CERITA SEBENARNYA

Setelah apel pagi selesai, kegiatan di batalyon sangat padat. Kabarnya lusa Pangdam akan berkunjung ke sana. Pengarahan dari Komandan pun segera dilaksanakan. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Butiran peluh mengalir mengikuti lekuk wajah serta tubuh dia, tangannya pun penuh dengan tanah.

Dia adalah Kapten Raditya Juha, yang artinya Cahaya dari Tuhan. Ia satu-satunya Komandan Baterai yang berstatus bujangan. Walaupun statusnya sebagai perwira, ia tetap turun tangan untuk membantu.

"Akhirnya selesai juga di sini," ucap Juha melihat sekelilingnya.

"Ijin Danre, di ujung sana belum," tunjuk salah seorang anak buahnya.

"Kalian saja duluan." Juha menaruh peralatan di pinggir jalan.

"Ijin, kalau mau bantu, jangan setengah-setengah, Danre," ucap salah seorang yang lain dengan nada becanda.

"Oho ... minta ditindak kamu?!"

"Siap salah!" Mereka serentak berucap dengan gestur tegak.

Danre yang paling asyik dan santai hanya Kapten Juha. Mungkin, karena dia belum berkeluarga, jadi lebih sering berbaur dengan yang lainnya. Juha memang tidak gila hormat. Bagi dia bersikap sopan dan tahu aturan saja itu sudah cukup.

"Beli minuman, gih!" seru Juha.

"Ijin, minuman apa?" tanya salah seorang yang bernama Putra.

"Terserah."

Setelah memberikan uang, Juha kembali ke barak. Ia berniat untuk membersihkan diri. Dua puluh menit berlalu, Ia keluar dari barak mengenakan kaos hitam serta celana pendek jeans.

"Loh ... kamu, belum beli minumannya?" tanya Juha saat bertemu dengan anak buahnya yang disuruh beli minuman.

"Ijin, belum, Danre. Tadi di suruh korve depan barak." Juha mengangguk.

"Ya sudah, kamu beli sekarang!" serunya, "Eh ... tunggu saya ikut, deh." Juha langsung melempar kunci motornya pada orang itu.

Mereka pergi, berkeliling di sekitar batalyon, mencari minuman yang cocok untuk di minum saat siang hari. Kedai Coffiee sebagai pilihan terakhir. Mereka masuk, terlihat banyaknya pengunjung di sana. Mungkin, sudah waktunya istrahat jadi banyak yang nongkrong di tempat ini.

"Ijin, Danre mau apa?" tanya Putra.

"Saya samain aja, Put," kata Juha. Saat jarak beberapa langkah Juha berkata lagi, "Put ... Putra tanyain berapa orang lagi." Putra mengangguk.

Juha tidak sengaja melihat seorang wanita tertidur di meja pojok dekat pagar dan seorang pengamen yang sedang memperhatikan wanita itu. Tiba-tiba ia berjalan dengan cepat mendekati–duduk dihadapan wanita itu, membelai kepalanya pelan seolah-olah Juha adalah kekasihnya.

Sekarang Juha tahu apa yang diincar oleh pengamen itu. Sebuah ponsel yang dibiarkan tergeletak di meja. Ia langsung mengambilnya, membuka layar kunci.

"Huh?" gumam Juha. Ia sedikit menoleh–melirik ke tempat pengamen berdiri yang ternyata sudah tidak ada. Ia tersenyum, membuka ponsel wanita itu hanya terkunci standar.

Bola mata Juha bergerak ke kanan dan ke kiri lalu tersenyum, seperti sedang merencanakan sesuatu, setelah itu tangannya bergerak mengutak-ngutik benda persegi panjang itu.

Ponsel Juha berdering sebentar. Ia terkikik menutupi bibirnya dengan tangan,, tidak mau membangunkan wanita cantik yang ada di depannya ini. Ia perlahan mengembalikan ponsel di tempat semula.

Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan pikir Juha. Ia masih tersenyum sembari mengambil lintingan tembakau di kotak kecil bertuliskan 'Um***', lalu dibakar–dihisapnya hingga mengeluarkan asap.

Uhuk ... Uhuk ....

Wanita itu terbatuk-batuk. "Maaf ... maaf bu," ucap Juha, rencana ingin menggodanya. Ia berpikir biasanya seorang wanita yang belum menikah akan protes jika dipanggil ibu-ibu, kecuali dia memang sudah menikah.

"izin, Danre, sekarang sisa tiga orang lagi." Putra datang mengacaukan rencananya.

"Ya udah, tungguin aja," ujar Juha. Putra hendak merokok. Namun, tertahan oleh Juha.

"Jangan merokok! Ibunya batuk-batuk."

Wanita itu tersenyum. "Manisnya," ucap Juha dalam hati. Ia mencuri-curi pandang saat berbicara pada Putra. Dahi Juha berkerut saat ponsel wanita itu berdering.

"Iya, Ma."

Bibir Juha langsung terangkat. Ia mengira kekasih dari wanita itu yang menghubungi, tetapi ternyata Ibunya. Kecewa di hati dia saat melihat wanita di hadapannya membereskan barang-barang lalu pergi.

"Iya, nanti malam sama Prawira 'kan?" Juha mendengar jelas ucapan itu. Ia tersenyum saat melihat nomer yang tertera di panggilan tidak terjawab. Setelah pesanan siap, mereka kembali ke batalyon.

Malam pun tiba, Juha belum sempat menghubungi wanita itu. Tadi setelah kembali dari kedai, ia dicari oleh Komandan dan disuruh menghadap ke kantornya. Entah apa yang dibicarakan membuat ia terlihat sedu.

Juha mendudukan dirinya di pinggir kasur, memandang kosong ke arah depan dengan kedua tangan di taruh kebelakang. Ia membuang napasnya kasar, mengambil ponsel di dalam saku celana, lalu mendial nomer wanita tadi siang itu.

"Hallo," sapa wanita itu.

"Hay, apa saya mengganggu?" tanya Juha sedikit ragu.

"Tidak. Maaf ini siapa ya?"

"Saya Putra yang tadi siang di kedai coffiee. Maaf, kalau saya lancang," ujar Juha.

🌷🌷🌷

"Ohh iya, Pak. Ada apa?" tanya Maya penasaran.

"Jangan panggil 'pak' donk," protes Juha.

"Maaf ... pa–, eh, maksud saya Bang." Terlintas dipikirannya seorang bertubuh kekar pasti sangat cocok dipanggil bang.

"Kamu lucu, De~"

"Maya, Bang. Nama saya maya," potong Maya, "maaf, Bang Putra saya sedang di jalan sebentar lagi sampai, nanti lagi teleponnya, ya." Sedikit berharap kalau Juha menghubunginya kembali.

"Ya, sudah, nanti kasih kabar kalau sudah sampai." Bibir Maya terangkat penuh hingga gigi bagusnya terlihat.

"Siap, Bang," ucap Maya sedikit tegas. Terdengar suara di seberang sana sedang tertawa. "Assalamualaikum," pamit Maya.

"Waalaikumsalam," balasnya lalu dimatikan panggilannya.

Maya tidak berhenti tersenyum, gemas hingga membuat kerutan dihidung mancungnya. Menatap layar ponsel dengan fokus pada tulisan Putra. "Berhenti di pagar merah itu, Pak!" serunya pada Sang supir. Setelah membayar, Maya turun dari Mobil online, berjalan ke gerbang rumahnya.

"Hay." Terdengar suara menyapa. Maya. Ia menoleh mendapati Prawira sedang berjalan mendekat. "Baik-baik aja 'kan selama diperjalanan?" tanya Prawira.

Maya bingung tetapi tetap mengangguk. "Kamu ngapain di sini?" tanya Maya.

"Hanya ingin memastikan kamu baik-baik aja. Ya sudah , aku pergi dulu," kata Prawira berbalik, "bye ...." Tangannya melambai dari atas kepala tanpa berbalik menghadap Maya.

Tidak jauh dari rumah Maya, terlihat Kania sedang menunggu di dekat motor Prawira.

Maya tersenyum menyapanya lalu berbalik. "Orang aneh," gumam Maya saat membuka pagar.

Maya masuk, terlihat di rumah tidak ada orang yang artinya kedua orang tua Maya belum pulang. Ia melanjutkan langkahnya ke dalam kamar. Menaruh tas di meja, lalu berniat membersihkan diri. Setelah selesai ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dengan matanya terpejam, memikirkan status hubungannya dengan Prawira yang sudah memiliki kekasih.

Maya mengingat sesuatu membuka matanya, bergeser sedikit ke atas, tangannya meraih tas lalu mengambil ponsel, mengetik di dalam pesannya.

[Saya sudah sampai rumah, Bang Putra] ✔️

[Terima kasih. Ya sudah kamu istirahat, selamat malam, Cantik]

[Hm, selamat malam, Bang.]✔️

Senyum Maya mengembang mengingat wajah Putra yang tampan itu, tetapi perlahan senyum itu hilang. Lagi-lagi ditampar oleh kenyataan bahwa dirinya bukan lagi sendiri.

Ponsel Maya berbunyi lagi, terlihat satu pesan masuk dari nomer yang tidak Maya kenal, lalu ia buka.

[Selamat malam, terima kasih untuk hari ini.]

bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!