Anara POV
"Kenalin, ini Yuda. Pacar.. hehe." Nilam memperkenalkan posisi laki-laki di sampingnya itu. Aku mengangguk ramah sambil menyebut nama, diikuti Hartik.
Kami sudah melaju ke pusat keramaian Jogja. Mataku seolah tak berkedip menelanjangi setiap jengkal kota yang kuimpi-impikan ini. Seperti mimpi akhirnya aku menginjakkan kaki di pusat budaya Jawa ini. Kutengok ke samping ternyata Hartik juga tengah menikmati segala yang tersaji di depan mata.
"Gimana? terasa belum vibe Jogjanya?" Suara Nilam menggiring pandang kami berdua sesaat menyingkir dari pemandangan kota.
"Ternyata macet ya." Memang di luar bayanganku, ternyata Jogja macet parah. Mirip seperti pertama menginjak bumi Arema, kukira akan dingin sejuk seperti yang kulihat di tv, kenyataannya Malang juga macet pada lokasi tertentu. Seperti de javu, saat ini kurasakan hal serupa kembali.
"Ya beginilah. Saking banyaknya pendatang mungkin ya. Yang pergi sama yang datang ndak imbang, An. Jadi semua kayak tumplek blek gitu loh. Kalau di Malang ndak macet kayak di sini?"
"Sama aja mbak, di sana juga macet. Panas." Ternyata Hartik merasakan hal serupa denganku.
"Oh ya. Kalian tidur dimana rencananya? Sudah ada tempat belum?" Belum akan kami menjawab. Nilam sudah bersuara lagi, "Kalau belum. Tidur di tempatku aja! Di sini aku sewa rumah sama temen-temen, kebetulan pada pulkam di silent week ini."
"Nggak ngrepotin nih?" Aku bertanya dengan ragu pada Nilam. Kan sungkan sudah datang dijemput, masa tempat tidur juga disediain. Tapi, kami kan tamu. Sisi lain ngaco dalam diriku naik ke permukaan.
"Ya ampun Anara, enggaklah. Malah aku seneng ada temannya. Kamu ya kayak sama siapa aja." Ternyata Nilam sungguh-sungguh menawari kami, bukan sekadar bermanis bibir semata.
"Kebetulan juga sih, karena kami memang belum ada tempat. Aduh nekat banget ya hehe." Sebenarnya aku sedikit sungkan padanya, tapi nggak apa kali ya. Nanti kalau dia ke Malang. Biar ganti nginep di tempatku.
"Hahaha namanya juga backpacker-an. Kalau nggak nekat bukan backpacker namanya. Santai saja kalian! Malah aku juga nggak suwung karena ada temennya." Betul juga yang dikatakan Nilam.
"Makasih ya mbak. Jadi, ceritanya simbiosis mutualisme kita ya?" Kalimat Hartik yang disambut tawa renyah Nilam ini sebenarnya sedikit memalukan. Kenapa ucapan terima kasihnya harus ia bumbui istilah simbiosis mutualisme segala sih?
Kusenggol lengannya sambil sedikit melotot tapi nampaknya ia tak merasa ada salah kata di sana. Ahh sudahlah Hartik memang terlampau jujur, yang terpenting kami nggak ngegembel di kota orang ini. Kan lucu kalau di tempat yang aku impi-impikan, aku malah kayak orang ilang. Belum lagi kalau Candra tau, pasti diketawain habis-habisan.
Sebenarnya uang kami cukup untuk menyewa kamar penginapan barang 2-3 harian, tapi kodratnya mahasiswa kalau ada gratis kenapa keluar uang? klop sekali denganku dan Hartik. Saat ini juga kuingin menertawakan diri sendiri dengan kencang-kencang. Ha ha ha.
...----------------...
Kontrakan Nilam terbilang luas dan bersih. Lokasinya juga tidak terlalu berdekatan dengan jalan raya sehingga tidak bising. Aku dan Hartik menempati satu kamar yang memuat dua single bed. Ahh nyaman sekali akhirnya bisa mengistirahatkan punggung.
"Kalian santai saja di sini! Aku sudah izin kok sama yang punya kamar. Kamarku tepat di sebelah ruangan ini, kalau mau ke kamar mandi dari pintu ini ke kanan mentok lihat sebelah kiri, dan kalau kalian ingin sekedar minum atau buat teh, sebelum kamar mandi ada dapur kecil." Aku dan Hartik mengangguk tanda memahami penjelasan panjang lebar Nilam.
Sebelum Nilam keluar kamar, ia mewanti-wanti kami berdua untuk ready setelah magrib. Melihat sekelumit tentang Jogja katanya, hanya sekelumit karena hari Sabtu kami memutuskan untuk balik ke Malang setelah tiket Malioboro Ekspres berhasil didapatkan melalui aplikasi online.
Kubuka ponsel untuk memberi kabar pada Candra, kukirim pesan WA dan memberitahunya jika aku sudah sampai di Jogja. Karena kelelahan, aku tertidur pulas dan bangun ketika hari bergumul petang.
Kuguyur tubuhku untuk membersihkan sisa lelah perjalanan. Kuapresiasi diri sendiri yang masih memiliki semangat membuncah sampai sejauh ini. Tak mudah bagiku, karena ini adalah perjalanan pertamaku yang harus menyinggahi beberapa kota. Perasaan bangga tentu menjalari setiap aliran darah.
...----------------...
Kami berempat sudah siap menyusuri jalanan Malioboro selepas isya setelah memenuhi panggilan perut yang minta segera diisi. Di luar ekspektasiku, ternyata jalan yang menjadi salah satu ikon Jogja ini luar biasa padat, bahkan untuk mencari tempat parkir mobil pun hampir memakan waktu setengah jam.
Tak hanya itu, jalan yang kami tapaki sebagian menjelma menjadi tempat parkir, angkringan, lapak jualan, dan warung-warung lesehan. Apa karena ini Malioboro begitu ikoniknya?
Sesungguhnya aku merasa sedikit kecewa karena jalan yang kulalui terbilang sempit, bahkan kuingin enyah dari tempat ini karena terkadang bersenggolan dengan pejalan lainnya sampai kulihat kerumunan massa, dimana ada beberapa alat musik tradisional yang sedang dimainkan dan beberapa orang yang asyik meliukkan tubuh.
"Di sini banyak musisi jalanan, mereka ngamen tapi bagus kan? Beda aja." Jelas Nilam ketika melihatku tertarik pada fenomena tersebut.
"Iya ngamennya niat." Jawabku sekenanya karena fokusku masih pada sajian menarik di depanku ini. Terlihat memang, karena mereka 'mengamen' tidak asal-asalan.
Alat musiknya beragam mulai angklung, perkusi, dan beberapa lainnya yang sungguh aku belum tau. Kaus yang digunakan juga seragam dengan sablon bertuliskan Calung Funk. Alunan musik yang tercipta menambah kental suasana malam Jogja yang ramah dan sarat budaya. Kuanggap ini sebagai kompensasi ketidaknyamananku karena jalan khusus pedestrian yang sebagian beralih fungsi tadi.
Kulihat Hartik di sampingku tengah sibuk bergaya dan mengambil beberapa potret dirinya. Tak lama melihat mataku mengamatinya, ia mengarahkan kamera ponselnya ke posisiku. Aku tau betul, pasti dia memotretku. Kutampilkan senyum dengan deretan gigi semanis mungkin dan kuedarkan pandangku setelah Hartik memberikan jempolnya.
...----------------...
Masih di sekitaran Malioboro, kami berjalan sekian jauhnya tanpa terasa. Kali ini perjalanan kami bermuara di alun-alun Utara Jogja, Nilam menyebutnya altar. Tapi, nanti dulu! Ini tidak seperti alun-alun menurutku, lebih seperti pasar malam kalau aku menyebutnya.
Di sini banyak wahana permainan dan penjual segala *****-bengek mulai makanan, peralatan rumah tangga, pakaian, dan juga cendera mata khas Kota Jogja. Menjawab teka-teki di kepalaku, aku bermaksud menanyai Nilam, tapi ketika kutoleh keberadaannya. Ia sudah bergandeng tangan dengan Yuda menuju sebuah stan yang menjual pakaian.
Pandangan Hartik mengikuti ekor mataku, "Kayaknya kita deh, An yang sedang menemani mereka. Ha ha ha." Suara Hartik lirih tapi bisa kudengar dengan jelas. Aku tertawa mengiyakan kalimatnya.
Memang sepertinya benar yang dikatakan Hartik, dari mulai turun dari mobil sampai di sini. Mereka berdua tidak terlihat saling melepas genggaman dan kami mungkin terlihat nelangsa berjalan di belakang keduanya.
Seketika aku merasa beruntung gadis di sampingku ini mau ikut serta ke Jogja. Jika Hartik tak ada di sini barangkali aku lebih mirip nyamuk yang menonton orang berduaan. Tragis dan kapok pasti.
"Untungnya kamu ikut, Tik. Coba bayangin kalau aku ke sini sendiri! Bisa dipastikan aku jadi nyamuk."
"Iya Nak, berterima kasihlah padaku! Jangan sedih! Ibu selalu ada." Hartik berujar sembari menepuk-nepuk dadanya membanggakan diri seolah menjadi pahlawan bagiku. Tanpa aba-aba, kami tergelak bersama dan mereda ketika dua sejoli yang dibicarakan berjalan menuju ke arah kami sambil malu-malu memamerkan kaus couple.
Sejenak kemudian rasa penasaranku terpuaskan ketika Nilam menjelaskan bahwa di altar ini sedang ada Sekaten, bentuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang rutin di gelar setiap tahunnya di bulan Mulud (dalam kalender Jawa). Beruntung sekali aku ke Jogja bertepatan dengan acara yang digelar setahun sekali ini, begitu pikirku.
...----------------...
Beralih dari altar, kami menuju ke alkid, alun-alun Kidul tebakku. Oposisi biner utara pasti kidul, kan? Setelah sebelumnya kami berjalan jauh dari altar menuju tempat mobil Yuda di parkir, di sinilah kami berempat.
Nasi yang kusuap sebelum menapaki sekelumit Jogja ini rasanya sudah tak sanggup menyuplai tenaga karena berjalan begitu jauh. Sekarang cacing di perutku sedang berdemo minta diberi makan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Bukan aku seorang yang merasa kelaparan. Hartik, Nilam, dan Yuda juga merasakan hal serupa. Kami sepakat untuk menyantap bakso yang dijual di halaman alkid.
Beralaskan tikar yang digelar di atas tanah dan di atasnya berjejer rapi bangku-bangku kecil tempat meletakkan sendok dan sambal. Kami melahap tak tersisa apa yang disajikan penjual. Bukan karena enak, jika dibanding bakso di Malang yang biasa kubeli, ini sangat jauh. Tetapi karena aku sangat lapar, kumakan apa yang ada di depanku.
"Eh, aku pernah lihat di TV, kalau nggak salah di sini ada mitos ya? kalau berhasil jalan lurus dengan mata tertutup dan melewati tepat di tengah ringin kembar segala keinginan kita bisa terwujud?" Aku membuka percakapan setelah perutku sedikit nyaman.
"Masa sih? Kamu percaya begituan, An?" Aku baru ingat Hartik ini orangnya religius, realistis, dan semua diukur pakai logika.
"Ya, percaya nggak percaya sih. Lagian seru juga kan buat dicoba."
"Iya, di sini memang ada mitos seperti itu, tapi selama aku di sini juga belum pernah nyoba. Mungkin seru ya?" Kalimat Yuda seperti berada di pihakku.
"Iya, ayuk kita coba! siapa tau rejeki, kan?" Nilam lebih dulu bangkit dari duduknya diikuti Yuda. Kuseret tangan Hartik yang akhirnya dengan terpaksa menyetujui ideku yang mungkin konyol baginya.
...----------------...
Meninggalkan alkid dengan kegagalan mencapai titik tengah ringin kembar tak membuatku kehilangan gairah, tanganku semakin merentang menggapai Bukit Bintang yang letaknya di Kabupaten Gunung Kidul Jogja. Jalanan mulai sedikit lengang ketika hari merangkak menuju malam.
Mobil yang kami tumpangi melesat mulus menjauh dari pusat keramaian. Hawa dingin mulai merasuk, sekilas mengingatkanku pada dinginnya Kota Batu. Tiba-tiba aku begitu merindukan Candra. Seandainya pacarku yang sibuk itu ada di sini, pasti akan jadi momen manis yang memorable.
Yuda menghentikan mobilnya di pinggir jalan ketika kami sampai ditujuan. Rupanya ramai sekali di sini. Tempat ini menurutku adalah spot di dataran tinggi yang pas untuk melihat ke bawah karena terang lampu kota dapat dilihat full dari sini. Jika ditelaah pakai logika ala Hartik pasti tempat ini dinilai biasa, yang menjadikannya berkesan karena memang letaknya di Jogja.
Udaranya bukan main dingin, aku dan Hartik resmi menggigil karena outfit yang kami gunakan tidak dipersiapkan untuk berdingin ria. Kupikir sengaja sekali Nilam dan Yuda mengajak kami ke sini. Mereka senang bisa pelukan. Kami? Sungguh cinta terkadang seegois ini. Ahh Candra seandainya kamu menguasai teleportasi.
Aku dan Hartik memutuskan untuk mencari sesuatu yang bisa menolong kami dari kedinginan. Meninggalkan sejoli yang sedang egois tadi, kami berjalan beberapa langkah dan berhenti di kedai sederhana. Empat jagung bakar beserta kopi yang kami pesan masih dipersiapkan. Menunggu hidangan, kukeluarkan ponselku dari sling bag.
Sayang, jalan-jalan kemana?
Kubalas pesan dari Candra dengan segera meski kutahu tak akan ada balasan di jam segini. Hari sudah lewat tengah malam ketika pesanku terkirim. Sepergiku dari Malang, pikiranku memang kurang fokus padanya. Hanya sesekali kuhubungi dia untuk memberi tanda kalau aku baik-baik saja.
Pesanan sudah berada di tangan. Kulangkahkan kaki menuju tempat Nilam dan Yuda berada. Hartik mengekoriku dari belakang. Kami berempat duduk di pembatas jalan yang di bawahnya sudah menganga jurang terjal kira-kira 10m. Hanya doa dan mata senantiasa terbuka lebar yang harus kujaga. Antara berterima kasih dan ingin menghujat yang kini sedang kurasakan.
Nilam membuka obrolan di tengah saling diam kami menikmati kudapan yang ada. "Anara, sekitar dua minggu yang lalu aku ketemu sama Janu." Aku hanya diam sambil lekat memandangnya lalu kulanjutkan menyeruput kopi yang mendadak tak panas lagi.
"Kami sempat ngobrol dan saat itu juga aku tau kalau Janu satu kampus denganku." Nilam masih menunggu respon dariku dan penantiannya sia-sia karena memang aku tak ingin membahasnya.
Berbeda dengan Hartik yang tiba-tiba menyahut, "kenapa semua orang ngebahas Janu sih? Nggak di Solo nggak di Jogja. Istimewa sekali."
"Dia juga cerita kenapa dulu keluar dari SMA kita." Perkataannya terdengar dijeda cukup lama, "ternyata dia pindah sekolah ke Semarang ikut neneknya." Nilam belum menyerah ternyata. Aku masih sibuk dengan kopi di tanganku, pura-pura sibuk lebih tepatnya.
"Dia menanyakanmu juga." Kali ini masih tanpa perubahan respon dariku tetapi telingaku setia menyimak.
"Awalnya dia meminta nomormu, An. Tetapi, aku menolak memberinya." Ada semburat kecewa dalam diriku. Bagaimana kabarnya? dan satu lagi yang selama ini ingin kutahu. Kenapa ia pergi begitu saja?
"Jika boleh, kuberikan nomormu padanya, An?" Kali ini tak hanya Nilam, Hartik juga menunggu respon dariku.
Aku hanya meresponnya dengan senyum. Entah dimaknai apa? Jika oleh Nilam diberikannya nomorku pada Janu, aku akan memperjelas semua pada lelaki bajingan itu. Jika pun tidak, aku sudah tidak berharap juga padanya, semua telah usang dan kukubur dalam.
Setelah percakapan singkat itu, lebih tepatnya cerita singkat karena aku tak merespon omongan Nilam. Aku lebih banyak diam, kenapa dia datang lagi setelah sekian tahun aku mencoba melupakannya?
Pukul 02.15 dini hari kami sudah turun dari Bukit Bintang, mobil Yuda membelah Kota Jogja yang sepi lengang seperti tanpa pemilik. Pun sama halnya dalam mobil ini. Begitu sepi tanpa percakapan yang kutebak karena mata kami sudah ingin dipejam dan suara semakin enggan dikeluarkan.
Kuraih headset dari dalam tas dan lagu Sayang-Supernova telah berkumandang. Lagu yang setia menguras habis air mataku ketika dulu ia pergi tanpa pesan, meninggalkan banyak ukiran luka dan perlahan disembuhkan oleh lelaki bernama Candra.
Kumenangis tertahan
Ingat kau tak lagi bersamaku
Kuteriris terdiam
Berharap kebahagiaan datang
Perlahan aku hanyut kembali dalam luka kehilangan, nyeri sakitnya masih terasa sama. Janu, seandainya kamu tak pernah melukai, mungkin pagi ini Jogja lebih kugilai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Ella noor
ditinggal tanpa pesan rasanya memang sakit sekali 😢
2024-10-27
0
Linggarini
cinta lama belum kelar emang bikin rungsing...tema yg tak bosan diangkat dlm cerita
2021-05-11
0