"Sebenarnya ... tapi beneran 'kan gak marah?"
"Apaan, sih, Bang?"
"Sebenernya, nama saya bukan putra tapi juha." Sendok yang hampir masuk ke mulut jadi berhenti, Maya melirik ke arah Juha dengan dahi mengkerut. "Maafin saya, ya. Bukan maksud untuk menipu," ungkap Juha.
Maya melanjutkan makannya, terlihat cuek dengan ucapan Juha. Namun, sebenarnya ia sedikit kecewa. Mungkin menurut kebanyakan orang apalah itu hanya sebuah nama.
Akan tetapi, bagi Maya itu adalah sebuah kebohongan diawal. Jika nama saja sudah dibohongi apalagi informasi yang lainnya.
"Adek, marah?"
"Hm ... gak kok, Bang."
"Maaf, ya, Dek. Niatnya kalau adek gak mau ladenin saya di ponsel sebagai putra. Saya akan kenalan langsung sebagai juha," ungkapnya lagi.
Maya mengangguk, tersenyum sembari menatap makanannya. Menarik napas panjang membuangnya perlahan, lalu mengambil minuman dan meminumnya.
Kejutan lain yang membuat Maya merosot, seperti masuk kejurang. Ternyata memang dirinya yang seperti murahan.
"Oh, begitu," jawab Maya, "oiya ... saya mau tanya kenapa bisa tahu nomer ini." Maya memegang ponsel. "Terus, kenapa nomer Abang di tulis di sini sebagai Pu.Tra?" Penuh penekanan saat Maya menyebut nama Putra.
Juha menjelaskan bagaimana awal mulanya itu terjadi. Makan sembari bercerita memang nikmat, dan respon Maya hanya mengangguk dengan alis mata terangkat.
Maya menyesel menganggap Juha yang tidak baik. Setelah mendengar ceritanya ia jadi tambah berharap. "Bolehkah bertukar peran?" ucapnya dalam hati.
Setelah selesai makan, mereka berniat untuk jalan-jalan di sekitar taman. Namun, jam menunjukan pukul 7 malam. Maya tidak mau mendapat banyak pertanyaan dari orang tuanya.
"Bang, kita pulang aja, ya. sudah malam," ajak Maya. Anggukan dari Juha sebagai jawabannya.
🌷🌷🌷
Setelah mereka sampai. Maya turun dari motor, memberikan helmnya pada Juha. " Terima kasih, ya, Bang."
"Sama-sama," jawab Juha, "besok mau dijemput lagi?" Juha tersenyum membuat hati Maya meleleh dan ikut tersenyum.
Prok ... prok ... prok ....
Suara tepuk tangan mengalihkan mereka. Maya memejam sebentar melihat sesosok Prawira berdiri di samping pagar.
"Terima kasih banyak, ya, Bang." Maya membantu Juha memasang helmnya, lalu melambaikan tangan.
Juha yang kelihatan bingung tetap mengikuti, membalas dengan usapan lembut di kepala Maya.
"Saya pulang, ya." Maya mengangguk. Juha pun pergi.
"Siapa 'tuh?" tanya Prawira.
"Temen," jawab Maya sembari membuka pagar.
"Temen? masa? kenapa pake dianter segala?" Maya tidak mempedulikannya, melangkah ke dalam rumah yang di ikuti oleh Prawira dari belakang.
Ibu Maya mendengar pintu terbuka, segera beranjak dan melihat. "Kenapa baru pu–" ucapan Ibu Maya terhenti melihat seseorang di belakang Maya.
Setelah mencium tangan Sang Ibu, Maya masuk ke dalam kamar meninggalkan mereka yang berada di ruang tamu.
"Kenapa dia, Nak Rangga?"
"Rangga juga gak tau, Tante," jawabnya.
"Duduk dulu! mau minum apa?"
"Tidak perlu, Tante. Rangga disuruh Bang Wira periksa mbak Maya sudah pulang atau belum," dusta Rangga.
"Oh ... wah, calon menantu tante keren. Pakai segala nyuruh adiknya," kata Ibu Maya terkagum.
"Ya sudah, Tante. Rangga pamit dulu ya."
🌷🌷🌷
Setelah masuk ke dalam, Maya membuang tas lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dengan posisi tengkurap, memukul-mukul kasur empuknya yang tidak bersalah.
"Aaarrghh, kenapa dia muncul," ucap Maya disela-sela emosinya, "kalau Put, eh ... Juha curiga, bagaimana?"
Maya memikirkan hubungannya dengan Juha, walaupun belum ada status, jika dibiarkan seperti ini salah satu dari mereka akan tersakiti.
Apalagi, semenjak Juha bercerita tentang pertemuannya di kedai coffiee, Maya mulai menyukai sesosok Juha.
Drrt ... drrt ... drrtt ....
"Hm ...."
"Selamat Malam, Cantik," ucapnya di depan pintu gerbang.
"Hm ... malam."
"Keluar sebentar bisa gak? tadi gak enak sama Tante sudah malam mau ajak jalan kamu."
"Itu tau."
"Ayo, donk! Masa kamu tega biarin aku kedinginan di luar?"
Maya memutar bola matanya. "Siapa yang suruh?"
"Ayo donk! apa aku masuk aja ke kamar kamu lewat jendela?"
"Apa?!" Sudah gila ini orang, kemarin bersikap dingin sekarang berubah total, pikiran Maya.
"Iya, iya, tunggu jangan nekat!"
"Hm, aku tunggu." Maya memutuskan panggilannya.
Setengah jam berlalu ia masih di dalam kamar, baru selesai membersihkan diri. Melihat puluhan pangilan tidak terjawab di ponselnya. Maya berjalan ke arah jendela ingin memastikan Prawira masih menunggunya atau tidak.
Memeriksa ke kanan ke kiri ternyata kosong, motornya pun tidak ada. Maya bisa bernapas lega. Kembali ke ranjang, mengganti pakaiannya dengan piyama.
Krek!
Bugh!
Maya melihat dari balik pintu lemari. "Pra ... wi ... ra?" Untungnya Maya sudah berpakaian lengkap.
"Maaf," ujar Prawira dengan santai membuka sepatunya.
"Gila kamu, ya? sana keluar!" usir Maya.
"Tanggung udah di dalam, bukan mudah untuk masuk ke sini." Prawira berjalan ke arah ranjang Maya, duduk di lantai meluruskan kaki.
"Nanti ketauan Mama, Papa, bisa digantung kita, Ra." Panik Maya, Prawira tidak mau mendengarkannya.
"Sstt ... makanya kamu jangan berisik. Duduk sini!" ajak Prawira sembari menepuk-nepuk sebelahnya.
Maya ragu untuk menuruti. Namun, melihat Prawira sudah menunggu dirinya selama setengah jam, akhirnya ia duduk sedikit jauh.
"Pulang, Ra!"
Prawira mendongak, menyenderkan tubuhnya. "Sebentar aja. Aku lelah kalau di rumah," ucap Prawira.
Sebenarnya Maya ingin tahu ada apa? tetapi ia tidak mau, takut Prawira akan lama berada di sini.
"5 menit."
"30 menit."
"5 menit."
"Oke, 10 menit. Setelah itu aku keluar," ucap Prawira menoleh tanpa merubah posisinya.
Maya menghela napasnya kasar. Ia juga lelah setelah bekerja delapan jam, jalan-jalan sama Juha, dan sekarang harus menghadapi orang gila ini.
"Umur kamu berapa?" Maya terkekeh, pertanyaan macam apa? umur calon istrinya tidak tahu.
"22, kenapa?"
"Ck." Prawira berdecak.
Maya terlonjak sedikit terkejut saat Prawira melempar boneka bear kecil berwarna cream.
"Apa ini?"
"Kamu gak lihat itu boneka?"
Maya memejam sebentar, mendinginkan otak yang mulai melepuh karena berdebat dengan orang ini.
"Iya tau, ini boneka, tapi untuk siapa? dan buat apa?" tanya Maya.
"Aku 'kan kasih ke kamu, jadi buat kamu."
"Buat apa?"
"Kamu cantik tapi ternyata oneng, ya," ejek Prawira.
Lagi-lagi mata Maya terpejam. Ia lebih memilih diam daripada meladeni ucapan Prawira.
Drrt ... drrt ...
Ponsel Maya berdering. Setelah melihat siapa yang menghubungi, dengan cepat ia menjawab.
"Hallo," sapa Maya, membuat Prawira menegakan posisinya.
Maya tersenyum dalam diam. Entah apa yang dibicarakan tetapi sukses membuat Prawira mendekat.
"Si.a.pa?" tanya Prawira tanpa suara. Maya yang melihat itu hanya mengibas-ngibas tangannya.
"Iy, Ba–," ucapan Maya terpotong akibat ponsel Maya diambil oleh Prawira.
Maya ingin mengambil tetapi tidak bisa karena tangan Prawira menghalangi.
"Ada perlu apa, malam-malam begini telepon calon istri orang, Bro?" kata Prawira.
Maya yang mendengar itu langsung terpaku–merosot kembali ke posisi awal dengan pandangan kosong.
"Tamat sudah."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Thika Husna Farisah
sengat thor
2020-07-08
0
🌹S RosEMarY 🌹🕌
Lanjut ...
2020-07-08
0