Hari ini aku masih mengenakan seragam putih biru. Tapi sebentar lagi, bawahan biru ini akan berubah menjadi warna abu-abu. Pasti akan terlihat keren!
Kemarin aku lulus dengan nilai bagus. Rata-rata nilaiku delapan. Cukup membanggakan. Apalagi kondisi orang tuaku yang kurang mampu, sungguh ini hadiah indah bagi mereka. Bahkan mereka sangat bersemangat menyuruhku melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, SLTA.
Ayah bilang hendak menjual lagi petak sawah yang sudah mulai sempit untuk bea sekolahku hingga kuliah nanti. Aku jelas menyambut dengan senang. Itu adalah cita-citaku. Dan cita-citaku kelak adalah ingin menjadi seorang sarjana pertanian. Aku ingin memajukan bidang pertanian. Terlalu berkhayal tidak ya?
Hari ini aku janjian sama teman untuk mendaftar bersama di SMA favorit kota kami. Aku menunggu dia di tempat biasa kami menanti angkot di ujung pertigaan yang memisahkan rumah kami.
Seperti biasa, padat penumpang. Itu yang tergambar pada angkutan yang bakal membawaku dan temanku nanti. Apalagi pagi begini. Terlalu banyak orang punya urusan di pagi hari, mulai dari yang kerja kantoran, berdagang di pasar, belanja keperluan toko, dan yang jumlahnya membludak sih anak-anak dengan seragam sekolah. Warna-warni ada yang putih-merah, putih-biru dan putih abu-abu. Kakak mahasiswa juga tampak berpakaian rapi dan terlihat mahasiswa banget!
“Kok baru datang sih?” sapaku ketika Winda sobatku di SMP nongol dengan cengiran yang tidak biasanya.
“Aku tadi mules nih, kemarin habis makan rujak satu piring, rujak super pedas pula.”
“Pantes, mukamu aneh gitu.”
“Aneh bagaimana?” Winda celingukan, merubah ekspresinya dan menyelidik ke aku.
“Nggak! Makanya jadi orang jangan terlalu rakus. Bagi-bagi dong! Undang aku, kek! Rasain, ini kutukan dariku.”
“Ah ngaco! Kutukan apa? Tidak lucu tahu!”
“Eh, angkotnya datang. Siap menerjang?” kataku ambil ancang-ancang, berebut dengan yang lain. Maklumlah, kalau nggak cepet-cepet bisa tidak kebagian tempat. Berarti harus nunggu limabelas menit lagi. Bisa jenggotan nanti.
Kami langsung menyeruak ke pintu mobil angkot yang berhenti beberapa meter dari kami berdiri. Benar kan, sudah super penuh. Kami sampai dijejal-jejalkan layaknya ikat asin yang ditata dalam keranjang. Masih mending ikan asin itu, setidaknya tidak sampai tumpah seperti angkot ini yang tak cuma memuat di dalam. Temen-temen cowok banyak yang bergelantungan dipintu atau malah naik ke atap mobil. Wah, bahaya tuh. Tapi gimana lagi, daripada telat terus kena hukuman. Nyawa sampai tidak diperhatikan.
“Punyamu sudah lengkap belum?” tanya Winda disela riuh gemuruh deru mesin mobil, obrolan orang-orang dan teriakan Mas kernet.
“Aku sudah cek dua kali, aman, semua lengkap.”
“Deg-degan nih!” ungkapnya.
“Iya, diterima tidak ya?”
“Kalau kamu sih aku yakin lolos. Lihat skorku! Minim banget, kepalanya cuma 47. Dulu kudengar yang diterima skor minimalnya 44,01. Bagaimana?”
“Tenang. Pasti tak jauh dari itu.” kataku menghibur.
“47 juga tidak jauh.” dalihnya.
“Optimis kenapa?”
Kami berdua saling melempar senyum.
Angkutan yang membawa kami belum berkurang secara berarti. Masih sesak, untunglah ketika tiba dipasar banyak yang turun. Muatan dibongkar, dan angkotpun jadi lumayan longgar. Leganya….akhirnya bisa bernafas bebas, segar!
Kami turun tepat di gerbang sebuah pintu sekolah yang megah. Ini nih, SMA favoritku. Selain fasilitas lengkap, prestasi oke punya. Malah, peringkat pertama sekabupaten di rata-rata siswa. Saat banyak SMA yang menyisakan siswa tak lulus, SMA ini cuma meninggalkan satu siswa untuk ikut ujian susulan. Hebat kan?
“Wah, ternyata banyak ya yang masih di antar ortunya.” bisik Winda. “Kalau aku jelas ogah, kekanak-kanakan. Tahu nggak masak kemarin papiku menawarkan diri buat ngedaftarain aku. Gak lucu kan?”
Aku cuma senyum basa-basi. Dalam hati aku merasa iri. Bagiku diantar mendaftar ke sekolah adalah wujud sayang orangtua pada anak. Lalu aku? Boro-boro. Paling pas daftar SD aja dulu. SMP? Tidak, apalagi sekarang. Tapi aku sangat maklum. Orangtuaku tergolong orang dusun yang kuper. Penakut. Takut ketemu banyak orang dan tidak pe-de kalau datang ke kawasan kantoran. Pendidikan Ayahku hanya sampai SMP lalu ibuku malah lebih parah lagi, cuma lulus SD. Itu bukan karena tidak ingin sekolah. Tapi…..keadaan yang membuat mereka putus sekolah, apalagi kalau nggak mentok ke urusan uang. Biaya sekolah yang tak terjangkau. Dan aku?
Sesungguhnya aku sangat bangga pada ortuku yang berjuang mati-matian agar anak-anaknya dapat sekolah tinggi. Meski setiap harinya kami makan hanya dengan menu utama tempe. Bagaimana tidak? Ayahku cuma seorang petani, sedang ibuku untuk menambah penghasilan keluarga buka warung kecil-kecilan melayani barang-barang kebutuhan rumah tangga para tetangga. Pendapatan tiap harinya tak seberapa.
Oh ya, aku punya seorang kakak yang sudah kuliah. Dia menempuh D2 PGSD. Setahun lagi selesai. Berat sekali kan beban orangtuaku. Membayar biaya pendidikan aku dan kakakku yang mahalnya ampun dah! Aku nyaris sulit membayangkan. Yang jelas untuk menutup semua keperluan itu, tanah warisan yang tak seberapa luasnya hampir habis.
Aku dan Winda masuk dalam antrian panjang. Sungguh panjang laksana tembok Cina yang megah. Kami diterima dalam lima ruang yang berbeda. Kebetulan aku dan Winda masih bisa bersama, masuk dalam ruang yang sama, ruang tiga. Senang juga sih, setidaknya ada orang yang bisa untuk diajak ngobrol. Kalau dengan calon siswa lain rasanya masih canggung.
Berkas administrasi yang dibutuhkan sudah beres dan masuk ke kotak panitia. Tinggal memantau jurnal saja. Eh, ini hari pertama pendaftaran lho! Masih ada dua hari lagi. Dan selama itu aku harus memantau jurnal penerimaan. Kalau sudah nyata nggak masuk jurnal kan bisa langsung ambil dan daftar ke sekolah lain yang indeksnya lebih rendah.
“Gimana?” tanyaku pada Winda.
“Masih aman!” lapornya. “Tapi ya sudah dekat ke finis.” kulihat wajah Winda menyiratkan kecemasan.
Beda dengan posisiku yang berada di atas angin. Tenang dan senang rasanya.
Hari ketiga, detik penentuan diterima tidaknya. Winda menggenggam erat tanganku penuh harap. Memang skornya mendekati batas akhir. Kami terus menunggu panitia menempel jurnal terakhir. Dan……….
“HORE! Aku lolos, Ra!” serunya senang. Dua tangan kami berpautan dan kami pun melonjak girang secara bersamaan. Dia terpaut 0,7 point dari skor terendah. Wow! nyaris sekali terdepak.
“Akhirnya kita bisa bareng lagi!” sambutku tak kalah riang.
“Eh, besok kita daftar ulang bareng lagi ya?” ajaknya bersemangat, Seperti gejolak dalam hatiku yang sudah tak sabar ingin memberitakan kabar gembira ini pada ayah ibu.
“Lolos?” tanya ibu menyambutku di depan warung.
Aku memasang wajah lesu dan murung.
“Kenapa? Apa kamu tidak bisa masuk ke SMA itu?” tanya ibu penasaran.
“Ra, bagaimana?” ayah ikutan menyambutku.
“Ayah, ibu maaf.” kataku pelan.
“”Kau tidak diterima?” cecar ayah.
Aku mengangguk lemah.
“Tidak mungkin, pasti ada kecurangan.” ucap ayahku sedikit gusar.
“Skormu kan tinggi, masa nggak diterima. Memang yang paling rendah berapa?” selidik ibu.
“47,14.” kataku.
“Hah!”
“Kamu bercanda ya?” ucap ayah Sedetik kemudian raut mukanya sudah sumringah. Berarti kamu diterima kan?”
Sandiwara harus diakhiri. Mulutku akhirnya menyunggingkan senyum senang. “Tentu lah, Bu. Anakmu ini kan pintar.”
“Hayo, mulai sombong!” tegur ibu.
“Berapa biaya masuknya?” tanya ayah. Mungkin hatinya merasa deg-degan takut uang yang disediakan tidak cukup.
“Kalau tidak salah sekitar satu jutaan, Yah.” ucapku sedikit iba. Wah, ada duitnya tidak ya?
Ayah tampak manggut-manggut.
Sehari sebelum aku daftar ulang. Ayah memberiku uang yang kuminta buat daftar ulang esok harinya.
“Ini, hati-hati bawanya!” pesan ayah. “Kalau ilang sudah tidak ada lagi. Hitung lagi siapa tahu kurang.”
Aku menurut apa kata ayah. Uang yang hendak kubawa sebanyak satu juta duaratus lima puluh ribu rupiah. Aku pun lalu menyimpan uang itu baik-baik.
**
Aku gemetar di depan meja petugas pendaftaran. Rasanya mau nangis saja.
“Uangnya cuma ini?” tanya ibu berkacamata yang melayani aku.
“Tadinya tidak segitu, Bu.” ucapku bergetar. “Hilang dijalan.”
“Kamu kecopetan?”
“Sepertinya begitu, tadi waktu sampai di sekolah tas saya sedikit terbuka.” sahutku. Tega sekali pencuri uangku itu. Runtukku dalam hati.
“Masih kurang berapa?” tanya bapak-bapak di sisi meja lain.
“Banyak, cuma ada 250 ribu.” lapor si ibu berkacamata.
Mereka pun lalu berdiskusi. Si bapak yang kepalanya sedikit botak keluar ruang. Sementara aku di suruh menunggu dengan duduk lagi dikursi antrian.
Aduh, bagaimana ini? Di rumah jelas ortuku tak ada uang lagi. Kebijakan apa yang akan dikeluarkan oleh sekolah ini. Sudikah mereka menerimaku dengan uang muka dulu, sejumlah 250 ribu itu? Kepalaku sungguh pening. Keringat dingin merembes keluar dengan deras. Tuhan apa yang harus kulakukan, ini hari terakhir pendaftaran ulang. Berbagai pikiran berkecamuk di otak. Dan tak satu pun memberikan jalan keluar.
Si bapak yang tadi keluar datang lagi. Dia langsung menemui si ibu berkacamata. Keduanya tampak bercakap serius. Aku tak dengar pembicaraan mereka yang sedikit berbisik. Lalu aku pun dipanggil.
“Begini ya, kamu pulang saja dulu, minta uang sama orangtuamu dulu di rumah. Masalahnya syarat yang masuk harus lengkap termasuk administrasi keuangannya.”
“Tapi Bu, orangtua saya sudah tidak ada uang lagi.” kataku jujur.
Si ibu mengernyitkan kening.
“Tolong Bu!” rengekku.
“Tidak bisa, Dik!” sahut Bapak botak tadi. “Masalahnya kami sering mengalami kasus seperti ini. Ketika uang pembayaran kurang, dan pakai dispensasi, setelah masuk tidak juga membayar. Kami jelas rugi.”
“Sama sekali tidak bisa?” aku coba memastikan.
“Maaf.” bapak yang botak itu lalu menyodorkan berkas persyaratanku yang berada dalam map merah.
Aku bangkit dan mengambil map itu dengan lesu. Mereka benar-benar mendepakku karena aku tak bawa uang yang mereka inginkan.
Hhh……Aku meninggalkan sekolah impianku dengan gontai. Aku sudah ditolak. Lalu……kemana aku mau mendaftar lagi. Air mata sudah mencembung diujung mata. Pikiranku kacau. Rasanya sudah hilang akal. Ketika pulang apa yang harus kukatakan pada ortuku nanti. Aku yang ceroboh! Orangtuaku pasti marah besar. Uang sejuta bukan uang yang sedikit, untuk mendapatkannya pasti ayahku sampai mempertaruhkan nyawa.
Harapanku untuk bisa bersekolah buyar. Mahal. Pendidikan ini ternyata berharga sangat mahal. Tak terjangkau oleh tangan-tangan rakyat jelata macam aku. Ketika minta keringanan hanya dipingpong dengan persyaratan yang membingungkan.
Lalu akhirnya, aku jelas-jelas tak bisa lagi meneruskan cita-citaku. Saat ini rasanya aku teramat pupus. Dan mentari siang ini pun sungguh tak putus memanggang tubuh bagian kulit yang memang telah hitam. Panas.
Pikiranku mengembara…..kemudian raungan keras telah menghenyakkan aku dalam dunia lain yang tak kumengerti. Beban yang tadinya bersarang musnah.
Ajaib! Seketika itu pula, aku telah mengenakan seragam putih abu-abu impianku. Aku sangat girang. Sayang ketika kudatang ke sekolah favoritku yang tadinya menolakku tak satu yang menggubris kehadiranku. Acuh. Bahkan orangtuaku, kakakku dan Winda diam membisu tak menyapaku.
Ada apa ini? Aku berjalan tak karuan. Lalu……..
“Oh kasihan, anak ini korban tabrak lari.” bisik orang-orang di sekitarku. Aku mendekat ke sebuah kerumunan orang-orang. Menyeruak,
Dan sosok lain diriku yang berseragam putih biru terkapar bersimbah darah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
💖SEKAR💖
pasti punya selingkuhan
2020-12-08
0