Bertemu dengan seseorang di masa lalu bisa jadi menimbulkan dua rasa, antara bahagia atau terluka.
💗💗💗
"6 tahun?" Alina bangkit, lalu Adnan membantu mendirikan motor gede-nya. Suasana jalanan tak begitu ramai, sehingga tidak banyak pengendara yang lewat. "Lo ngigau apa, ya?"
"Tidak."
Gadis manis itu menepuk-nepuk baju kaos pendek sepinggang yang dikenakan. Ia tak ingin aspal yang kotor itu meninggalkan bekas di pakaiannya.
"Udah ah, lo kalau gila jangan bawa-bawa orang." Alina bersiap menaiki kembali motornya.
"Anak Mami." Seketika mulut Adnan mengucapkan nama julukan yang ia dapat dari gadis tersebut kala itu. "Masih inget dengan kata anak mami?"
Dahi Alina berkerut. "Semuanya juga anak mami. Emang kalau bukan anak mami, mau anak apa? Anak gajah juga dibilang anak maminya."
Alin berdecak kesal. Hari ini perasaannya bukan hanya terluka, akan tetapi juga merasakan kekesalan. Dengan cepat ia mengendarai kuda besi tersebut meninggalkan Adnan.
"Dasar cowok aneh. Bukannya minta maaf, malah ngajak nostalgiaan," omel Alina di atas motor.
Sementara Adnan masih diam di tempat memandangi Alina yang kian menjauh. Ingatannya tak salah, gadis itu benar orang yang sama. Dia sama sekali tak berubah, masih bar-bar seperti yang dulu.
"Astaghfirullah, sudah Asyar. Pasti bunda nunggu." Bergegas kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan.
Dengan kecepatan sedang, Adnan mengarahkan kendaraannya ke jalan perumahan elit Samudra no 39. Di sanalah rumah baru yang ia beli untuk orang tua dan dirinya tinggali. Sedangkan rumah lama Papanya dijual saat masa krisis dulu.
Sesampainya di depan gerbang, seorang satpam membukakan pintu. Adnan menurunkan kaca mobil sambil berkata, "As-alamu'alaikum. Terima kasih, Mang."
"Wa'alaikum salam. Sama-sama, Den Adnan."
Mang Juned, lelaki berusia 40 tahun yang Adnan pekerjakan sebagai satpam. Ia mendapatinya di tengah jalan tengah melamun sendiri. Kala itu, Mang Juned yang hanya lulusan SD berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup bersama istri. Tak ada anak ataupun saudara, mereka tinggal berdua di kota yang kejam ini.
Kini, Mang Juned beserta istri tinggal di rumah Adnan. Mereka di fasilitasi makan, minum, tempat tinggal, pakaian tanpa memotong uang gaji bulanan.
Mobil Adnan masuk ke perkarangan rumah, berhenti tepat di depan pintu. Lelaki berusia 28 tahun itu keluar dari mobil dan masuk ke rumah.
"As-alamu'alaikum," ujarnya pelan sembari melangkah.
"Wa'alaikum salam." Lisa tampak duduk diam di sopa. "Udah pulang, Nak?"
Adnan menghampiri, mencium telapak tangan bundanya. "Maaf, telat, Bun."
Lisa menggeleng.
"Tadi ketemu cewek bar-bar yang dulu."
"Bar-bar?" Alis Lisa terangkat sebelah.
"Yang waktu itu dijadiin bahan leluconan sama paman." Adnan jadi teringat tentang Egi. Lelaki itu sudah memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan berusia 5 tahun.
"Oh ... yang itu. Ya, Bunda baru ingat." Menatap lekat anaknya. "Ketemu di mana?"
"Di jalanan lagi, Bunda," imbuh Adnan. "Udah Asyar, aku engga sempat ke Masjid. Bunda tunggu sebentar, ya. Aku sholat dulu."
Lisa mengurai senyum, mengusap beberapa kali punggung anaknya. "Iya, Nak."
Adnan membalas senyum, lalu melangkah menuju tangga untuk bisa sampai ke kamar. Dengan cepat ia mengerjakan salat Asyar, akan tetapi tetap khusyu dan tenang. Tak lupa seutas doa ia panjatkan, karena doalah adalah senjata orang muslim.
Tepat pukul 16.00, Adnan dan Lisa meluncur ke salah satu rumah sakit. Sudah beberapa hari ini bundanya mengeluh sakit pinggang. Dan Adnan tak ingin sang bunda kesakitan, ia dengan sigap mengantar orang yang telah mengandungnya itu ke dokter.
10 menit selanjutnya, tibalah mobil Adnan di parkiran rumah sakit Salahudin. Salah satu rumah sakit terbesar dan terlengkap di kota tersebut. Seperti pasien lainnya, Adnan dan Lisa mengantre. Tak peduli jabatan ataupun status sosial. Bagi mereka di tempat umum semuanya sama.
Duduk menunggu di depan ruangan dokter spesialis tulang(ortopedia). Adnan sembari bercerita perihal kejadian tadi. Sesekali orang yang bersama mereka mencuri pandangan pada keduanya.
"Jadi tadi kalian ketemu lagi?" tanya Lisa dengan wajah sumringah. "Bunda penasaran pengen lihat wajahnya."
"Dia gadis biasa kok, Bun. Hanya saja ... penampilannya mirip cowok."
"Benarkah? Ternyata gadis seperti itu yang bisa bikin hati anak Mami ini melunak," goda Lisa.
"Enggalah, Bun. Dia bukan type-ku." Tersenyum manis.
Lisa menggenggam erat tangan Adnan. "Nak, siapapun istrimu nanti. Bagaimanapun dia, kamu harus bisa menerimanya. Ingat, menikah itu bukan mencari kesamaan. Justru, perbedaan itu yang akan membuat irama tersendiri di rumah tangga. Asalkan keduanya bisa mengolah menjadi nada yang indah."
"In syaa Allah, Bunda."
Lima detik kemudian seorang perawat memanggil nama Lisa. Adnan yang tiba-tiba merasakan ingin buang air kecil meminta izin untuk tak ikut ke dalam.
"Bunda bisa sendiri kok."
Setelah memastikan bundanya masuk, Adnan bergegas mencari toilet. Tak kunjung ditemukan, akhirnya ia terpaksa turun ke lantai bawah. Ruangan dokter itu berada di lantai dua, dengan begitu Adnan harus menaiki lift.
Hajat sudah selesai terbuang. Adnan segera kembali menuju lantai dua. Ia tengah menunggu giliran naik ke atas, tak berapa lama suara lift terbuka. Empat orang keluar dan Adnan masuk sendiri. Tak di sangka seorang gadis sama yang hari ini ia lihat dua kali ikut naik. Keduanya tersentak, mengapa takdir mempertemukan mereka beberapa kali hari ini?
Tak ada yang lain, pintu lift tertutup. Baru hendak naik, tiba-tiba lift kembali ke semula. Adnan yang merasakan keganjalan segera memencet tombol, akan tetapi pintu lift tak terbuka.
"Macet," tutur Adnan hendak memberi tahu Alina. Keadaan di dalam lift pun gelap karena mati lampu.
Adnan segera mencari tombol darurat, dan meminta bantuan pada teknisi gedung. Posisi Alina di pojok kiri, ia tertunduk lesu dengan tubuh bergetar sambil berjongkok. Keadaan sekitar yang gelap mengingatkannya pada hal yang menakutkan. Rasa kesakitan di tubuh mulai menyerang, seakan bayangan masa lalu yang kejam mengitari pikiran.
"Tolong, jangan siksa aku lagi," gumamnya.
Adnan yang tengah berdiri mendengar akan hal itu, ia segera merogoh saku mencari gawai. Dengan bantuan lampu ponsel, Adnan bisa melihat remang-remang ke arah Alina. Gadis itu ketakutan sambil memohon untuk tak di siksa kembali.
Dahi Adnan berkerut. Mungkinkah gadis ini takut kegelapan? Seorang gadis bar-bar seperti dia. Adnan berjongkok tepat di hadapan Alina. Mengarahkan lampu senter ke wajah gadis itu.
"Tenanglah, ada aku di sini. Jangan takut, tidak akan ada yang menyiksamu," imbuh Ardan lembut.
Tubuh Alina bergetar hebat. Adnan tak berani merangkul, karena pada dasarnya mereka bukan muhrim. Semenit kemudian, Alina mendongkakkan kepala. Tatapan mereka bertemu lagi di remang-remang cahaya. Ada kesejukan di pancaran netra Adnan. Hangat dan nyaman, itu yang Alina rasakan.
"Aku berjanji akan memakai hijab dan menutup aurat semana mestinya ... jika bisa keluar dari tempat menakutkan ini secepatnya."
...****************...
BERSAMBUNG~~
Jangan lupa like, coment dan vote😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Dwi setya Iriana
janji beneran apa janji karena kepepet lift macet alina,hayo hayo hayo
2021-09-06
0
Happyy
😍😍
2021-06-07
0
Suharnik
Semangat Alina untuk hijrah d jalan kebenaran, mantapkn hati d jalan Allah👍👍👍👍💪💪💪💪
2021-05-14
0