Yunora Prasasti, Anak bungsu dari dua bersaudara, memiliki Kakak laki-laki yang berbeda 5 tahun darinya dan tengah kuliah Hubungan Internasional di Universitas ternama yang tak jauh dari rumah. Dan pria itu terbiasa membawa motor ke kampusnya.
Nora masih ingat semua itu. ia bahkan tak lupa Bahwa kakaknya tahun ini, tepatnya beberapa hari lagi akan kecelakaan motor yang menyebabkan tangan kakaknya di gips.
" Yunora, bisa jawab pertanyaan saya yang di papan tulis?"
Nora mengerjap dan menatap gurunya lalu menatap papan tulis yang dimaksud Bu Ratna. Gadis itu berdiri dan menjawab pertanyaan itu dengan cepat. Ratna mengangguk puas,
" Besok-besok jangan bengong lagi. Kalian kalo mau bengong seenggaknya kayak Nora, bisa jawab pertanyaan ibu. paham?"
Semua menjawab sesuai kemauan guru itu. Sedangkan Nora hanya mengangguk sambil melanjutkan lamunannya. Ini Aneh.
Tidak mungkin jika Nora melompati waktu ke belakang, Tapi lebih tidak mungkin Nora melindur, membayangkan masa depannya sampai satu tahun ke depan hanya dalam jeda beberapa detik. Itu lebih konyol lagi.
" Ra, Udah bel.. gak mau ke kantin?"
Gadis itu menoleh dan menatap lamat-lamat Sindy, temannya yang tadi mengerjai siswa di gudang. Sindy dan Renata adalah dua temannya yang sering mengikutinya kemanapun. Apalagi Sindy yang sekelas dengan Nora.
Tak lama lagi, Sindy dan Renata akan menjauhinya karena Nora mengamuk di lapangan sampai kepala salah satu siswa dikelasnya terkena bola basket dan mimisan.
Nora menatap dingin Sindy, membuat gadis yang tak tahu apa-apa itu menatap heran sekaligus takut kepada Nora. Mereka semua tidak tau alasan dibalik semua sikapnya ini, dan mereka berpura-pura tidak tahu juga. hanya ingin menyalahkan dan melampiaskan keberatan tanpa sadar bahwa itu menjengkelkan Dimata Nora.
Nora beranjak dan keluar dari kelas, mengabaikan Sindy yang memanggilnya dengan nada bingung. " Ra, kenapa sih?" ucap gadis itu sambil menahan bahu Nora.
Jujur saja, Nora tak ingin percaya semua yang alami di gudang tadi, tapi soal di papan tulis seolah menjawab kebingungannya. Soal itu sama persis. Jika Nora tidak melamun, mungkin Joko, temen sekelasnya itu yang akan disuruh maju karena melamun.
Mungkin ini kesempatannya. Terserah ini keajaiban atau hukuman, tapi Nora menganggap ini adalah kesempatannya untuk melepas diri dari kesengsaraan satu tahun dari sekarang dan mencegah kematian ibunya.
Dan semua itu bisa ia mulai dengan mempercepat kesendiriannya. Nora tidak membutuhkan teman pengkhianat seperti sindy dan Renata. "Jangan sentuh gue. Kalo bisa Lo pindah tempat duduk sama Joko, gue gak butuh temen busuk kayak Lo."
wajah Sindy memucat. Kenapa? apa Nora tau perbuatannya? bagaimana bisa??
" Ma-maksud Lo Apa Ra?"
mendengar ucapan kecil itu membuat Nora mendengus sebelum menatap tajam Sindy. " perlu gue kasih tau dosa Lo sama gue?"
Tidak, tentu tidak perlu. Alasan utama Nora membenci Sindy dan Renata bukan karena kedua orang itu meninggalkannya untuk hal sepele.
tapi karena dua orang itu menjual nomor handphone dan id Line nya kepada para pria yang mengincarnya. Karena perbuatan mereka itu, Nora harus membanting ponselnya agar punya alasan untuk mengganti ponsel dan nomornya.
" Pergi jauh-jauh dari gue atau gue buang tas Lo dari jendela. lumayan kan, handphone Lo ilang, nomor gue gak bakal kesebar lagi." Ujar Nora sambil menampilkan smirk.
Gadis itu berjalan pergi meninggalkan Sindy yang memucat karena ketahuan oleh Nora. Saat sampai kantin, Nora melihat seseorang yang ia sangat kenali.
Aksara
Nora mengendikkan bahunya, merasa tak memiliki urusan apapun dengan pria itu. Toh, kejadian yang membuatnya merasa berhutan Budi dengan Aksara belum terjadi dan mungkin saja ia bisa mencegahnya, sehingga ia tak perlu berurusan dengan pria itu.
" Ra! ngapain bengong gitu? sini makan!" Ucapan lembut dan tarikan ditangannya membuat gadis itu mengerjap kaget.
" Bang Ruda, aku belom mesen makanannya."
Garuda tersenyum lalu meletakkan mangkuk berisi baksonya didepan Nora yang kini duduk dimeja kantin bersama teman-temannya. " Nih, makan yang ini aja. masih polos, masih belom suka pake saos kan?"
Nora mengangguk kecil, " Terus bang Ruda?"
" gampang... bisa beli somay. Kamu makan dulu aja."
hati Nora menghangat. Pria itulah yang ada disampingnya saat ia menyaksikan kematian ibunya. Garuda masih saja lembut kepadanya. Nora memakan baksonya dengan tenang dan perlahan sambil menunggu Garuda kembali lagi.
" Gak pake sambel?"
Nora mendongak dengan mulut yang masih penuh dengan bihun yang terulur sampai ke dagu, menatap kaget siapa yang bertanya. Kenapa Aksara duduk didepannya? sejak kapan.
Nora tanpa sadar menepuk keningnya keras. Ia lupa bahwa Aksara dan Garuda satu ekskul dan bahkan berteman baik. " lupa?"
Tanya Aksara lagi. Nora menggeleng kepalanya cepat. " lebih enak polosan." ucap Nora singkat sambil lanjut menyuap baksonya. Lebih baik ia terus makan daripada Aksara akan mengajaknya mengobrol lagi.
" Eh, udah setengah aja... Makannya pelan-pelan Ra... kebiasaan makan kayak takut diminta." Ucap Garuda sambil mengusap kepala Nora dengan lembut. Nora lagi-lagi hanya bisa mengangguk. " Bang Ruda nanti basket?"
Garuda mengangguk sambil tersenyum manis. " Kenapa? mau nebeng? nanti aku anterin kamu dulu aja baru ke sekolah lagi "
Nora menggeleng kepalanya. Entah kenapa ia ingin sekali memberi sesuatu ke Tetangganya ini. " Mau aku bikinin bolu? nanti mampir aja pulang dari basket."
Garuda tertawa kecil sambil mengangguk. " kalo aku doang yang dibagi, ngumpet-ngumpet ya. Saga kan orangnya sirikan. Hahahaha.."
Nora mendengus sambil ikut tertawa. tetangganya yang disebut Garuda itu, memang suka sekali bermanja pada Nora. padahal Nora yang paling muda di daerah perumahannya.
" Oh, jago bikin kue?"
Nora menoleh ke Aksara yang menatapnya antusias. " I-iya.."
" Bundanya Aksa juga jago masak, Kadang kan Aku main ke rumah Aksa buat numpang makan enak." Ujar Garuda sambil menunjuk Aksara. Nora tertawa kecil, Garuda punya kebiasaan numpang makan dirumah orang. Padahal dirumahnya sang ibu juga memasak.
" tumben sendiri, Ra?" Tanya Aksara lagi. Nora menatap heran pria dihadapannya. kenapa Aksara sejak tadi berusaha membangun percakapan dengannya??
" Gak punya." jawab Nora sesingkat mungkin. Kali Ini tidak hanya Aksara yang mengernyitkan keningnya, Garuda juga melakukan hal yang sama. " Kok gak punya? Sindi sama Renata itu?"
Nora merasa nafsu makannya berkurang, ia menghala nafasnya dan menoleh ke arah lain selain wajah Aksara. Ia dapat melihat Renata dan Sindy tengah tertawa bersama siswa pria lainnya.
" Mereka itu seems like a *****, bajingan brengsek gak ada akhlak." Ucap Nora gemas. Detik berikutnya, gadis itu memekik tertahan sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Garuda mengerjap tak percaya dengan apa yang ia dengar dan Aksara sempat terdiam sebelum ia tertawa keras. Nora lupa ia berkata sangat kasar dengan sangat lancarnya. Garuda mendengus sebelum mengusap kepala Nora, " Mulutnya... jangan lupa makan permen ya.. seinget aku, kamu gak suka makanan pedes lho, Ra."
Nora meringis sambil menatap sungkan Garuda. Aksara tertawa, " Jadi kamu baru tau ya mereka ngejual nomor kamu?" tanya Aksara sebelum menyeruput minuman dinginnya dengan sedotan.
Nora menatap bingung Aksara. " Kak.. Aksa tau?"
Aksara dan Garuda mengangguk bersamaan. " Dia sampe ngebanting hape temen sekelas karena orang itu gak mau ngapus nomor kamu. Dasar anak sultan."
Sial.
Nora rasa dirinya tak bisa tak berhutang budi dari Aksa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments