" Vino terpaksa menjejalkan buket itu pada tangan Nesya, karena perempuan itu belum mengambilnya.
"Eh?"
"Thanks," cicit Nesya.
"Aku ke ruanganku dulu, sampai nanti." Vino segera pamit undur diri.
"Ya ..."
Nesya memandang kepergian Vino dengan wajah sedikit merona, sebab baru kali ini ia diberi bunga oleh seorang pria.
"Semoga kamu tahu apa makna krisan merah yang ku berikan padamu, Sya."
.......
Saat jam makan siang, Nesya kembali dikejutkan dengan kemunculan Vino di depan pintu ruangannya.
"Makan siang bersama?" ajaknya.
"Baiklah." Nesya yang belum lepas dari keterkejutannya hanya bisa mengangguk, mengiyakan ajakan Vino untuk makan siang bersama.
Di sepanjang perjalanan menuju tempat makan, Nesya hanya sibuk memperhatikan Vino yang berjalan di sebelahnya.
"Apa Vino menyukaiku? Dia memberiku krisan merah, yang aku tahu bunga itu mengartikan bahwa si pemberi mencoba mengungkapkan perasaan cintanya pada orang yang diberi, tapi masa iya dia menyukaiku, sedang dulu kita sering bertengkar," pikir Nesya.
"Ah, mungkin saja dia tidak tahu makna bunga yang diberikannya. Asal pilih saja," pikirnya lagi mencoba mengenyahkan pemikiran tentang Vino yang memiliki perasaan padanya.
"Vino, Sayang!" seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan langsung bersigayut di lengan Vino. Nesya melotot melihatnya.
"Lepaskan aku Cecilia!" protes Vino tak suka.
"Sayang, kenapa makan siang tidak ngajak aku sih? Aku kan juga lapar, ayo kita makan bersama!" ajak Cecil yang sama sekali tak mempedulikan protesan Vino dan alhasil pria itu sendirilah yang melepaskan tangan Cecil dari lengannya.
"Kau tak lihat aku sudah punya partner untuk makan siang? Jadi jangan ganggu kami!" ucap Vino dengan nada dingin dan tampang datarnya.
"Vino sayang, aku kan juga ingin makan siang bersamamu," katanya manja.
"Makan saja dengan asistenmu!"
"Ayo, Sya!" dengan sengaja Vino menggandeng tangan Nesya dan membawanya pergi. Ia ingin menyadarkan perempuan manja itu jika ia tak menyukainya.
"Ck ... Lucky, segera cari tahu siapa perempuan yang tadi bersama Vino!" titahnya marah dan segera berbalik pergi.
"Baik, Nona."
.......
Tok....tok.....tok....
Seorang perempuan cantik, siang ini bertamu ke kediaman Pranaja bersaudara.
"Oh, nona Gina, silakan masuk nona!" setelah melihat siapa yang datang, bi Cici segera mempersilakan orang itu masuk. Dialah Ginara, dokter fisioterapinya Adrian.
"Terima kasih, Bi." Perempuan cantik dengan gaya rambut pony tail itu segera masuk.
Di dalam sudah ada Adrian yang menanti, memang hari ini adalah jadwal bagi Pranaja sulung untuk terapi.
"Siang, Adrian ..." sapa Gina seraya menghampiri pria yang duduk di kursi roda itu.
"Siang, Gin..." balasnya
Tanpa berpikir lama, Gina segera mendorong kursi roda Adrian menuju sebuah ruangan khusus, dimana ruangan itu memang digunakan untuk terapinya si tuan rumah.
Terhitung sampai sekarang sudah 2 tahun Gina menjadi dokter fisioterapinya Adrian dan sudah dua tahun pula pria itu duduk di kursi roda. Adrian mengalami kecelakaan dan divonis mengalami kelumpuhan, kecelakaan itu jugalah yang membuatnya buta.
"Bisa kita mulai sekarang?" tanya Gina sebelum memulai terapi pada kaki Adrian. Walaupun telah dipastikan jika ia lumpuh tapi Vino terus memaksa agar sang kakak melakukan terapi, katanya sih agar otot-otot kakinya tidak kaku.
"Hm," balas Adrian.
Adrian dan Gina merupakan teman semasa kuliah dulu, ah, tepatnya Gina adalah juniornya Adrian walau mereka beda fakultas. Saat ini umur si cantik bermanik hitam itu adalah 28 tahun.
Hampir 1 jam terapi berlangsung dan hal itu tak luput dari perbincangan hangat di antara keduanya.
"Hm, kamu istirahat dulu ya. Aku mau keluar sebentar," kata Gina setelah terapinya selesai.
"Ya..."
Gina berjalan menuju dapur dan disana ia bertemu dengan bi Cici.
"Bi, apa bahan-bahan untuk membuat lumpia pisang, ada?" tanyanya.
"Oh, ada Non, Nona mau membuatkannya untuk tuan Adrian?" tanya bi Cici.
Gina tersenyum lalu mengangguk.
"Biar bibi bantu," kata bi Cici.
"Tidak, Bi, biar aku sendiri. Bibi kerjakan yang lain saja," tolaknya.
"Baik, Non."
.......
Hampir satu jam waktu yang digunakan Gina untuk membuat lumpia pisang coklat-makanan kesukaan Adrian itu. Setelah menatanya di piring, Gina segera membawanya ke ruangan tempat Adrian berada.
"Yan, aku membut lumpia pisang untukmu. Cobalah!" katanya seraya meletakkan makanan itu di samping Adrian.
"Apa aku memintamu untuk membuatnya?" tanya Adrian dingin.
"Eh, bu—bukan begitu, Yan. Hanya saja aku—"
"Aku tidak butuh, Gin. Sudah berapa kali ku bilang, kamu jangan terlalu perhatian padaku!" bentak pria itu.
Deg
Gina terkejut mendengar Adrian membentaknya, tak terasa air mata mulai meleleh di pipinya. Memangnya apa salah jika ia memperhatikan Adrian, salah jika ia membuatkan pria itu makanan yang disukainya, apa salah ia melakukan semua itu?
"Kamu tidak perlu melakukan ini Gin, cukup jadi dokter terapiku saja. Jangan libatkan perasaanmu lebih jauh lagi karena sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa membalasnya," jelas Adrian.
Mendengarnya, Gina berurai air mata. Menangis dalam diam sembari menutup mulut agar isakannya tak terdengar. Ini memang salahnya, salahnya karena tetap memainkan perasaannya walaupun pria itu sudah berulang kali menolaknya. Ya, Gina pernah menyatakan perasaannya pada Adrian dan berakhir penolakan. Ia bertekad untuk menghilang perasaannya, namun apa daya semakin berusaha melupakan, malah semakin dalam rasa cintanya pada pria tuna netra itu.
Cukup lama terdiam, akhirnya Gina memberanikan diri untuk bicara dan tentu saja itu setelah ia berhasil menetralisir suaranya agar Adrian tak tahu bahwa ia baru saja menangis.
"Maafkan aku Adrian, jika memang itu maumu, aku akan meminta Vino untuk mencarikan dokter fisioterapi yang baru untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa tidak nyaman dengan keberadaanku, jadi aku memilih berhenti dari pekerjaan ini. Aku pergi dulu." Gina segera berlari pergi dari ruangan itu.
Adrian memejamkan matanya, merasa menyesal atas apa yang baru saja terjadi. Tak seharusnya ia bicara seperti itu pada Gina. Bagaimana pun juga Gina tetaplah temannya terlepas dari rasa suka yang dimiliki perempuan itu untuknya. Kalau sudah begini, mau apa lagi. Ia hanya berharap jika Gina segera melupakan pria cacat dan tak berguna seperti dirinya, pria yang sama sekali tak pantas untuk dicintai.
Gina kembali menangis saat dirinya sudah keluar dari ruangan Adrian, ia tak menyangka jika perasaannya akan membebani pria yang dicintainya. Ini sangat menyakitkan, terlebih saat ia mengatakan pengunduran dirinya, secara otomatis ia tak akan bisa bertemu lagi dengan Adrian. Mungkin memang sudah jalannya, ia harus melupakan pria yang menjadi cinta pertamanya itu.
"Nona, ada apa?" Bi Chiyo yang kebetulan lewat tak sengaja melihat Gina yang tengah berdiri di depan ruangan Adrian sambil menangis.
Gina segera menghapus air matanya dan tersenyum tipis, "Tak apa, Bi. Aku pulang dulu ya," dan ia segera berlari keluar rumah.
"Sepertinya telah terjadi sesuatu," lirih bi Cici.
.......
TIN
Gina berlari keluar dari gerbang kediaman Pranaja bersaudara, ia yang terlampau buru-buru tak menyadari jika ada sebuah mobil yang melaju ke arahnya.
"Aaaa..." pekiknya seraya berjongkok di jalan karena tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Cukup lama berada di posisi itu, Gina tak merasakan jika ada hantaman pada tubuhnya, jadi dengan jantung yang dag dig dug, ia mencoba untuk membuka mata yang sempat terpejam.
"Maafkan aku, kamu tidak apa-apa?" tanya seorang pria yang baru saja keluar dari mobil yang sempat akan menabrak Gina.
"A—aku tidak apa-apa."
"Cantik."
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers...🙏🏻😊...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments