Seminggu sudah sejak perjanjian itu, Ara kembali dengan kehidupannya sebagai anak panti, bermain dan belajar. Anak ceria itu slalu mencuri perhatian Shaka, dia slalu duduk di tepian memperhatikan tingkah manisnya. Menjaga Ara adalah keharusan.
Mobil mewah berhenti tak jauh dari anak-anak panti bermain, semua anak menatap tak terkecuali Shaka dan Ara, hal paling mendebarkan bagi mereka, jika ada tamu hadir selain membantu panti asuhan, pastilah akan ada anak yang di adopsi, dan itu akan menjadi kesedihan untuk mereka, berpisah hal yang paling di benci.
"Sepertinya itu orang kaya yah," celetukan seorang anak perempuan yang berkumpul dihalaman.
"Iya, kayanya ibu Asih sangat mengenal orang itu," balas teman lainnya. Ibu Asih menyambut pelukan hangat perempuan yang baru saja turun dari mobil.
"Siapa mereka, kenapa jantungku tiba-tiba berdebar sangat kencang," gumam Shaka setelah melihat wajah perempuan itu yang tak sengaja menoleh kearahnya.
Tamunya di persilahkan masuk, sementara anak-anak lain kembali bermain. Begitupun dengan Ara.
Beberapa menit obrolan di ruangan bu Asih membuat Shaka penasaran, ia bangkit berjalan pelan mengintip di dekat jendela.
"Maafkan kami bu Asih, kami ingkar. Tapi sedikitpun kami tak pernah melupakan malaikat kecil itu, wajahnya slalu terbayang-bayang, kami sangat merindukannya," wanita yang masih cantik dengan berpenampilan modis itu menangis ter'isak-isak di bahu suaminya. sementara sang suami berusaha menenangkannya dengan mengusap-usap punggung istrinya.
"Maaf kami sudah membebani ibu," sambungnya kembali.
"Dia sangat baik pak, bu, tumbuh menjadi laki-laki yang tampan, bijaksana, perhatian penyayang pada adik-adiknya disini, terlebih dia sangat penurut," ucap bu Asih seraya tersenyum.
"Siapa yang di maksud bu Asih anak laki-laki tampan?" Gumam Shaka yang masih mengamati obrolan orang dewasa di balik jendela.
"Saya mengerti kondisi ibu dan bapak, saya tidak pernah merasa terbebani dengan hadirnya dia disini." Sambung bu Asih kembali.
"Saya benar-benar berterima kasih pada semua orang disini yang sudi mengurus anak saya dari kecil," Arini menungkupkan telapak tangannya didada seraya sedikit membungkuk.
"Anak saya? Siapa yang di maksud tante itu?" Ia berpikir keras mengkrenyitkan alis mencoba menebak dari wajah kedua orang tersebut.
Semenjak turun dari mobil, pasangan suami istri itu mempunyai gestur wajah yang mirip dengannya, saat tak sengaja menatap tadi jantung Shaka berdetak kencang, dari situlah keingintauannya sangat besar.
"Sama-sama, tidak usah khawatir, itu sudah menjadi tugas kami," ucap bu Asih.
"Maaf pak, bu, bagaimana kondisi ibu dan bapak sekarang?" Sambung bu Asih kembali.
"Papah saya meninggal satu tahun yang lalu, setelah papah meninggal kesibukan saya berkali-kali lipat, Arini sudah ingin membawa anak itu pulang, tapi saya harus memberi pengertian secara pelan-pelan pada mamah saya, saya khawatir tentang kesehatannya."
"Innalillahi, maaf saya tidak tau pak," bu Asih menunduk meminta maaf atas ucapannya.
"Tidak apa-apa, sekarang kondisinya sudah baik, mamah saya sudah tau tentang keaadaan anak itu, dia berbesar hati menerima cucunya. Makanya kami memutuskan datang kesini. semalam kita baru saja sampai di surabaya, kami akan membawanya pulang bu," jelas Khaidar.
"Tentu, saya tidak bisa menghalangi kalian, kami disini hanya mengurusnya dengan baik, kalian yang berhak sepenuhnya,"
"Bu, saya sangat merindukannya, bolehkah saya tau dimana anak itu sekarang, boleh ibu panggilkan," pinta Arini antusias seraya mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir.
"Tentu, saya panggilkan sebentar yah," bu Asih beranjak keluar mencari keberadaan Shaka di tengah anak-anak yang tengah bermain di halaman.
"Mana Shaka, biasanya dia slalu duduk disitu kalau adik-adiknya tengah bermain, Ara juga ada, kemana dia?" bu Asih mengelilingkan pandangnnya.
"Shaka, kamu dimana nak?" teriak bu Asih.
Jantungnya makin berdebar kencang saat namanya di panggil.
"Kenapa ibu manggil aku? Tadi tante itu minta dipanggilkan anaknya. Hah! Jangan-jangan, maksudnya?" Shaka duduk di dekat jendela seraya meremas kepalanya dengan kasar, mencoba memikirkan semua yang di dengarnya.
"Shaka, kamu dimana nak?" Teriak bu Asih kembali, ia mengelilingi setiap sudut panti.
Ara mulai khawatir saat bu Asih beberapa kali memanggil nama Shaka, ia lantas mengikuti bu Asih dari belakang.
"Kenapa ibu cari kak Shaka? Kemana yah kak Shaka? Biasanya nungguin Ara duduk di dekat pohon." Kini Ara pun seperti merasakan kegelisahan.
"Shaka, kamu disini nak," bu Asih sedikit terkejut melihat Shaka yang duduk di bawah jendela ruangannya, dia terlihat begitu terpukul, matanya bahkan memerah.
"Apa Shaka denger obrolan kami di dalam? Apa Shaka udah tau kalau mereka orang tuanya?" Batin bu Asih berucap.
Ia mendekati membelai wajah prustasi anak usia 10 tahun itu, usia Shaka memang masih muda, tapi pikirannya sangat dewasa. Bu Asih mencoba memberi pengertian secara pelan-pelan.
Ara kini mengintip dari sudut tembok.
"Shaka, kamu denger obrolan kami di dalam tadi nak?" Tanya bu Asih pelan seraya tersenyum. Shaka mengangguk.
"Shaka, ibu gak bermaksud menyembunyikan semua ini, kamu masih sangat muda untuk mengetahui rumitnya keadaan orang tua kamu dulu, ta__," ucapnya terhenti.
"Jadi benar mereka orang tua Shaka," tatapannya pada bu Asih dalam. Bu asih mengangguk.
"Shaka, kamu masih mempunyai keluarga yang utuh," anak laki-laki itu menunduk menangis, apakah dia harus bahagia atau malah sedih.
"Setelah 10tahun, mereka ninggalin Shaka disini dan sekarang semudah itu mereka mau bawa Shaka," raut wajah kecewa Shaka nampak terlihat.
"Kak Shaka," air mata Ara tak terbendung mendengar pernyataan-pernyataan dari bu Asih dan laki-laki yang slalu bersamanya.
Shaka menoleh. "Ara! kamu disini," ia terkejut.
Ara berlari meninggalkan Shaka dan bu Asih, Shaka bangkit berniat mengejarnya. Tapi bu Asih menghalangi niatnya.
"Sayang, denger ibu, Ara biar nanti ibu vita yang urus, sekarang kamu masuk keruangan ibu, mereka nunggu kamu nak, kamu harus hormat pada mereka, orang tua kandung mu,"
"Orang tua kandung? Bukan! Dia udah membuang Shaka disini, Shaka bahagia disini." Dia pergi meninggalkan bu Asih berlari mengejar Ara.
"Shaka, kamu mau kemana nak? Shaka!" Bu asih berteriak membuat orang tua Shaka menoleh ke arah jendela, mereka buru-buru keluar menghampiri bu Asih.
"Bu, ada apa? Mana Shaka?" Arini kebingungan.
"Shaka sudah mendengar obrolan kita, semenjak tadi dia ternyata ada disini nguping. Mungkin firasat, maaf sepertinya dia terkejut dan belum bisa menerima ini, dia lari mengejar Ara,"
"Saya paham bu, tidak mudah pasti menerima kami lagi, Shaka pasti kecewa," Arini menangis di pelukan suaminya.
"Sudah sayang, kita akan beri pengertian," Khaidar mencoba menenangkan.
"Maaf bu, tadi kata ibu Shaka mengejar Ara, Siapa Ara?" Tanya Arini.
"Ara anak yang paling dekat dengan Shaka, Shaka begitu menyayangi Ara," jelas bu Asih.
"Baik bu, ke arah mana mereka pergi, apa ibu tau?" Kini Khaidar yang bertanya.
"Rumah pohon, mereka begitu menyukai rumah pohon, mari saya antar kesana, kita beri pengertian pada kedua anak tersebut." Bu Asih berjalan di ikuti kedua orang tua Shaka.
Sementara Shaka tengah membujuk Ara yang masih menangis sesegukan.
"Ara, udah yah. Kakak gak tega liat kamu nangis gini," Shaka mengusap air mata Ara yang terus mengalir.
"Kakak bohong! kakak pasti bakal pergi kan ninggalin Ara, kakak bilang kalau kita udah nikah kita gak akan terpisah. Kakak bohong!" Racau Ara di sela tangisnya.
"Hey cantik. siapa yang mau ninggalin Ara? kakak gak akan pergi. kakak mungkin punya orang tua, tapi mereka gak bisa misahin kita, orang tua kakak sudah menitipkan kakak disini, berarti mereka gak menginginkan kehadiran kakak dulu." Arini Khaidar dan bu Asih mendengar obrolan kedua anak tersebut.
Ucapnnya menohok.
Arini hendak menghampiri mereka, tapi bu Asih menahannya.
"Biarkan dulu mereka bu, kita dengarkan saja dulu, mereka masih kecil, kita pelan-pelan mencoba mengerti jalan pikirannya," bisik bu Asih
"Tapi bu Shaka salah paham. Kita harus meluruskannya, saya gak mau dia benci pada kami," Tangis Arini pecah kembali.
"Saya paham bu, pendekatan pada anak kecil itu harus pelan, kalau langsung pada inti permasalahannya saya yakin jangankan membawa Shaka pulang, memeluknya pun saya rasa gak bisa, saya sangat mengenal Shaka sifatnya sangat lembut, biarkan saja dulu kita dengarkan obrolan mereka." Khaidar dan Arini mengerti ucapan bu Asih.
"Kakak janji gak akan ninggalin Ara,"
"Janji, kakak kan udah bilang setelah menikah kita akan terus sama-sama," tiga orang dewasa itu terkejut mendengar ucapan kedua bocah itu.
"Menikah? Maksudnya apa bu?" Arini menuntut jawaban.
"Saya juga belum tau, kita dengarkan dulu,"
"Sampai kapan pun kita akan terus sama-sama. Ara jadi pengantin kecil sekarang, setelah dewasa Ara lah yang akan menjadi pengantin sungguhan kakak." Ara tersenyum kembali saling menautkan kelingking.
"Sepertinya mereka mempunyai perjanjian kecil," bu Asih mulai memahami.
"Jadi bagai mana bu sekarang?"
"Baiklah, kita dekati mereka pelan-pelan. Ajak mereka berbincang santai, dengarkan apapun pendapatnya, saya akan mencoba menengahi." Wanita paruh baya itu bijaksana. Ia tersenyum seraya melangkah menghampiri dua bocah yang tengah saling melempar senyum.
"Ehem, anak-anak ibu lagi apa sih?" Ara dan Shaka menoleh kearah tiga orang dewasa yang mendekatinya, ia terkejut. Lalu berpindah duduk disamping Ara, semenjak tadi Arini dan Khaidar hanya melihat punggung sang anak, kali ini wajah tampannya benar-benar terlihat.
"Mas, wajah Shaka mirip sekali dengan mu," Buliran bening itu kembali memenuhi pelupuk matanya.
"Ibu, papah sama mamah Shaka boleh ikut duduk disini?"
"Enggak! Jangan coba bujuk Shaka untuk ikut sama kalian, kalian gak menginginkan Shaka dulu, jadi untuk apa sekarang kalian mau Shaka lagi," ucapan Shaka begitu menyakitkan Arini.
"Shaka, sayang. Ibu gak pernah ngajarin Shaka bicara kasar pada orang dewasa terlebih ini orang tua kandung Shaka, masih inget gak ibu pernah bilang kalau surga itu di telapak kaki ibu," bu Asih mengelus rambut Shaka.
"Iya Shaka inget, surga di telapak kaki ibu, ibu yang baik. yang menginginkan anaknya, bukan malah menitipkannya pada orang lain, Shaka betah disini bu," air mata Arini benar-benar tumpah kembali, Shaka membenci dirinya.
"Shaka sayang, denger ibu nak. Tidak semua yang kamu pikirkan itu benar, pasti ada alasan kenapa kamu di titipkan sama ibu, mereka tidak membuangmu, tapi mereka menitipkan, kamu paham kan maksud ibu?"
"Sama aja bu, intinya mereka gak menginginkan Shaka,"
"Kamu salah nak, nyawa kamu dalam bahaya dulu, tempat paling aman adalah disini, papah sama mamah gak mau kamu kenapa-napa, kami justru ingin menyelamatkan kamu," ucapan Khaidar membuat Shaka diam. Wajahnya yang penuh amarah kini terlihat bingung.
"Maksud om apa?" Sela Ara yang ikut penasaran atas pernyataan lelaki yang mengaku ayah Shaka.
"Sayang, kalian masih sangat kecil, permasalahannya terlalu rumit, kalian belum bisa memahami jika kami jelaskan, intinya kami menitipkan Shaka disini agar Shaka selamat dari bahaya yang mengancamnya dulu," jelas Khaidar.
"Shaka, mamah ngerti kalau kamu marah sama mamah, maafin mamah," Arini mencoba meraih tangan Shaka. Tapi Shaka menolak.
"Shaka maafin tante, tapi jangan paksa Shaka untuk ikut sama tante dan om." Ucap Shaka tanpa menoleh ke arah orang tuanya. Shaka yang mulai beranjak dewasa begitu kecewa dengan keadaan yang ia hadapi sekarang terlebih dia mempunyai janji pada pengantin kecilnya, ia berusaha agar tetap tinggal di panti.
"Shaka, ibu sedih kalau sikap Shaka sama orang tua kamu seperti itu, ibu merasa gagal mendidik kamu, apapun masalahnya, kamu harus tetap hormat pada orang tua, inget gak ibu pernah bilang saat pengajian kemarin. Jika ibu kalian meminta tolong atau memerintah, jangan sekali kamu bantah bahkan hanya bicara ah saja kamu sudah berdosa, allah gak akan ridho, jika allah marah, hidup tidak akan bahagia. Sholat beribu-ribu kali pun gak akan diterima jika kamu masih menyakiti hati orang tua mu terlebih ibu mu." Penjelasan bu Asih membuat Shaka makin kebingungan antara orang tuanya yang tiba-tiba datang dan Ara.
"Ibu bener kak, gak baik kakak benci sama orang tua kakak," Ara berucap. Shaka menatap Ara penuh tanya.
Arini perlahan mendekat, meraih tubuh kecil anaknya, Shaka terdiam ada rasa rindu yang tiba-tiba hadir, ingin merasakan pelukan ibu kandung.
Pelukan Arini menenangkan.
"Seperti inikah rasanya di peluk sama ibu sendiri," Shaka menangis seraya melingkarkan tangan di pinggang Arini di sambut dengan tangisan deras Arini.
"Terimakasih tuhan sudah meluluhkan anak kami, setidaknya perlahan dia akan menerima kehadiran kami." Arini mencium puncuk kepala sang anak.
***
Masih rumit kisah di panti,
Ara dan Shaka
Love
👍👍🇮🇩🇮🇩❤❤
🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Dirah Guak Kui
kasian sekali anak2 yg tumbuh tanpa kasih/sayang dari orang tuanya😭😭😭😭😭😭😭
2021-05-01
2