Jangan berpikir kamulah yang paling menderita. Di dunia ini semua orang memiliki kesakitannya masing-masing
💙💙💙💙
Alina menghapus jejak air mata di netranya. Ia keluar kamar hendak pergi menenangkan diri. Dengan memakai celana jeans robek juga baju kaos berlengan pendek, ia melangkah menuruni anak tangga.
Dari lantai bawah suara gelak tawa Bu Sinta terdengar renyah. Hati wanita itu seolah menggambarkan kesenangan. Alina mempercepat langkah dan melewati Papanya juga Bu Sinta. Hal itu menimbulkan kemarahan Pak Willy.
"Mau ke mana kamu?" tanyanya pada Pak Willy.
"Keluar." Alina menjawab tanpa menatap.
"Emang gini, ya, cara anak ngomong sama orang tua. Dulu Mamamu engga pernah ngajarin sopan santun?" Pak Willy bangkit dari tempat duduk.
"Orang tua seperti apa dulu?" Alina bertanya balik sembari menghadap ke Papanya. "Orang tua yang sering nyiksa anaknya? Yang lebih percaya orang baru yang jelas-jelas mengintai harta."
Mata Bu Sinta membulat. Tangannya mengepal mendengar perkataan Alina yang bagai penghinaan untuk dirinya.
Bu Sinta ikut berdiri, mengelus dada Pak Willy lembut. "Sudahlah, Mas. Namanya juga anak-anak."
"Kamu mau jadi apa? Hah!" Pandangan Pak Willy tampak bertambah buas.
"Kuliah engga lulus. Kerjaan cuman bikin kue yang engga jelas. Penampilan kayak cowok. Gimana masa depan kamu? Teman seangkatanmu sudah nikah semua. Kamu masih diam di tempat!" sambung Pak Willy.
Alina memandangi mata lelaki berusia 50 tahun itu. Dulu, sinarnya hangat dan menenangkan. Namun, sekarang tak lagi. Hanya gambaran emosi dan kekesalan yang selalu terpancar dari netra tersebut.
"Engga usah ngurusin Alina, Pa." Suara lembut itu terlontar setelah beberapa tahun hilang. "Perihal masa depan. Semua sudah di atur Allah. Bukankah bagi Papa Alina hanya benalu?"
Setelah mengatakan itu, Alina kembali melanjutkan langkahnya keluar rumah. Menyisakan hati Pak Willy yang serasa tertampar, sedangkan Bu Sinta semakin kesal. Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di pikiran.
Bu Sinta mengajak suaminya duduk di sopa kembali. "Pah, gimana kalau Alina kita nikahkan saja?"
Satu saran dari istrinya mampu membuat Pak Willy menoleh ke arah Bu Sinta. Wanita yang ia nikahi setelah istrinya koma dua tahun. Rasa kesepian yang terus mengusik diri, menuntut dirinya membutuhkan seorang pendamping. Bu Sinta adalah sahabat dari istri pertamanya. Jadi ia pikir, wanita ini akan mengurus Alina dengan baik seperti anaknya sendiri.
"Dinikahkan? Dengan siapa?" Pak Willy bertanya.
"Gimana kalau sama Om Heri. Dia lagi kesepian sama kayak Papa dulu. Istrinya yang sekarang engga bisa mengurusnya dengan baik. Jadi, dia cari pendamping lain."
Pak Willy tersentak. Sekejamnya dirinya, ia tak mungkin merelakan Alina menjadi madu untuk seorang lelaki tua. Terlebih, orang yang di maksud istrinya itu adalah pria yang berusia 48 tahun.
"Mama jangan ngaco. Heri itu beda dua tahun aja sama Papa," protes Pak Willy.
"Terus mau sama siapa, Pa? Lelaki lajang mana yang mau nerima cewek urakan kayak Alina. Sebejat-bejatnya laki-laki, mereka juga pasti cari calon istri yang baik. Bukan yang susah di atur dan engga jelas pergaulannya."
Sepasang suami istri itu melanjutkan pembicaraannya. Merancang masa depan yang menurut mereka baik untuk Alina. Tanpa perduli tanggapan gadis itu nanti.
💙💙💙
Pukul 20.00 malam, Alina tengah duduk sendirian di bangku taman kota. Keramaian sekitar tak membuatnya terusik sedikitpun. Kepalanya mendongkak ke atas, menatap angkasa yang tampak cerah malam ini dengan sorotan sinar bulan yang menenangkan jiwa.
"Bulannya cantik," puji Alina.
Hampir 10 menit Alina duduk diam tanpa berkata. Setelah merasa tenang, ia segera pergi dengan motor kesayangannya. Saat melewati sebuah minimarket, perutnya terasa lapar. Mungkin beberapa cemilan bisa mengganjal sedikit.
Alina membelokkan kendaraan roda dua-nya ke parkiran. Ia turun, lalu mendorong pintu minimarket dan masuk. Coklat, satu item yang diincar matanya. Sejak kecil, Mamanya selalu memberikan ia sebuah coklat saat hatinya terluka.
Dua buah coklat berukuran besar ia ambil dari rak, kemudian mengantri di kasir hendak membayar. Tibalah gilirannya, ia menyimpan dua coklat tadi di meja kasir.
"25.000," ujar kasir setelah menghitung kedua coklat tadi.
Alina merogoh saku celana belakang, mengambil satu lembar uang berwarna biru dan menyodorkannya. Tepat di sampingnya seorang anak kecil yang bersama seorang wanit paruh baya melihat ke arah Alina, tepatnya ke arah coklat yang sudah terbungkus kantong berlogo minimarket tersebut.
"Kamu mau?" tanya Alina.
Anak itu mengangguk.
"Ini." Alina memberikan kedua coklat tadi. "Nanti, Kakak bisa beli lagi."
Wanita paruh baya yang bersama anak kecil tadi menolak. Ia tak ingin merepotkan orang lain. Memang benar anaknya sudah lama menginginkan coklat tersebut. Harga yang menurutnya mahal membuat ia belum bisa membelikan.
"Engga apa-apa, Bu. Saya bisa beli lagi." Tersenyum manis ke arah kedua orang itu.
"Alhamdulillah. Makasih, Nak," ucap sang wanita paruh baya.
Pada akhirnya Alina kembali membeli coklat yang sama. Namun, satu batang saja. Uang yang ia bawa hanyalah selembar. Ia lupa membawa dompet saat keluar.
Tiba-tiba hujan datang tanpa diundang. Alina terjebak di depan minimarket. Tak mungkin baginya menerobos rinai hujan sebesar ini.
"Aku tunggu di sini aja," ujarnya.
Ada tiga kursi dan satu meja yang disediakan pemilik minimarket di depan. Alina duduk di bangku salah satunya sembari menikmati coklat tadi. Hujan turun semakin lebat, seolah membawa dirinya ke dunia yang berbeda.
Dua menit selanjutnya tangan seseorang yang kekar dan berotot memberikan tiga batang coklat berukuran besar ke hadapannya. Sontak Alina menoleh ke samping. Mata mereka bertemu. Lelaki itu diam dengan muka datar.
"Ambil ini," ujar Adnan --lelaki yang memberikan Alina coklat.
"Kamu suka coklat kan?" tanyanya lagi.
Alina terhipnotis dengan mata dan suara lembut Ardan. Bayang-bayang kejadian di lift tiga hari lalu menari-nari di mata. Mengingatkan dirinya akan suatu janji yang membuat bahu Alina bergetar hebat menahan tangis.
Adnan menyimpan tiga coklat tersebut di meja. Ia duduk di bangku sebelah, tatapannya lurus ke depan.
"Ternyata kamu masih sama seperti terakhir bertemu," kata Adnan.
Alina mengerjai, menarik dirinya dari dunia khayal. Ia kembali menatap hujan.
"Kenapa gue ketemu lo terus sih!" ketus Alina. "Apa dunia ini segitu sempitnya? Sampai Allah merancang pertemuan demi pertemuan lo sama Gue."
Adnan menyunggingkan sebuah senyuman. Pemuda tampan itu tak sengaja melihat kedatangan Alina ke minimarket. Dan menyaksikan apa yang Alina lakukan pada anak kecil tadi.
"Rencana Allah itu lebih indah. Kamu bisa saja menginginkan A. Tapi, jika Allah berkehendak B. Kamu bisa apa? Hanya sabar dan menerima dengan ikhlaslah penyelesaiannya," imbuh Adnan tenang.
Suara lembut itu lagi-lagi menenangkan sanubari Alina. Setiap bersama Adnan ada kenyamanan tersendiri yang ia rasakan. Mengapa begitu? Ia pun tak tahu.
...****************...
Bersambung~~
Jangan lupa like, coment dan vote😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ma Selly
awal awalnya sering ketemu ,nanti lama lama jadi rindu/Drool//Drool/
2023-12-13
0
Happyy
💏💏💏
2021-06-07
0
Suharnik
Semoga ada jodoh Alina dn Adnan👍👍👍
2021-05-14
0