Setelah turun bus, Niken berjalan memasuki gang sempit menuju rumahnya. Rumah kontrakan kecil yang ia tempati berdua dengan ibunya.
Sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat lampu di dalam rumahnya dalam keadaan menyala. Menandakan ibunya ada di dalam sana.
Niken memasukkan kembali kunci rumah yang sempat ia ambil dari dalam tasnya tadi. Ia meraih handle pintu dan berniat akan memasuki rumah, tapi seseorang datang dan menghentikan niatnya.
"Bu Diah? Malam bu," sapa Niken pada orang tersebut. Ia tersenyum ramah pada pemilik kontrakan itu.
"Malam juga Niken!" Jawab bu Diah dengan acuh.
"Ada perlu apa ya bu?"
"Langsung aja ya Niken. Ibu kesini mau nagih uang kontrakan. Ini kan sudah pertengahan bulan, tapi kok Niken belum bayar juga?"
"Loh, bukannya ibu saya sudah bayar bu? Soalnya Niken sudah titip uangnya sama ibu sejak awak bulan."
"Gak ada tuh. Malah setiap saya nagih katanya minta ke kamu."
Niken terdiam sejenak. Ia ingat betul kalau uangnya sudah ia kasih pada ibunya. Tapi kenapa sewa kontrakannya belum dibayar.
"Ehm.... boleh tidak bu, kalau Niken minta waktu sampai lusa. Mungkin ibu saya lupa. Kalau uangnya sudah ada, nanti Niken langsung kasih uangnya sama ibu."
"Ya udah saya kasih kamu kesempatan terakhir, kalau lusa belum ada juga, maka kalian harus pindah dari rumah ini." Ucap Bu Diah dengan penuh ancaman.
"Baik bu." Jawab Niken dengan berat hati.
"Tapi kalau menurut Ibu sih, uangnya pasti dipake sama ibu kamu. Beberapa hari ini, dia sering keluar rumah. Uangnya dipake judi lagi tuh," ucapnya sambil berbisik.
Niken tidak menjawab, ia tersenyum paksa mendengarnya. Meskipun hatinya membenarkan ucapan wanita itu, namun ia tetap mencoba tenang dan percaya dengan ibunya.
"Kalau begitu ibu pamit. Ingat! lusa ya." Ia kembali mengingatkan Niken, lalu melangkah meninggalkan tempat tersebut.
"Iya bu, terimakasih."
Niken memasuki rumahnya setelah kepergian Bu Diah. Seperti biasa, ia mendapati rumah yang berantakan. Padahal setiap pagi ia selalu merapikannya. Baju kotor berserak di ruang tamu. Niken pun berjalan sambil memungutinya.
Sampai di dapur, ia kembali mendapati piring kotor yang menumpuk. Sisa makanan yang masih berserak di atas meja makan, dan tempat masak yang sangat berantakan. Niken menghembuskan napasnya dengan kasar sambil memandangi seluruh isi dapur.
Seharusnya sampai di rumah ia bisa istirahat dan membuang semua rasa letihnya, tapi melihat ini, yang ada rasa letihnya semakin bertambah saja.
Tidak lama kemudian ibunya keluar dari kamar mandi. Wanita yang sudah melahirkannya itu keluar sambil mengibaskan rambutnya yang masih basah.
"Baru pulang kamu?" Basa basi yang selalu Niken dengar setiap pulang kerja. Ibunya berjalan meninggalkan dapur dan meninggalkan Niken yang masih mematung, ia benar-benar tidak peduli dengan keadaan anaknya.
Niken buru-buru meletakkan pakaian kotor yang ada ditangannya, lalu dengan cepat mengejar ibunya.
"Ibu... "Panggil Niken. Ibunya berhenti lalu berbalik menatapnya.
"Ada apa?"
"Mana uang kontrakan yang Niken kasih waktu itu? Kenapa ibu tidak memberikannya pada bu Diah?"
"Uangnya habis." Jawabnya singkat dan tanpa merasa berdosa sedikit pun.
"Kenapa dipake bu? Uang itu kan untuk bayar kontrakan. Kita sudah menunggak dua bulan, kalau tidak bayar sekarang, kita akan diusir bu." Karena emosi, Niken sedikit meninggikan suaranya.
"Ya kalau gitu kamu bayar dong. Kamu kan kerja, punya gaji, masih ada uang kan?" Ibunya benar-benar tidak merasa bersalah sedikit pun.
"Tapi Niken punya kebutuhan lain bu. Niken juga harus bayar uang kuliah. Emang ibu pake uangnya untuk apa?" Mata Niken mulai berkaca-kaca. Ibunya selalu saja tidak mau peduli dengannya. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Ibu juga punya kebutuhan. Lagi pula untuk apa kamu kuliah? Sudah, berhenti saja kuliahnya." Dengan seenaknya membuat kesimpulan. Setelah itu, ia pun berpaling dan meninggalkan Niken. Ia memasuki kamarnya.
"Ibu... "Niken mengejar ibunya, tapi sia-sia saja karena ibunya langsung menutup pintunya dengan rapat.
"Ibu, kembalikan uangnya bu. Itu untuk kontrakan. Ibu.... " Niken berteriak sambil menggedor pintu kamar ibunya.
Tidak ada respon sama sekali, akhirnya Niken menyerah dan beralih memasuki kamarnya. Ia melemparkan tasnya keatas tempat tidur dengan kasar.
Niken sangat frustrasi dengan keadaan yang tidak berubah ini. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sembari berteriak.
Emosi yang berkecamuk didalam hatinya membuat ia tidak dapat menahan lagi air matanya yang tertahan sedari tadi. Sekian detik kemudian, air mata itupun lolos dan turun menggenangi seluruh permukaan wajahnya.
****
"Selamat pagi semuanya." Sapa Maxwell pada Bunda dan adiknya. Hari ini, ia sedikit lebih cepat bangun dibanding biasanya.
"Tidak pagi juga." Jawab Zia sambil meledek kakaknya.
"Jelek!" Balas Maxwell sambil tertawa. Ia menarik kursi dan duduk disebelah bundanya. "Daddy mana Bunda?"
"Daddy ada urusan bisnis diluar kota, dan pagi-pagi tadi sudah berangkat." Jawab Bunda Mila sembari menyiapkan makanan untuk kedua anaknya. "Max, hari ini kamu yang antar Zia."
"Zia tidak mau Bunda," tolak Zia.
"Kenapa sayang?"
Bunda Mila menyodorkan piring yang sudah berisi makanan pada Maxwell dan Zia.
"Kak Maxwell suka ngebut kalau bawa mobil, udah gitu atap mobilnya selalu dibuka. Rambut Zia jadi berantakan Bunda."
"Ngadu terus!" Cibir Maxwell. "Kamu makin jelek tahu kalau ngadu terus."
"Apa hubungannya?" Jawab Zia dengan kesal.
"Max...." Bunda Mila memberinya tatapan peringatan.
"Tidak ngebut Bunda, cuma kalau buru-buru ditambah sedikit saja kecepatannya."
"Bohong, tiap hari kakak ngebut!"
"Tidak, jangan sok tahu kamu."
"Sudah berdebatnya?" Bunda Mila sedikit meninggikan suaranya membuat keduanya langsung menurut dan diam.
"Zia, hari ini kamu berangkat dengan kakakmu. Dan Max, Bunda peringatkan, tidak boleh ngebut dan jangan buka atap mobil selagi bersama Zia." Kalau sudah tegas seperti ini, baik Maxwell dan Zia tidak ada lagi yang berani melawan.
"Ayo lanjutkan sarapannya."
***
Sesuai perintah Bunda Mila, sebelum berangkat ke kampus Maxwell terlebih dulu mengantar Zia ke sekolahnya. Setelah itu baru berangkat ke kampus.
Begitu turun dari mobil, ia tidak sengaja melihat Niken yang juga baru tiba di kampus. Gadis itu berjalan cepat didepannya dan tanpa menoleh kepada siapa pun.
Niken tidak pernah menyapa siapa pun, dan mungkin ini yang membuatnya disebut gadis aneh.
Tanpa sadar, Maxwell malah mengikuti Niken dari belakang. Ia mengikuti langkah gadis itu menuju kelasnya.
Sampai didepan kelas, Keyra yang saat itu juga berada di kelas yang sama dengan Niken, tersenyum melihat Maxwell dan langsung berlari menghampirinya.
"Baby...... " Teriaknya dan berlari meninggalkan Rara dan Kiky yang berdiri sedari tadi dengannya didepan pintu.
"Baby, kau kesini mau lihat aku ya?" Rona bahagia terlihat jelas di wajah Keyra.
"Kelasmu disini?" Maxwell malah bertanya, karena niatnya memang bukan untuk melihat Keyra.
"Kau tidak tahu kelas ku? Lalu kau sedang apa disini?" Keyra menatap Maxwell dengan penuh tanda tanya.
"Maksud ku, aahhh...... akhirnya aku sampai juga dikelas mu. Dari tadi aku keliling mencari mu." Maxwell menyelipkan senyuman di bibirnya untuk meyakinkan Keyra.
"Benarkah? Kau pasti sangat merindukan ku." Keyra dengan mudah percaya dan kembali tersenyum.
Keyra menarik tangan Maxwell dan membawanya berjalan menghampiri Rara dan Kiky. Kedua gadis itu sedang menghalangi Niken yang ingin masuk.
"Kau tidak boleh masuk?" Ucap Rara sembari mendorong tubuh Niken.
"Kau tidak punya hak melarang ku masuk." Jawab Niken dan kembali mencoba masuk. Tapi, Rara dan Kiky lagi-lagi menghalanginya.
"Kau yang tidak punya hak untuk masuk ke kelas ini. Orang miskin seperti dirimu tidak layak berada disini."
"Aku memang miskin, tapi sama dengan kalian, aku juga mengeluarkan uang untuk bisa disini."
"Oh ya? Terus bagaimana dengan uang semester mu? Dengar-dengar kau belum bayar." Disertai tawa. Rara dan Kiky bergantian menghina Niken.
Keyra juga ikut tertawa mendengarnya, sementara Maxwell, ia menatap Niken dengan sedikit perasaan iba.
Niken terdiam, ia tidak bisa menjawab lagi. Apa yang mereka katakan memang benar, saat ini ia belum membayar uang semesternya. Uang yang seharusnya tadi bayar kuliah sudah ia pakai sebagian untuk membayar kontrakannya.
"Kenapa kau diam? Tidak punya uang kan. Orang tua mu pasti menangis tiap hari memikirkan biaya kuliah mu." Mereka kembali menertawakan Niken.
"Itu bukan urusan kalian." Ucapnya dan kembali mencoba memasuki kelas.
"Aku bisa membantumu." Ucap Rara sembari menahan tangan Niken. "Aku akan melunasi uang semester mu, bahkan sampai wisuda nanti, tapi kau harus buat video permintaan maaf dan tarik semua ucapan mu saat di cafe kemarin. Berlutut dan katakan kalau kau menyesalinya."
Niken tersenyum mengejek dan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Rara.
"Apa ayahmu juga memakai cara ini untuk menutupi kejahatannya?" Ucap Niken tanpa takut sedikit pun.
Emosi Rara langsung memuncak, padahal tadinya ia sangat yakin kalau Niken akan menerima tawarannya. Ia sudah mencari tahu tentang Niken dan mendapati fakta bahwa gadis ini sedang membutuhkan uang untuk biaya semesternya.
"Kurang ajar, kau memang senang menguji kesabaran ku." Rara melayangkan tangannya dan hendak menampar wajah Niken. Dengan penuh kebencian, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Tapi, ketika tangannya sudah hampir mengenai wajah Niken, tiba-tiba Maxwell menahannya. Rara dengan kesal memandangi tangan Maxwell yang menahannya, begitu juga dengan Kiky dan Keyra, mereka menatap Maxwell dengan penuh tanda tanya. Sementara Niken, gadis itu terlihat berlindung dengan buku yang ia pegang. Ia mengangkat buku ditangannya untuk melindungi tubuhnya.
"Maxwell!" Protes Keyra dengan dahi yang berkerut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
jaran goyang
sᑲr kᥱᥒ...💪💪💪💪💪💪💪m᥆gᥲ kᥱᥣᥲk ᑲᥲһᥲgіᥲ ᥡg km ძ⍴𝗍 kᥒ
2024-10-14
0