Candra POV
Pagi ini seusai membersihkan diri dan mengisi perut yang kelaparan kuraih ponselku dan mencari nama Anara disana. Perempuan yang menghiasi hari-hariku selama lima bulan ini. Parasnya menyenangkan dan keberadaannya menyamankan. Mengingatnya saja membuatku rindu.
Ingatanku melayang pada masa awal kedekatan kami. Musim ospek mahasiswa baru di tahun 2012, aku sebagai koordinator sie acara dan dia menjadi bagian timku. Dari kegiatan ospek mahasiswa baru itu, ku ketahui jika Anara adalah adik tingkatku. Inginku menertawakan diri sendiri, kemana saja aku? bisa-bisanya hampir satu tahun berseliweran di gedung yang sama baru ku lihat dia.
"Anara Reswari." Jabat tangannya seperti kekuatan magis yang membuatku sejenak terpaku.
"Djata Ekot Candra." Kubalas jabatan erat tangannya disertai perkenalan nama. Anara tersenyum manis.
Parasnya sekilas mengingatkanku pada Anjani, kekasih di masa SMA ku yang meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan tunggal ketika berlibur ke Jogja dan menewaskan seluruh anggota keluarganya. Aku benar-benar hancur ketika itu, kehilangan gadis periang yang setia menungguiku bermain basket, yang tak pernah protes ketika aku tak bisa menuliskan bait puisi di saat gadis lain menerima kata romantis dari sebayanya.
Aku tak pernah menceritakan masa laluku pada Anara, aku tak mau dia menganggap aku laki-laki bejat yang hanya melampiaskan rinduku pada yang sudah meninggal kepada dirinya. Aku tau betul Anara akan sangat keras bila dirinya merasa terancam. Aku tidak siap kehilangannya atau aku tidak siap kehilangan sosok Anjani lagi? Dia mampu menghidupkan kembali Anjani dalam sosok berbeda dan aku suka.
Bedanya Anara sangat menyukai petualangan alam berkebalikan dengan Anjani, dia bisa menghabiskan waktu seharian di mal untuk sekedar jalan-jalan, makan, atau cuci mata. Jika ditanya sebenarnya siapa yang ku ingini? Aku tak tahu. Anara sangat membuatku nyaman dengan pembawaannya, tetapi bayangan Anjani belum mau pergi sepenuhnya.
Cerita ini hanya kusimpan rapat dengan Bryan. Sahabat masa SMA yang masih bersama hingga di kota rantau ini.
...----------------...
Lamunanku buyar ketika Bryan masuk ke kamarku memberi tau agenda rapat panitia Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa) sore nanti. Ya, dia tinggal satu tempat denganku, tepatnya di rumah yang dibelikan orang tuaku ini.
Kukirim pesan WA kepada Anara yang rencananya akan pergi ke Jogja. Jogja?? Menyebutnya saja hatiku seperti tertusuk.
Kamu jadi ke Jogja hari ini? Ditemani Hartik, kan?
Tak butuh menunggu lama, perempuanku itu sudah membalas WA yang kukirim. Aku yakin bukan karena dia sangat mencintaiku, tapi begitulah Anara tak akan membiarkan orang lain menunggu. Orang lain? aku tersenyum getir menyerna pikiranku sendiri.
Jadi, ini aku sama Hartik sudah di depan gang kos-an, nunggu angkot.
Akhirnya aku inisiatif untuk mengantarnya ke terminal sebagai pelunasan rasa bersalahku yang tak bisa menemaninya. Atau aku tak akan pernah menemaninya ke kota yang begitu ia gilai itu? ahh, Anara kenapa harus Jogja?
Apa aku anter ke terminalnya? Daripada nunggu angkot kelamaan nanti bete lagi.
Boleh :)
Pesan singkat darinya berhasil mengukir sesungging senyum dibibirku. Ingin rasanya menemani dia jika bukan Jogja tujuannya. Seakan Tuhan berpihak padaku. Dia limpahkan acara untuk menahanku di Malang, ada sebuah sebab yang bisa kukatakan pada Anara kenapa aku tak menemaninya.
Kulajukan mobilku menuju tempat Anara menunggu. Aku tak sabar sangat tak sabar bertemu dengan dia. Terakhir kulihat matanya yang teduh itu sepulangnya dari susur pantai Malang selatan dua hari yang lalu. Perempuanku ini sungguh luar biasa, mandiri dan punya banyak mimpi.
Sekitar 15 menit menerobos macetnya Kota Malang. Mataku menemukannya di pinggir jalan bersama Hartik. Kuhentikan mobilku di depan keduanya dan wajahnya menyambut ketika kaca mobil kubuka. Seperti biasa, Anara terlihat menarik dengan style dan riasan sederhana. Sesaat kemudian kami sudah bertiga dan melaju ke terminal Landungsari.
...----------------...
Setibanya di Landungsari, Hartik sudah lebih dulu turun dan kami berdua masih di dalam mobil. Kugenggam erat tangan perempuanku ini, aku hanya takut kehilangan untuk kedua kalinya. Tapi, berbeda dengan Anara, dia begitu yakin untuk pergi mewujudkan satu dari sekian mimpinya. Kekhawatiranku sepertinya begitu kentara. Dia membalas genggamanku dan meyakinkanku bahwa dia akan baik-baik saja.
"Aku akan baik-baik saja. Percayalah!" Kata itu keluar dari bibirnya dan berhasil sedikit menenangkanku, sedikit saja.
"Aku percaya, selalu kasih kabar padaku!" Tanganku sudah berpindah pada ujung kepalanya dan ingin rasanya kuterkam kekasihku ini sekarang juga sebelum kalimat selanjutnya membuatku sedikit kesal.
"Iya sayang. Sebelum tahun baru aku sudah balik ke Malang. Kamu kayak aku mau pergi setahun aja". Terdengar biasa tapi aku malas saja karena dia meledek kekhawatiranku.
"Ya harus! sebelum tahun baru kamu memang sudah harus di Malang. Mau ngapain di sana lama-lama? Apa harus dijemput?"
Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku, sedikit menyesal tapi saat fokusku kembali Anara sudah turun dari mobil. "Candra, baik-baik ya selama aku nggak di sini!"
Seperti biasa aku akan merapalkan kalimat wajib ketika kami berpisah, "hati-hati selama jauh dan..."
"Dan jangan macam-macam, selalu kasih kabar, jaga mata, jaga hati, jaga semuuuua. Begitu kan?" Belum selesai aku merapalkannya, Anara lebih dulu menyahut dengan sedikit kesal.
Melihatnya terlihat dongkol, aku segera turun menghampiri tempat berdirinya "dan ingat ada aku di sini." Tanganku menunjuk tepat dimana jantungnya berdetak. Dia masih diam dan kutarik tubuhnya ke dalam dekapanku sampai suara deham dari Hartik memaksaku melepaskannya.
Ku pandangi perempuanku yang berlari kecil masuk ke terminal sambil melambaikan tangan. Sampai ia luput dari pandanganku baru aku masuk mobil dan memacu mobilku meninggalkan terminal.
...----------------...
Langit mulai menyirami buminya dengan butiran air hujan. Anara pasti menyukai momen ini, dia selalu berseri-seri ketika hujan turun. Hujan itu romantis, tanda cinta sang langit kepada bumi. Oleh karena hujan yang diberikan langit, bumi mampu menghidupi. Aku setuju dengan kalimat yang dia katakan. Lalu, akankah aku yang masih terkenang masa lalu pahit ini bisa menghujani hatinya untuk menciptakan kehidupan baru? Aah Anara.
Jarum jam menunjuk di angka satu, rapat panitia Pemilwa masih dua jam lagi. Kuraih ponselku dan dengan lihai tanganku sudah melanglang ke dunia maya, pada sosial media milik Anara. Ada satu potret yang dia unggah berlatar pantai dan kuyakini gambar itu diambil ketika Anara ikut susur pantai weekend kemarin. Kesekian kalinya sisi lain dariku mengatakan bahwa Anara seperti reinkarnasi Anjani, cinta pertamaku.
...----------------...
Aku terbangun ketika hujan sudah reda, dari balik jendela terlihat sedikit sisa hujan yang meninggalkan aroma tanah basah. Kulihat ponselku dan tak ada tanda Anara berkirim pesan. Sudah sampai mana dia? baik-baik sajakah dia?
Kutancap gas mobil ketika hari menunjukkan pukul 14.45. Kupikir 15 menit cukup untuk sampai ke kampus. Di jok sebelah Bryan sedang sibuk dengan berkas Pemilwa. Tak lama setelahnya, pandangannya beralih dari kertas-kertas itu dan berpindah padaku.
"Gimana? masih belum ingin jujur ke Anara?" Sama sekali tidak kaget, sudah sering dia menanyaiku dengan kalimat serupa. Melihatku masih tanpa reaksi, dia kembali menyerang "kalau dia tau dari orang lain, baru pusing deh lu."
"Dia nggak akan tau kalau bukan lu yang cerita. Siapa lagi?"
"Ya lu pikir aja, suatu hari pasti Anara datang ke rumah, dengan sengaja mungkin lu masukin dia ke kamar, dia bakalan tau di sana ada gambar serupa dia tapi saat itu juga, dia akan sadar kalau itu perempuan lain. Lagian itu foto mau berapa lama lagi lu simpan, Ndra?"
Benar saja yang Bryan bilang. Apa harus kubuang begitu saja kenangan tentang Anjani? Kepalaku terasa ingin pecah memikirkan dua perempuan dalam hidupku ini.
Bryan masih berceramah dan bisa ditebak aku sudah hafal dengan isi ceramahnya, bahkan susunan katanya pun sudah di luar kepala saking seringnya ia mengulang nasihat itu hampir setiap hari.
"Akan kuceritakan sendiri jika waktunya te-pat." Sengaja kutekan pada kata terakhir. Sebenarnya aku sendiri juga capek dengan keadaan ini, lebih-lebih kupingku hampir keriting setiap hari dikorek oleh sialan Bryan ini.
Harusnya dari awal kuputuskan untuk meminta Anara menjadi bagian kisah percintaanku aku sudah jujur dan terbuka untuk hal satu ini. Sekarangpun mungkin belum terlambat untuk menceritakan semua. Tapi lagi-lagi hati kecilku bertanya apakah aku siap dengan kemungkinan yang terjadi? Bagaimana jika Anara tidak bisa menerima? Atau lebih parahnya bagaimana jika ia pergi meninggalkanku?
...----------------...
Mobilku sudah terparkir di depan gedung A. Kuambil langkah cepat disusul Bryan di belakang. Benar saja anak yang lain sudah berkumpul di ruang 1. Rapat berjalan dengan lancar dan sesaat aku bisa menyisihkan pikiran mengenai Anara.
Tepat pukul 17.00 WIB rapat selesai. Kubuka ponsel dan kulakukan panggilan pada Anara. Sudah sampai mana dia? kenapa belum juga kasih kabar? Teleponku juga tak diangkat. Tak menyerah sekali lagi kuulangi, kali ini ada suara dari sana.
"Kenapa baru angkat?" Apa dia bertemu lelaki tampan di dalam bus hingga tak berkabar.
"Ponselku mode silent. Baru sadar kalau ada telepon." Santai sekali dia menjawab. Tidak tau yang disini khawatir. Katakanlah aku berlebihan, tapi urusan dia memang aku terlalu posesif. Kuakui itu.
"Kamu sampai mana?" Sungguh aku terdengar lebih galak kali ini.
"Solo." Baguuus Anara, satu katamu itu membuatku semakin menjadi-jadi. Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya teratur demi menguasai diri sendiri.
"Tadi sudah makan?" Kuturunkan nada bicaraku. Aku tak mau dia semakin seenaknya dalam menjawab kekhawatiran pacarnya ini.
"Sudah bapaaak, di Madiun tadi, makan nasi bungkus, minum air mineral. Dan satu lagi, sebelum kau bertanya, kuberi tau tak ada lelaki tampan yang menarik perhatianku di bus ini. Jadi, berhenti menerorku." Menggelikan sekali. Pasti bibirnya mengerucut di akhir kalimat.
"Syukurlah jika kamu tidak tertarik dengan lelaki lain. Haha." Sungguh semakin bersemangat menggodanya.
"Candra... Aku kayaknya turun Solo dulu deh. Soalnya sudah malem, capek ternyata setengah hari di bus. Kasihan Hartik juga." Si Hartik habis teler, begitu pikirku. Kasihan sekali pacarku ini, pasti kewalahan ngurusin anak orang.
"Terus bobo dimana sayang?"
"Ada teman SMA-ku yang kuliah di Solo kok. Nanti aku nginep di sana." Mana bisa dia menerima kata tidak. Dia itu bukan izin Candra, tapi ngasih tau aja. Aku mengingatkan diri sendiri. Lagi pula kasihan juga kalau dipaksa sampai Jogja, pasti capek. Perempuan kalau capek mood-nya berantakan, bisa lebih menakutkan dari setan mana sekalipun.
"Iya sayang, boleh. Tapi hati-hati. Selalu kasih kabar!" Kali ini aku tak akan merapalkan kalimat wajib seperti biasanya. Bisa-bisa Anara tak mengangkat panggilanku selama di Jogja.
"Iya, aku akan kasih kabar."
"Selalu pastikan ponsel menyala!" Kali ini aku lebih serius. Aku hanya tak ingin dia keasyikan di sana dan lupa kalau di sini ada yang khawatir setengah mati.
"Pasti. Kututup ya? Sudah mau sampai."
"Iya, hati-hati."
Tut.. tut.. tut.. Sambungan terputus tanpa salam apalagi suara kecupan. Aku bersumpah akan men-training-nya jadi lebih agresif sepulangnya dari Jogja. Setan dalam diriku riuh tepuk tangan.
"Pulang atau kita lanjut ngopi?" Suara yang tak asing bagiku, Bryan. Sejak kapan dia di sampingku?
"Ngopi mulu, udah kayak cethe lu." Aku berlalu begitu saja dari Bryan dan tentu dia akan mengekoriku. Ga mood, itu yang sedang kurasakan. Mendadak kebiasaan perempuan ini singgah padaku.
...----------------...
Dinginnya Kota Malang sehabis diguyur hujan masih kalah dingin dengan hatiku yang ditinggal kekasih backpacker-an. Kata-kata seperti itu sangat pas dengan keadaanku ini. Menyesal tak kuiyakan ajakan ngopi dari Bryan, setidaknya aku tak akan sekalut ini, sekarang manusianya sudah hilang entah kemana?
Pesan WA yang kukirim pada Anara dari tiga jam yang lalu belum juga menunjukkan tanda dibaca. Last seen pukul 18.10 WIB dan sekarang jarum jam sudah bertengger di angka 10 kurang seperempat. Kemana saja dia? Ditelepon nggak diangkat-angkat pula. Memang sesuai janjinya ponsel akan tetap nyala, tapi berkabar pun tidak. Lalu apa bedanya? Kurutuki diriku sendiri kenapa kuiyakan saja ketika dia bilang akan ke Jogja.
Lagian, kenapa dia harus jatuh hati pada Jogja? Sampai harus menulisnya di dream book segala. Apa istimewanya? Kenapa baru sekarang dia kesana? Kenapa baru di semester lima? Seketika tanda tanya besar muncul di kepalaku, kenapa baru sekarang?
...----------------...
Kuusap-usap penglihatanku yang belum berfungsi sepenuhnya ini. Tak terasa aku tertidur karena sibuk menerka sebenarnya untuk apa kekasihku itu bertandang ke Jogja?
Berusaha melihat jam dinding, pukul 02.00 dini hari dan ingatanku kembali ke Anara. Kulihat ponsel, 6 pesan WA dan 2 panggilan tak terjawab dari Anara. Satu pesan WA dari Bryan.
Gue nggak pulang. Jangan nungguin gue!
Kemana lagi ini anak? Bukan sekali dua kali nggak pulang. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan dan benar saja pintu belum dikunci. Sejenak netraku menelanjangi halaman depan rumah dan menuju ke pagar. Terkunci, itu yang kudapati. Lalu kuputuskan masuk kembali karena hawa malam ini luar biasa dingin.
Kubuka kembali ponselku dan mulai membaca pesan dari perempuanku.
Ponselku ketinggalan di tempat temenku sayang. Ini aku baru pulang.
Kulihat pesan itu dikirim pukul 11 lebih. Kemana saja dia pergi hingga selarut ini? Tak bisakah ia mengabariku melalui ponsel Hartik? Mataku fokus pada pesan selanjutnya.
Candra..
Tadi ponsel Hartik mati karena low batt.
Dia seperti sudah antisipasi pada pertanyaan-pertanyaan yang akan kuajukan. Selang setengah jam dari ketiga pesan sebelumnya. Kembali Anara mengirim pesan WA.
Maaf ya. Kamu sudah tidur?
Selamat istirahat 😘
Kuusap mataku yang sebenarnya sudah berfungsi kembali. Kupastikan aku tak salah lihat, ada emoticon cium di sana. Bisa genit juga ternyata, begitu pikirku. Tanpa kusadari aku sudah senyum-senyum sendiri di pagi buta. Baiklah Anara, kusambut suka cita kemajuanmu ini.
Ingin saat itu juga kubalas pesan darinya. Tapi, mendadak ide jail menghampiriku. Biar kubalas siang saja pesan darinya. Aku ingin melihat bagaimana reaksinya jika bangun masih tanpa balasan dariku? seenaknya pergi happy happy tanpa mikirin pacarnya ini.
"Anara, Anara, Anara." Kugelengkan ringan kepalaku, selalu mengukir senyum mengingatnya. Sungguh aku jatuh hati padanya. Sesaat senyumku luntur ketika mataku berhenti pada gambar Anjani.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Ricky Pangestu
Jahat nya cm JD pelarian... klw ketawan baru tau rasa...
2022-09-07
0
Sweetie
Lanjutkan kak...👍👍
2021-07-18
0
Deassy Nassandra
Tanda baca
penulisan dialog amann..
2021-05-08
2