Sudah seminggu Shaina berada di tubuh orang asing itu, dan dia masih kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan Helena yang menjadi seorang ibu dan perempuan hamil belum lagi tinggal serumah dengan Joon, lelaki tidak peka itu, yang kerap kali berbicara ketus dan menyakitkan itu.
"Kalian biasakan hidup bersamaku dengan apa adanya karena aku tidak punya uang untuk memenuhi keinginan kalian" ujar Joon sambil menyantap sarapannya.
Shaina terdiam bersama anak-anak karena memang ia tidak punya keinginan apapun sebagai Helena, semuanya telah tersedia dari pakaian dan barang-barang lainnya selain ingin kembali ke tubuh aslinya.
"Memang apa yang kuinginkan? selain kembali ke tubuh asliku" gumam Shaina.
Anak-anak dan Joon melihat Shaina yang memasang wajah cemberut sambil melanjutkan makannya, entah sudah berapa kali Shaina mengucapkan kata yang sama, ingin kembali ke tubuhku atau aku bukan Helena tapi Shaina, kata yang sudah sering ia katakan.
"Aaaa!" pekik Shaina.
"Ada apa? sakit lagi?" tanya Joon.
"Bukan, tapi sepertinya ada yang bergerak dalam perutku" Shaina tersungging dengan memegangi perutnya.
Joon ikut tersungging dan melepaskan sendok makannya, "itu pasti bayinya!" ucap Joon.
Shaina ternganga, "ku rasa benar" Shaina mendengus "masih kecil sudah bisa bergerak?" lanjut Shaina.
"Aku tidak tahu" sahut Joon.
Joon melihat anak-anak ikut memperhatikan pembicaraan mereka, dan Shaina juga menyadarinya.
"Apa yang kalian lihat? ini pembicaraan orang dewasa, cepat habiskan makan kalian! Lalu pergi sekolah" ujar Joon pada anak-anak.
Shaina tersungging dengan memegangi perutnya, membuat Joon juga ikut tersenyum, senyuman yang pertama kalinya Shaina lihat dari laki-laki itu. Senyuman Shaina menghilang ketika tiba-tiba harus berlari ke wastafel untuk memuntahkan isi perutnya.
"Kenapa dengan mu? Apa ada masalah dengan masakanku?" tanya Joon, wajah kekhawatirannya terlihat jelas dari raut mukanya.
"aku tidak tahu, tapi sejak tadi pagi aku mual-mual terus" kata Shaina usai membersihkan mulut dengan air yang diberikan Joon, Shaina terperanjat dan menatap lelaki di sebelahnya "apa karena aku hamil jadi aku muntah-muntah seperti ini?" tambah Shaina.
"Iya juga, wanita hamil kan muntah-muntah" sambung Joon.
Shaina kembali ke meja makan dan diikuti oleh joon yang duduk berhadapan dengannya di meja persegi itu serta anak-anak di kiri kanan mereka. Usai sarapan joon mengantar anak-anak ke sekolah.
Shaina mengistirahatkan tubuhnya di sofa setelah beres-beres di dapur, hanya TV berukuran 40 inc yang menemani kesehariannya ketika semua orang sibuk dengan kesibukan masing-masing.
Duduk manis sambil mengelus perutnya yang sudah mulai membentuk itu, kegiatan yang sudah menjadi kebiasaannya. Entah sudah berapa kali ia mengganti siaran TV yang menurutnya sangat membosankan, tapi saat ia hendak menekan tombol next tangannya terhenti pada sebuah acara makan-makan yang sedang disiarkan.
Di acara tersebut tampak host dan bintang tamunya sedang menikmati makan buah-buahan segar yang menggiurkan shaina, timbul rasa ingin menikmatinya juga, tapi di rumah, joon tidak memiliki stok buah-buahan yang diinginkannya. Beberapa kali shaina harus meringis atas keinginannya itu semakin menjadi-jadi, mondar-mandir di ruang tamu hingga berjalan-jalan di sekitar rumah untuk mengalihkan perhatiannya tapi tidak juga menghilangkan rasa keinginannya itu.
Tidak punya pilihan lain shaina membuka ponsel Helena, ponsel yang tidak berani ia sentuh sejak diserahkan padanya kemarin karena bukan miliknya tapi ia ingin sekali juga dapat menikmati buah-buahan yang dilihatnya diacara TV tersebut.
Shaina kembali menduduki sofa ruang tamu dan memberanikan diri untuk menekan tombol power hingga di layarnya muncul foto Helena bersama anak-anaknya dan suaminya dengan senyuman terbaik mereka. Jarinya cukup piawai berselancar di layar benda pipih itu tapi ia kesulitan menemukan nomor kontak joon, lantaran cukup banyak nomor asing yang tidak ia kenalnya tersimpan di dalam ponsel Helena, rasa keinginannya untuk dapat menikmati buah tersebut terpaksa ia harus men-scroll nomor kontak satu persatu, karena dengan menulis nama joon sebagai kata kuncinya, tapi tidak juga muncul, akhirnya shaina penasaran dengan nama kontak yang bertuliskan adik ipar, ia memberanikan diri untuk menekan nomor tersebut.
TUT! TUT! TUT!
Shaina terus menunggu teleponnya diangkat, karena kecewa tidak ada jawaban, shaina memutuskan panggilannya dan meletakkan kembali ponsel di meja.
Dreettt...! Dreeett...!
Ponsel shaina berdering yang tertera nama orang yang ia hubungi sebelumnya, dengan rasa cemas ia mencoba menerima panggilan itu.
"Iya, hallo...! " Sapa shaina yang memulai pembicaraan.
"Ada apa kau menelponku?"
Suara yang tidak asing lagi bagi shaina karena sudah seminggu ia mendengar suara lelaki itu, apalagi nada bicara joon yang terbilang ketus padanya, meskipun sebelumnya ia berjanji akan merawat Helena.
"Pak, emmm..." gumam shaina.
"Bicara yang jelas! Aku tidak mengerti yang kau katakan" Timpal joon.
Shaina berdecak, "Pak, kalau pulang nanti bisa belikan aku mangga muda ya... jika bapak mau, kalau tidak mau enggak apa-apa juga"
"Kau menelponku cuma hanya untuk itu?" Tanya joon.
"Maaf Pak mengganggu, lupain saja" Shaina mendesis, "tapi Pak, jika mau membelinya tolong dua ya! Jika tidak mau enggak apa-apa juga" Sambungnya lagi.
Seorang lelaki lewat di depan Joon yang merupakan pelanggannya di kafe tempat ia bekerja.
"Iya jika aku tidak lupa, tapi jangan berharap juga aku akan membelikannya" Sahut joon.
TUT...!!!
Dengan kesal Joon menutup teleponnya dan kembali memasukkan ke saku celananya yang tertutup dengan apron coklat tua sebagai pelindung pakaiannya dari bubuk kopi atau noda lainnya saat ia bekerja sebagai Batista di kafe tersebut.
Walaupun penampilan dan profesinya sebagai Batista tapi pesona tampannya tidak luntur, dimana tatapan pelanggan perempuannya selalu tertuju padanya, tak jarang dari mereka mengunjungi tempat itu hanya untuk sekedar melihat Joon sembari menyeduh kopi mereka.
Seperti halnya sekarang, disalah satu meja terdapat tiga perempat muda sedang menikmati kopi namun tidak bisa dipungkiri mereka mengobrol seraya menatap Joon sambil tersenyum. Joon sudah terbiasa dengan perlakuan semacam itu dan ia tidak pernah mempermasalahkannya.
Usai menikmati kopi, tiga cewek cantik dan seksi itu meninggalkan meja mereka dan menuju ke tempat Joon bekerja yang kebetulan berada di depan tepatnya agak berdekatan dengan pintu keluar masuknya kafe itu. Perempuan berambut ikal menyorongkan secarik kertas pada Joon sambil mengatakan telfon aku dengan gaya seksi dan tanpa suara. Joon membalasnya dengan senyuman dan mengedipkan matanya yang sontak membuat tiga perempuan itu tersungging.
Di kertas tersebut tertera nomor kontak perempuan itu, senyuman tipis tercipta di bibir Joon lalu ia membuangnya ke tempat sampah kertas tersebut. Entah sudah berapa lembar kertas-kertas semacam itu ia dapatkan selama sehari saja ia bekerja dan semuanya berakhir di tempat sampah.
Beberapa jam sudah berlalu, teman Joon yang lain sudah membalikkan papan di pintu kafe yang bertuliskan BUKA dan menggantinya dengan TUTUP. Joon pun telah melepaskan apron coklat yang menutup tubuhnya sejak dari tadi pagi dan meletak di gantungan khusus.
"Malam ini kita nongkrong yuk!" Ajak Harris, teman kerja Joon.
"Aku enggak bisa, lain kali aja" balas Joon yang meninggalkan meja mesin espresso kopi itu, tempat ia bekerja seharian itu.
"Kenapa? apa karena ada keponakan dan kakak iparmu di rumah?" Tambah Harris.
Joon mengangguk, "Aku duluan ya" seru Joon yang menuju pintu keluar.
Keluar dari kafe Joon berjalan ke parkiran untuk mengambil mobil kesayangan yang entah sudah berapa kali keluar masuk bengkel.
Beberapa menit kemudian ia sampai di rumah dan langsung menapaki kakinya ke dalam rumah. Alice dan Alfan tampak asyik bermain tebak-tebakan dengan ditemani Shaina, melihat Joon pulang mereka segera menghentikan permainannya.
Mata Shaina memburu tangan Joon yang kosong tanpa membawa apapun dari luar, seketika senyumannya memudar karena kecewa apa yang dinanti sejak tadi pagi tidak ia dapatkan. Tanpa berucap sepatah katapun Joon berlalu masuk ke kamarnya, Alfan dan Alice saling berpandangan tanpa senyuman manis mereka yang biasa terlihat dari mereka. Sejak ayah mereka meninggal, anak-anak itu seakan tidak bisa lagi tersenyum bahkan dengan Helena karena ia juga mengalami shock atas kepergian suaminya secara mendadak itu.
...----------------...
Hai-hai reader yang murah senyum dan suka sedekah like ***pada karya yang masih kaleng-kalengan ini, terima kasih udah mampir.
ini masih dalam proses revisi jad jangan ragu-ragu untuk sarannya ya* 😁**
maklum author masih belum berpengalaman....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments