Belajarlah menerima keadaan sesulit apa pun. Bisa saja, yang kamu anggap buruk. Justru yang terbaik menurut Allah.
💜💜💜💜
Rinai hujan masih engga pergi. Waktu telah menunjukkan pukul 21.00. Alina dan Adnan duduk diam berdua di antara kerumunan orang yang juga sama berteduh.
"Lo siapa sih?" Pertanyaan itu terdengar geli di telinga Adnan. Mungkin Alina adalah gadis yang tak mengenali dirinya.
"Aku hanya lelaki biasa." Adnan menjawab santai.
"Gue tau lo itu cowok. Maksud gue, kenapa kita selalu ketemu terus belakangan ini."
"Takdir."
Alina melirik sekilas ke arah Adnan. Lelaki yang sepertinya tak terpaut jauh usianya dengan dirinya. Memakai kaos berkerah V memperlihatkan lengannya yang berotot dipadukan dengan celana jeans hitam panjang.
Wajah Adnan yang putih dan bersih. Menambah ketampanan yang bisa membuat para kaum hawa berteriak histeris. Jantung Alina bekerja lebih keras tak biasa. Sorot mata Adnan yang teduh menghipnotis dirinya untuk tunduk tak berdaya.
Hening. Adnan tak banyak berbicara. Entah apa yang ia lakukan sekarang? Logikanya ia bisa saja pergi, karena ia mengendarai mobil dan bisa menembus hujan. Namun, kenyataannya berbeda. Ada dorongan kuat untuk menahan dirinya di sini. Bersama seorang wanita yang terus terlibat rentetan kejadian beberapa hari ke belakang.
20 menit berlalu, hujan benar-benar pergi. Menyisakan genangan air di jalanan. Alina bangkit dari tempat duduk, meraih coklat yang diberikan Adnan.
"Makasih buat coklatnya." Alina berjalan beberapa langkah mendekati motor. Berusaha menghidupkannya, akan tetapi kendaraan itu tak mau bekerja sama.
"Mau lo apaan sih!" kesal Alina setelah beberapa kali tak berhasil. Keadaan sekitar mulai sepi.
Orang-orang yang tadi berteduh satu per satu pergi melanjutkan perjalanannya. Tinggallah Adnan dan Alina berdua. Adnan yang melihat akan hal itu mendekat dan mencoba membantu.
"Mogok sepertinya," ujar Adnan.
"Sialan!" Alina menendang motornya, kesal.
"Jangan berkata seperti itu. Kamu wanita, lebih lembutlah sedikit."
Adnan melirik arloji di tangan. Malam semakin larut. Tak baik rasanya, jika seorang gadis berjalan sendirian. Ia dengan ramah menawarkan Alina untuk mengantarnya.
"Makasih. Gue engga butuh bantuan lo," jawab Alina.
Adnan menatap Alina lekat-lekat. Berjalan beberapa langkah ke depan. Sehingga, membuat Alina mundur sedikit ke belakang.
"Jangan salahkan aku, jika terjadi sesuatu. Kamu tau, daerah sini rawan. Banyak kejadian pemerkosaan dan tak menyenangkan lainnya," imbuh Adnan. Matanya menyorot gadis itu dengan tatapan dingin dan tajam. Alina baru melihatnya hari ini.
Setelah mengatakan itu, Adnan masuk ke mobil. Lalu, meluncur meninggalkan Alina sendirian. Dua menit selanjutnya, minimarket tutup. Keadaan sekitar semakin sepi dan mencekam. Alina masih terus bergelut dengan motor, berusah semampunya.
Tak ada hasil, semua telah dicoba. Alina berjongkok sambil menyesali keputusannya menolak niat baik Adnan. Meski begitu, ia tak menangis. Tetap tampak kuat menyembunyikan kerapuhan hatinya.
"Sudah malam. Ayo, pulang." Adnan tiba-tiha berdiri di hadapan Alina. Hatinya tak tenang saat pergi dari tempat ini dan meninggalkan gadis keras kepala itu sendirian.
Cinta? Mungkinkah? Sepertinya bukan. Adnan tak pernah jatuh cinta lagi setelah memutuskan menutup hati saat melepas Zahra dulu.
Kepala Alina mendongkak ke atas. Memperhatikan Adnan dengan sorot mata berbinar-binar. Lega, itu yang Alina rasakan. Lelaki ini kembali, meski ia sendiri tak tahu tujuan dan alasannya.
"Aku menyuruh saudaraku membawa montir untuk memperbaiki motormu. Sekarang, berdiri dan masuk ke mobil," kata Adnan.
Alina masih diam. Matanya tak ingin sedetikpun kehilangan netra Adnan. Membuat kesabaran Adnan teruji.
"Jangan salahkan aku menyentuhmu, kalau dalam dua menit kamu masih tidak mau berdiri!" Intonasi bicara Adnan mulai sedikit meninggi.
Layaknya anak kecil yang tengah dimarahi, Alina menurut. Ia benar-benar masuk ke mobil berwarna biru muda dan duduk di jok depan.
"Dia keras kepala," gumam Adnan.
Adnan menyusul, lalu melajukan kendaraannya kembali. Alina yang biasanya jutek, tampak duduk tenang. Adnan menanyakan di mana rumah gadis itu.
"Di perumahan Cendera," ujar Alina singkat.
Perumahaan itu salah satu perumahan elit di kota ini. Adnan menebak, jika Alina adalah salah satu anak orang terpandang. Mungkin.
Jalanan licin sehabis hujan. Dengan hati-hati Adnan mengemudikan mobil. Ia tak ingin membawa celaka anak gadis orang lain. Terlebih, mereka tak saling kenal betul.
Kehadiran Alina beberapa hari ini mengusik pikiran Adnan. Ada yang tak beres dari pancaran matanya. Gadis tomboy tersebut bahkan melupakan janjinya untuk berjilbab. Ini mungkin bukan urusan Adnan. Namun, jiwanya seolah tak ingin tinggal diam. Padahal jelas-jelas ia baru bertemu dengannya belakangan ini.
"Kamu masih tidak mau menunaikan janjimu?" tanya Adnan di sela-sela tangannya menyetir.
Alina menoleh ke samping. "Janji?"
Sekilas Adnan melirik ke arah Alina. Merasa geram, bahwa gadis itu mempermainkan sebuah nadzar.
"Apa kamu pura-pura amnesia soal kejadian di lift tiga hari lalu?" Adnan kembali mengajukan pertanyaan yang mampu membuat gadis di sampingnya membeku.
"Nadzar itu janji dan sama saja dengan hutang. Apa kamu tidak malu punya hutang, tapi tidak membayar?" Adnan seolah memojokkan gadis itu.
"Tunggu! Maksud lo, gue orang yang ingkar janji gitu!"
"Tepat."
"Hei, lelaki gila. Gue engga tau lo itu siapa, tapi Gue engga pernah seumur hidup namanya lupain janji!"
"Buktinya, kamu masih seperti ini."
Skakmat. Alina dibuat tak berkutik. Gadis itu hanya bisa mengepalkan tangan di bawah jok. Adnan benar-benar lelaki yang mampu membuat lawan bicaranya tak bisa lagi bergerak.
"Aku bukan type orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Tapi, aku juga membenci orang yang ingkar akan janji," ungkap Adnan.
Tak ada lagi perbincangan. Alina diam, lelah berdebat terus menerus. Jalan pulang ke rumahnya terasa lama dan panjang malam ini. Entah Adnan yang lambat mengendarai mobilnya, atau karena perasaan kesal pada keadaan sekarang yang membuat Alina merasa demikian.
Lima menit selanjutnya, mobil Adnan berhenti tepat di sebuah rumah megah sesuai alamat yang Alina sebutkan. Sedangkan, gadis itu belum menyadari, ia masih menatap lurus ke depan.
"Kamu mau ikut aku pulang?" Adnan menyunggingkan senyuman. "Cepat turun! Sudah sampai."
Mendengar kata sampai, Alina seketika sadar. Ia membuka pintu mobil dan keluar. Tak ingin dikatakan tidak punya etika, meski hati kesal. Alina mengucapkan terima kasih. Adnan menyambut ungkapan tersebut. Alina hendak berbalik, akan tetapi pergerakannya terhenti karena Adnan.
"Tunggu!" Adnan keluar dari mobil. Di tangannya ada tiga buah coklat yang tak sengaja Alina tinggalkan.
"Ini." Adnan memberikan coklat tersebut. "Maaf, aku kasar padamu tadi. Aku hanya tak suka dengan orang yang mempermainkan janji."
Alina meraih coklat tersebut. Merasakan sebuah energi positif dari tangan Adnan yang tak sedikitpun bersentuhan dengannya.
"Tepatilah! Sesungguhnya hijab itu kewajiban bagi seorang muslimah. Baik buruknya akhlak seorang wanita, tetaplah menggunakan hijab itu wajib. Karena hijab dan akhlak adalah dua komponen yang berbeda. Tidak bisa disamakan," sambung Adnan.
...****************...
BERSAMBUNG~~
Maaf, telat up. Molor dari jadwal biasanya🙏
Jangan lupa like, comen dan vote🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ma Selly
wah bisa bisa bikin cewe meleleh
2023-12-13
0
Happyy
😚😚
2021-06-07
0
Dilah Mutezz
adnan nyindirnya halusss bngettt smpe nyesss ke hatiii
2021-06-06
0