SELAMAT MEMBACA...
***
Sore hari saat langkah kaki membawa tubuh Ara kembali memasuki jalanan komples perumahan dimana rumahnya berada, tak jauh dari tempatnya berdiri banyak sekali ibu-ibu yang bergerombol di tepi jalan.
Berbisik-bisik sambil memandang sesuatu.
Ara penasaran. Apa yang membuat mereka seperti sedang menonton sebuah pertunjukan.
Perlahan ia kembali berjalan, mendekati para ibu-ibu itu yang memang berdiri tak jauh dari rumahnya.
Suara aneh seperti teriakan mulai samar terdengar.
Apa itu? siapa yang berteriak sambil menangis?
Dadanya semakin berdetak lebih kencang.
Saat langkah kakinya hampir mendekati para wanita seusia ibunya, tiba-tiba tangan tangan di pegang salah satunya. Namanya Bu Ratna, ibu RT di komplek perumahan itu.
"Ara, siapa pria yang dirumahmu itu?" tanyanya dengan penuh penasaran.
Bukannya menjawab, Ara malah terkejut.
Siapa yang bu Rt maksud? ada apa ini?
Begitulah batin Ara kebingungan.
Suara tangisan wanita kembali terdengar, bahkan lebih jelas.
Ara terperanjat, ia tau dan sangat hafal siapa pemilik suara itu. Ibunya ...
Ara berlari meninggalkan kerumunan ibu-ibu. Masuk ke dalam halaman rumah.
Disana terparkir sebuah motor dengan helm diatasnya.
Ia semakin berlari menuju ke pintu yang setengahnya terbuka.
"Ibu!" teriaknya sambil membanting pintu agar terbuka sepenuhnya.
Hal pertama yang Ara lihat adalah ibunya sedang terduduk di lantai dengan mata yang berlinangan. Rambutnya terlihat berantakan serta pakaian yang dikenakannya robek tepat di bagian bahu sebelah kiri.
"Ibu!" Ara mendekati sang ibu. Memeluk tubuh renta itu ke dalam pelukannya.
Mereka akan baik-baik saja saat selalu bersama, begitu pikirnya.
"Oh ... jadi dia anaknya,"
Suara seorang pria terdengar menggema memenuhi seluruh sudut ruangan itu.
Ara mendongakkan kepalanya. Mengamati pria yang berdiri tak jauh dari ibu dan dirinya duduk.
Pria dengan jaket berwarna hitam dan wajah yang galak.
Di dagunya ditumbuhi rambut yang terurus.
Siapa dia? apa dia penagih hutang? kenapa ibu tidak bilang kalau ia terlilit hutang?
Ara semakin bingung dengan situasi saat ini.
"Jangan sakiti Ara. Dia anakku satu-satunya ..." lirih ibu mengucapkan kata itu.
Memegang tangan Ara sangat erat agar anaknya itu tidak pergi jauh darinya.
"Ck ... bodoh! kamu benar-benar bodoh Sari,"
Pria itu hendak menendang Ibu dari Ara.
Tapi Ara yang tau, ia memunggungi sang Ibu hingga sebuah tendangan kaki lai-laki itu mengenai punggungnya.
Ara meringis kesakitan. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca hendak menangis.
"Hentikan! kenapa kau melukai anakku ... Pergi kau dari sini!" teriak Ibu marah.
Ia mengelus punggung anak perempuannya dengan sangat lembut.
"Dia itu adalah sebuah kesalahan! Anak pembawa sial!" teriak pria itu dengan murka.
Ara memandang ibunya. Mencari jawaban atas semua yang diucapkan oleh pria tidak dikenalnya itu.
Ibu menggelengkan kepala.
Jangan hiraukan ucapannya ... begitu makna yang Ara terima dari sorot mata sang ibu.
"Kalau saja kamu melenyapkannya, hidupmu tidak akan hancur Sari!"
"CUKUP! keluar dari rumahku sekarang! kamu tidak berhak berbicara seperti itu!"
Ibu tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu. Apapun kesalahan yang ia perbuat, Ara bukan suatu kesalahan.
Dia adalah anugrah yang Tuhan berikan kepadanya.
Ibu berdiri. Memegang lengan pria di depannya dan menyeretnya keluar.
"Beraninya kau!" pria itu menghuyungkan tangannya hendak memukul wajah Ibu.
Tapi Ara bangun, dengan sekuat tenaga ia memegang tangan kuat dan kasar itu.
"Tolong, jangan pukul ibu..." pintanya mengiba.
Walaupun Ara tidak paham sama sekali dengan kejadian apa yang ada di depannya saat ini, tapi menjaga Ibu tetap prioritas utama.
Dengan berderai airmata Ara meminta untuk dikasihani. Meminta pengampunan atas apa yang tidak pernah ia perbuat sebelumnya.
"Anda tidak berhak memukul Ibu saya ... Dia seorang wanita. Bagaimana bisa Anda dengan mudah memukul seorang wanita?" tanya Ara.
Tuhan, kenapa ada orang seperti dia? .. apa salah ibuku? kenapa engkau membiarkan orang jahat berada disini?
"Ck ... tidak berhak? Apa ibumu tidak pernah bilang kalau -..."
Belum sempat pria itu meneruskan kalimatnya, Ibu lebih dulu mendorongnya hingga sampai keluar pintu.
"Pergi dari sini! tolong ..." usir Ibu.
Beliau tak mau pria itu berbicara panjang lebar yang akan menyakiti putri semata wayangnya.
Ibu tidak mau Ara terluka.
"Tolong pergi dari sini ... jangan pernah kembali lagi kesini ..." teriak Ibu sangat frustasi.
Ia juga melihat didepan sana banyak pasang mata yang melihat ke rumahnya.
Ibu menarik tangan Ara yang masih berdiri di depan pintu untuk masuk kembali ke dalam rumah.
Menutup pintu serta menguncinya dari dalam.
Sedangkan pria didepan sana masih berteriak-teriak tidak jelas.
Entah apa yang ia katakan, Ara tidak terlalu mendengar.
Ia masih membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu. Menenangkan diri dengan apa yang telah ia saksikan tadi.
"Sayang, kamu tidak terluka kan?" tanya Ibu. Matanya terus mengamati wajah dan tubuh anaknya memastikan kalau putrinya tidak terluka.
Ara menggelengkan kepalanya. Bingung harus berkata apa. Dikepalanya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan.
Siapa pria itu? Apa hubungannya dengan Ibu? Kenapa ia mengataiku sebagai anak pembawa sial?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ingin Ara tanyakan. Tapu melihat Ibunya yang masih terlihat sangat kacau, Ara ragu.
"Jangan khawatir nak,kita akan pergi dari sini secepatnya ..." ucap Ibu mantap.
Ya, kejadian tadi membuat dirinya yakin untuk membawa Ara pergi darisana.
Ibu tidak mau Ara semakin sedih dengan kenyataan yang selama ini ia kubur rapat-rapat.
"Tapi Bu, Ara sudah kelas 3. Sebentar lagi akan ujian. sangat sulit kalau mencari sekolah baru ..."
Ya, sebentar lagi Ara akan menjalani Ujian Nasional yang akan menentukan kelulusannya di Sekolah Menengah Atas ini.
"Kita akan cari rumah kontrakan yang tidak terlalu jauh dari sekolahmu nak ... setelah Ara lulus, kita akan pergi jauh dari kota ini... kamu mau kan sayang?"
Ara hanya mengangguk. Selama ia kecil Ara tidak pernah berkata tidak dengan perintah sang Ibu.
Menurutnya, Ibu sudah bersusah payah membesarkannya. Ara ingin menjadi anak yang patuh. Untuk itulah ia tidak pernah membantah apapun yang ibunya katakan.
"Jangan khawatirkan apapun ... Kamu hanya perlu belajar dan tidak memikirkan apapun. Serahkan semuanya pada Ibu,"
Lama Ara berfikir.
Tidak ada apa-apakah jika aku bertanya?
Ibu tidak akan marah kan?
"Emm, Bu ..."
Dadanya berdetak tak karuan.
"Siapa pria tadi?" tanya Ara. Ia memberanikan diri untuk bertanya kepada sang Ibu.
Mendengar pertanyaan anaknya, wajah Ibu berubah pias. Ia bingung juga tidak mau memberitahukan semuanya kepada anak perempuannya itu.
Ada suatu ketakutan tersendiri jika Ara tau siapa pria tadi.
Dan mungkin penilaiannya terhadap dirinya akan berubah.
Ibu takut Ara akan membencinya.
Dan kemungkinan terburuknya adalah Ara akn meninggalkannya. Beliau tidak menginginkan hal itu.
"Bukan siapa-siapa sayang. Masuklah dan ganti pakaianmu, Ibu akan siapkan makan malam untuk kita nanti ..."
"Tapi Bu,-"
Belum sempat Ara melanjutkan kalimatnya, Ibunya lebih dulu pergi.
Meninggalkan Ara yang masih berdiri di ruang tamu rumah dengan wajah bingung.
Kenapa Ibu merahasiakan sesuatu?
----
Malam telah datang. Ara duduk di kursi meja makan sambil menikmati makan malamnya dengan Ibu di depannya.
Mereka tidak terlibat pembicaraan apapun. Hanya terdengar denting sendok yang beradu dengan piring.
Ibu terlihat sangat canggung. Dalam hatinya ia takut Ara kembali menanyakan pria tadi sore.
Saat ini belum waktunya Ara mengetahui semuanya.
Ara masih terlalu muda.
"Habiskan makananmu dan segera kembali ke kamar, biar Ibu saja yang membereskannya nanti."
Ibu hendak bangkit dari tempat itu. Ia ingin sedikit menghindar dari Ara.
"Bu," cegah Ara. Sebagai anak yang hidup dengan Ibunya saja, Ara sangat tau kalau ibunya saat ini sedang tidak nyaman.
"Ara tidak akan menanyakan siapa pria tadi. Ara tidak akan membuat Ibu merasa tidak nyaman ... hidup berdua dengan Ibu saja, sudah membuat Ara bahagia ... jangan sedih Bu, maafkan Ara soal tadi sore"
Ibu yang tadi sudah berdiri membelakangi Ara, terdiam.
Entah kenapa kata-kata yang Ara ucapkan tadi membuat hatinya tersentil.
Matanya tiba-tiba menggenang.
Maafkan Ibu Ara ...
Mendengar tidak ada jawaban dari ibunya, Ara bangkit. Berjalan meninggalkan kursinya demi mendekati sang ibu.
Ara tau kalau ibunya sedang mengusap air mata dengan tangan saat dirinya telah berada di depan sang ibu.
"Ara sayang Ibu," Ara menghambur memeluk tubuh ibunya. Membenamkan wajahnya di dada wanita yang telah membesarkannya itu.
"Maafkan Ibu nak," hanya itu kata yang terucap di bibir Ibu. Kata maaf yang mengandung banyak arti.
"Tidak, Ibu tidak salah ..." bela Ara.
Dan seketika bahu ibunya bergetar hebat. Wanita paruh baya itu menangis sejadi-jadinya.
Tuhan maafkan Aku. Maafkan semua kesalahanku terhadap gadis ini ...
Aku akan menerima semua hukumanmu dengan ikhlas.
Tapi bolehkan aku meminta sesuatu? ...
Berikan gadis ini kebahagiaan, dan segala kemudahan dalam hidup ...
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Yuni Setyawan
awal cerita yg menyedihkan,maraton 🏃🏃🏃🏃🤭
2022-01-13
1
Sanjani
semangat kak aku pengikut barumu kasih like dan komen
2021-12-08
0
Jariah Ria
jadi penasaran...ok lanjut..😊👏
2021-07-20
1