"Saya Rama! Rama Gilang Pradana. Putra dari pemilik resto ini!"
Ellana tersenyum kikuk. Ia benar-benar tidak menyangka jika lelaki yang berdiri di hadapannya ini adalah putra dari pemilik resto ini. "Aaahhh... Aku benar-benar minta maaf. Aku kira, kamu adalah lelaki tidak jelas yang sering mengganggu para pengunjung di sini!"
"Lalu bagaimana? Apakah saat ini Mbak bisa segera mengganti rugi atas kerusakan bunga teratai dan matinya beberapa ekor ikan koi yang berada di kolam?"
Ellana menggeleng. "Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengganti kerugian di kolam itu. Karena itu semua bukan kesalahanku!"
"Tetapi Mbak sendiri yang sudah mendorong wanita itu hingga ia tercebur di kolam. Bagaimanapun juga ini semua adalah kesalahan Mbak. Jadi saya rasa, saya sudah berada di jalur yang tepat untuk meminta ganti rugi dari Mbak!"
Ellana berdecih. "Kamu minta saja sama wanita jal*ng itu. Jika dia tidak menusukku dari belakang, aku pasti tidak akan sampai mendorong dia ke kolam. Bunga teratai itu tidak rusak, dan pastinya ikan-ikan koi yang berada di sana tidak akan mati. Jadi ini semua adalah kesalahan wanita jal*ang itu!"
"T-tapi...."
"Sudahlah. Saat ini aku sedang malas berdebat. Energiku benar-benar telah terkuras habis untuk melawan wanita ular itu!" Ellana terlihat sedikit mengatur nafasnya. Ia kemudian melanjutkan ucapannya. "Namun jika kamu bersikeras untuk meminta ganti rugi, baiklah aku akan mengganti semua kerugiannya. Tetapi jangan sekarang. Saat ini aku benar-benar sedang tidak ingin memikirkan apapun, oke?"
Rama menghela nafas panjang kemudian ia hembuskan. Ia sadar bahwa mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas ikan koi dan bunga teratai yang ada di kolam. Karena bagaimanapun juga wanita yang ada di hadapannya ini tengah mengalami patah hati. Sehingga membuatnya enggan untuk memikirkan hal lainnya.
"Baiklah kalau begitu, Mbak. Saya tidak akan pernah menuntut lagi kapan Mbak harus mengganti kerugian itu. Sekiranya Mbak sudah tidak berada di dalam keadaan seperti ini, silakan Mbak datang kembali ke sini untuk mengganti semua kerugian ini."
Rama membalikkan badannya. Ia bermaksud meninggalkan Ellana yang masih dipenuhi oleh kekecewaan yang begitu dalam. Ia mulai melangkahkan kakinya untuk kembali ke ruangannya.
"Tunggu!"
Ucapan Ellana sontak membuat Rama menghentikan langkah kakinya seketika. Ia pun kembali berbalik badan. "Ya?"
Ellana membuka tas nya dan mengeluarkan secarik kertas. Ia nampak menuliskan sesuatu di atas kertas itu.
"Ini, ambillah!"
Rama sedikit mengernyitkan dahi tatkala melihat Ellana mengulurkan secarik kertas di hadapannya. "Apa ini?"
"Itu nama dan juga nomor ponselku. Barangkali aku lupa jika aku memiliki hutang untuk mengganti rugi atas kerusakan bunga teratai dan matinya ikan koi di kolam itu. Jika sampai seperti itu, kamu bisa langsung menghubungiku."
Rama melirik ke arah tulisan yang ada di dalam secarik kertas itu. Ia pun hanya sedikit menyunggingkan senyumnya. "Baiklah mbak Ellana. Jika sampai empat hari ke depan Anda tidak datang kesini, saya akan langsung menghubungi nomor ponsel ini!"
Ellana mengangguk. Ia kembali membenamkan wajahnya di sela lipatan lengan tangannya. Dadanya kembali terasa sesak dan bulir-bulir bening dari pelupuk matanya juga mulai menetes satu persatu. Ia menangis sesenggukan seperti menandakan jika rasa sakit yang saat ini ia rasakan begitu menusuk jantungnya.
Rama hanya bisa menatap wanita yang tengah terluka itu dengan tatapan iba sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia dapat menyimpulkan jika wanita ini begitu mencintai kekasihnya yang sudah berselingkuh di belakangnya. Rama mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Ellana. Namun tak selang lama, ia kembali berdiri di depan meja yang dipakai oleh Ellana untuk membenamkan semua kesedihannya.
"Aku rasa Mbak memerlukan ini. Pakailah!"
Ellana mengangkat sedikit kepalanya. Terlihat, di depan matanya ada satu boks besar tisu wajah. "A-aku tidak memerlukan ini!"
Rama terkekeh pelan. "Meskipun tidak memerlukan, saya rasa tidak masalah jika Mbak memakainya. Setidaknya tisu ini bisa menjadi langkah preventif agar meja ini tidak berubah menjadi aliran sungai yang tengah banjir karena banyaknya air mata Mbak yang telah keluar!"
Mendengar perkataan Rama, sudut bibir Ellana sedikit tertarik ke atas sehingga melengkungkan sebuah senyum simpul yang terlihat begitu manis. Bagi Ellana, ucapan lelaki di depannya ini tidak memiliki kualitas humor yang tinggi bahkan rasanya terdengar garing. Namun entah mengapa, ia tidak bisa untuk tidak tersenyum tatkala mendengarkannya.
"Jika sampai ruangan ini banjir karena air mataku, apakah akan semakin besar ganti rugi yang harus aku tanggung?"
Rama hanya mengendikkan bahu sembari tersenyum simpul. "Entahlah. Namun sebelum diterjang oleh banjir, saya rasa, saya perlu membawakan ember plastik untuk bisa menampung air mata Mbak-nya. Dengan begitu kita bisa sama-sama mencegah banjir!"
Senyum tipis yang sempat tersungging di bibir Ellana, kini berubah menjadi kekehan kecil. Ia tertawa pelan sembari mengatur nafasnya yang masih tiada beraturan. "Bisakah kita berbicara biasa saja, dan tidak terlalu formal? Panggil aku El dan tidak perlu memakai embel-embel 'mbak', karena sepertinya kita ini seumuran."
Rama terlihat berpikir sejenak, tak lama setelahnya ia mengangguk. "Baiklah kalau begitu El. Apakah kamu menginginkan sesuatu untuk di makan?"
Ellana menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih. Rasa-rasanya perutku sudah kenyang karena sebuah penghianatan yang dilakukan oleh kekasih dan sahabatku!"
Rama mengangguk-anggukkan kepalanya. "Namun sepertinya kamu harus makan, El!"
"Mengapa begitu?"
"Karena berpura-pura tegar menghadapi perselingkuhan pasangan kita itu, juga membutuhkan banyak energi!"
Ellana terperangah mendengar perkataan Rama. Bibirnya sedikit mencebik. Tidak menyangka jika Rama menjadikan apa yang saat ini ia alami, sebagai bahan untuk bercanda. "Aku tidak berpura-pura, aku memang kuat menghadapi perselingkuhan mereka. Lagipula untuk apa aku berpura-pura tegar, jika kenyataannya aku memang tegar!"
Rama terkekeh geli melihat ekspresi wajah wanita muda yang ada di depannya ini. Entah apa yang terjadi, ia merasa ada sesuatu yang terasa begitu asing menggelayuti hatinya. "Jika kamu memang tegar, bukankah tidak seharusnya kamu mengeluarkan air mata sebanyak ini?"
Hati Ellana sedikit tercubit. Benar apa yang dikatakan oleh lelaki di depannya ini. Jika ia benar-benar tegar, seharusnya ia tidak sampai menangis seperti ini. Ellana menghela nafas panjang kemudian perlahan ia hembuskan. "A-aku bukan menangisi lelaki breng*ek itu. Yang aku tangisi adalah rencana pernikahan kami yang sudah dipersiapkan begitu matang, kini harus luluh lantak dalam waktu sekejap seperti ini."
Rama semakin paham dengan apa yang dialami oleh wanita di depannya ini. Mungkin memang benar saat ini yang ia tangisi bukanlah lelaki yang telah mengkhianatinya namun lebih cenderung kepada hubungan baik antar kedua pihak keluarga yang akan berakhir begitu saja.
"Baiklah kalau begitu. Aku tawarkan sekali lagi. Apakah kamu memerlukan sesuatu untuk dimakan? Barangkali bisa untuk menambah energi dalam tubuhmu, sehingga kamu bisa semakin tegar?"
Ellana berdecih. "Iissshhh... Apakah seperti ini cara kamu memaksa pelanggan di resto ini untuk mencicipi hidangan yang ada di sini?"
Rama tergelak. "Tidak keliru bukan? Jika mereka datang kesini hanya untuk sekedar menumpang menumpahkan air mata dan beradu mulut dengan lawannya hingga membuat kerusakan, bukankah aku akan rugi banyak? Jadi aku rasa tidak salah jika aku menawarkan menu yang ada di sini kepadamu!"
Ellana terperangah. Mendengar ucapan lelaki di hadapannya ini sungguh membuatnya merasa semakin pusing. Ia pun hanya bisa memijit-mijit pelipisnya. "Baiklah, berikan untukku hidangan yang paling lezat dan paling mahal di sini. Akan aku buktikan jika aku di sini tidak hanya menumpang menangis dan membuat kerusakan!"
Rama terkikik geli. Wanita itu terlihat semakin kesal namun wajahnya justru terlihat semakin menggemaskan. Sama seperti kedua adik perempuannya jika sedang merajuk, Raina dan Raisa.
Rama mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Ellana. Ia menghampiri salah satu waiters yang ada di dapur dan memintanya untuk menyajikan salah satu menu favorit di resto ini untuk Ellana. Ia pun kembali masuk ke dalam ruangan khusus yang ia gunakan untuk berkutat dengan aktivitas ketika berada di resto ini.
Tak selang lama, menu ayam goreng kalasan dengan sambal matah dan satu gelas es tipis (timun jeruk nipis) tersaji di meja Ellana. Tak lupa seporsi cah kangkung juga tersaji di sana.
"Selamat menikmati, Nona!"
Ellana mengangguk. "Terimakasih!"
Ellana membasuh tangannya di wastafel yang letaknya tidak jauh dari tempat ia duduk. Setelah itu, perlahan ia mulai memakan menu-menu yang ada di hadapannya ini. Suapan pertama, ia masih tidak merasakan apapun. Namun setelah suapan kedua, ketiga dan seterusnya ia mulai merasakan sesuatu di makanan ini. Rasa makanan ini sama persis dengan apa yang pernah dimasak oleh sang mama untuknya.
Tetiba rasa rindu kepada keluarganya terasa begitu membuncah di dadanya. Hingga satu bulir kristal bening itu kembali menetes dari sudut matanya. "Mama, Papa, Al... El rindu kalian semua. El rindu Jogja!"
Ellana mencoba acuh dengan rasa rindu kepada keluarganya yang tiba-tiba ia rasakan. Ia pun kembali melahap semua makanan yang ada di hadapannya ini hingga tandas tanpa bekas. Setelah itu, ia beranjak dan bermaksud untuk bersegera pulang.
"Jadi semuanya berapa Mbak?"
Ellana mengeluarkan dompet dari dalam tasnya sembari berdiri di depan meja kasir.
Kasir itu tersenyum simpul. "Mbak Ellana ya?"
Ellana terperangah. Ia merasa bukan salah satu publik figur yang terkenal, tapi mengapa kasir resto ini mengenalnya? Tetiba wajah Ellana berubah pias. Ia khawatir jika apa yang telah terjadi di taman dan kolam koi tadi ada tangan-tangan iseng yang merekamnya. Setelah itu di share melalui sosial media hingga menjadikannya tranding topic.
"Mbak!"
Panggilan sang kasir membuat Ellana tersadar dari lamunannya. "Eh, iya Mbak. Saya Ellana!"
Kasir itu kembali tersenyum simpul. "Mbak Ellana tidak perlu membayar. Makanan yang tadi dihidangkan untuk mbak Ellana, semuanya geratis!"
Ellana semakin terperangah. "M-maksud Mbak, bagaimana?"
"Ini semua atas instruksi dari mas Rama, Mbak. Mas Rama menggeratiskan semua menu yang tersaji untuk mbak Ellana."
Mata Ellana membulat sempurna. "A-apa?"
"Iya Mbak." Kasir itu mengambil sesuatu dari dalam laci. Kemudian ia berikan kepada Ellana. "Ini ada titipan dari mas Rama untuk mbak Ellana!"
Dahi Ellana sedikit mengerut saat menerima secarik kertas dari kasir di depannya ini. Perlahan, ia mulai membaca tulisan yang ada di kertas itu.
Allah tidak akan memberikan sebuah cobaan di luar batas kesanggupan manusia. Jika saat ini Allah memberikan cobaan hidup seperti ini kepadamu, percayalah jika kamu adalah salah satu hamba Nya yang terpilih, yang bisa melewati itu semua dengan hati yang ikhlas. Apa-apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah. Dan apa-apa yang menurut kita buruk belum tentu buruk menurut Allah. Selalu percaya jika apa yang kita jalani adalah yang terbaik menurut Allah pastinya akan selalu mengantarkan kita kepada kebahagiaan yang hakiki.
.
.
. bersambung....
Salam love, love, love ❤️ ❤️❤️
🌹Tetaplah yakin setiap cerita yang ditulis sepenuh hati, akan mendapatkan tempat di hati masing-masing para pembaca🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Riska Wulandari
ketemu jodoh nih..
2022-12-21
0
Dede Ruri Purdiawati
baru mampir nih, kyknya menarik
2022-07-10
0
Satriawanty Meitridwi Irwansyah
hay hay..rasty kesayangan..aku udah mampir di story RAMA n ELANA nih.. tetangga sebelah udah kelar ya😊😊 meskipun terlambat akan aku tuntaskan semua karya mu🥰🥰
2021-12-14
2