Di pagi hari yang cerah ini, Kala sedang asyik memandikan mobilnya di halaman rumah. Ia bersenandung mengikuti alunan lagu barat yang ia putar di ponselnya.
Tak lama kemudian, suara lagu itu berubah menjadi nada dering telepon. Kala segera mencuci tangannya dan mengangkat panggilan tersebut. Dahinya berkerut, ia heran saat membaca nama adiknya yang tertera di notifikasi panggilan itu. Ia pun mengangkat panggilan itu. "Halo ... kenapa?" tanya Kala.
"...."
"Ya udah, Kakak ke atas sekarang." Setelah panggilannya terputus, ia langsung masuk ke dalam rumah, kamar Jovi-lah yang menjadi tujuannya.
Jovi membukakan pintu setelah Kala memberikan tiga kali ketukan pada daun pintu yang terbuat dari kayu itu.
"Kenapa?" tanya Kala. Ia melihat sang adik baik-baik saja, berbeda dengan apa yang dikatakan adiknya di telepon tadi.
"Di seprai ada darahnya, Kak ... darah apa, ya? dari mana? Aku takut kalau aku sakit. Jangan dibilangin ke papi atau mami ya, Kak ... Jovi nggak mau dibawa ke rumah sakit," papar Jovi.
Kala melihat ke arah ranjang, memang ada bercak merah di sana. Ia memutar tubuh sang Adik, lalu melihat ke arah yang ia duga. Kemudian, ia menghadapkan tubuh Adiknya ke arahnya. Kala menangkup kedua bahu Jovi. Ia berkata, "Dengerin Kakak, ya ... Jovi udah gede sekarang, Jovi udah m*nstruasi, itu artinya Jovi nggak boleh kaya anak kecil lagi. Jadi gadis jangan polos-polos banget ya, Vi ... nanti kamu dimainin sama buaya di luaran sana. Kalau orang tua ngomong itu di dengerin, kalau Kakak kasih nasihat juga di dengerin, jangan ngebantah!"
Jovi menganggukkan kepalanya. "Terus ini gimana, Kak?" tanya Jovi.
"Seprainya nanti diganti. Sekarang kamu mandi, Kakak beliin pembalut dulu buat kamu." Kala sudah bisa melakukan hal itu untuk maminya.
"Sama es krim, ya! Stok di rumah udah habis."
"Kalau lagi menstruasi nggak boleh kebanyakan makan es atau minum es," ujar Kala. Dia tau, pasalnya begitulah kebiasaan maminya jika sedang menstruasi.
Jovi mencebikkan bibirnya. "Ya udah, deh ...."
...***...
Pagi ini Jovi membuat kerusuhan di dalam kamar Kala. "Kakakkk! Bangunnn!" teriak Jovi. Namun, ia tidak mendapatkan respons dari si pemilik kamar. Jovi memukuli Kala dengan bantal guling. "Kakak, nanti aku telat, ayo anterin ke sekolah!"
"Sama papi aja," lirih Kala. Nyawanya belum terkumpul karena matanya masih terpejam.
"Makanya aku bangunin Kakak karena aku udah ditinggal sama papi."
"Bodo amat, ah ...," acuh Kala. Ia menaikkan selimutnya hingga menutupi kepala.
"Ya udah, nggak usah sekolah!" Jovi keluar dari kamar Kala dan membanting pintu kayu itu dengan keras.
"Kala!" seru sang Mami. Sepertinya maminya ada di lantai bawah.
Setelah mencuci wajahnya, ia keluar dari kamar dan menghampiri kamar Jovi. Ia membuka pintu yang tidak terkunci itu. "Ayo, Kakak anterin!" tawar Kala. Tidak tega rasanya melihat mata sembab milik adiknya. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa gadis manja itu tengah menangis, pasalnya walaupun Jovi itu manja tapi dia tidak pernah memperlihatkan kesedihannya di hadapan orang lain karena ia malu.
"Nggak usah! Gue mau tidur aja. Lo keluar sana!" ketus Jovi. Lo-gue? What? Adiknya benar-benar marah kali ini.
"Ayo!" Kala menarik pergelangan tangan Jovi.
Sesampainya di garasi, Kala menyerahkan helm kepada Jovi. Ia berkata, "Pakai motor aja biar nggak telat, ini udah siang."
***
Sesampainya di depan gerbang sekolah, banyak mata yang memandang ke arah keduanya. Pengguna celana pendek warna hitam dan kaos putih polos menjadi incaran mata kaum hawa yang melihatnya seperti seakan-akan matanya hendak keluar dari kelopaknya.
"Kenapa pada ngelihat ke sini?" gumam Kala.
Jovi yang mendengar gumaman Kala pun langsung menyahut. "Karena pakaian lo kaya gembel," ketus Jovi.
"Udah dianterin juga, masih aja marah-marah, udah nggak PMS, kan?" tanya Kala.
Jovi tidak menjawabnya, ia langsung menyerahkan helm yang tadi ia pakai kepada Kala.
Saat Jovi hendak pergi, Kala menarik lengan Adiknya. "Salim dulu! Nggak sopan main pergi kaya gitu," peringat Kala.
Setelah itu, ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang yang bergambar presiden pertama Indonesia. "Nih, buat jajan, traktir temennya juga kalau cukup." Kala menyerahkan uang itu kepada Jovi.
"Terima kasih. Aku masuk dulu, Kak, Assalamu'alaikum ...." Jovi berjalan masuk ke dalam gerbang sekolahnya setelah mengecup punggung tangan sang Kakak. Ya, dia sudah tidak marah, sikapnya langsung berubah menjadi sopan kepada sang Kakak.
***
Saat istirahat, Jovi memutuskan untuk pergi ke kantin bersama teman-temannya.
"Tadi lo berangkat sama siapa, Vi?" tanya Rita.
"Iya, Vi ... siapa tuh?" timpal Dela.
"Cowok gue," kilah Jovi.
"Emang lo punya cowok?" celetuk Merin. Ya, Merin adalah satu-satunya sahabat Jovi. Kenapa? Karena Jovi tidak ingin memiliki sahabat yang kecentilan atau sok cantik yang berniat untuk mengambil hati kakaknya, dan beruntungnya Merin bukanlah tipe gadis yang seperti itu.
Jovi menjadi kikuk sendiri, rupanya sahabatnya ini tidak bisa diajak kompromi di saat-saat mendesak seperti ini.
"Nah, loh! Ngibul kan, lo?" selidik Rita.
"Mau dia pacar gue kek, mau dia kakak gue kek, nggak ada urusannya sama lo," ketus Jovi.
"Kenalin dong, Vi ... ganteng tau ...," pinta Dela. Nah, kejadian ini membuktikan bahwa keputusan Jovi untuk tidak terlalu dekat dengan teman-temannya itu memang tepat.
"Iya dong, Vi ... jangan pelit dong ke kita," timpal Rita.
"Sampai bokap lo jadi kusir kuda juga nggak bakalan lo dikenalin sama kakaknya Jovi," ujar Merin.
"Lah, bokap gue supir pesawat, nggak bakalan jadi kusir kuda," balas Rita.
"Ya, siapa tau turun jabatan," celetuk Merin.
"Omongan lo, Mer ... kaya wasabi," sindir Dela.
"Mingkem, lo pada! Gue traktir hari ini, jangan ngebac*t terus!" tegas Jovi. Mode bar-barnya keluar.
***
Setelah mendengar seruan dari sang mami, kedua saudara berbeda gender itu keluar dari kamarnya masing-masing dan menyusul kedua orang tuanya di meja makan.
Sekian menit telah berlalu, hanya tersisa tulang belulang ayam di atas piring mereka masing-masing—pertanda acara makan malam telah usai.
Tisha melihat putrinya hendak beranjak meninggalkan meja makan. "Mau kemana, Cantiknya Mami?" tanya Tisha.
"PR, Mi. Waduh ... nggak bisa diganggu gugat," kilah Jovi.
"Sekarang drakor jadi mata pelajaran di sekolah kamu, ya?" sindir Kala.
"Pakai kurikulum tahun berapa itu?" timpal Erik.
"Siapa yang nge-drakor sih? Orang ngisi PR beneran."
"Beli cemilan ke mini market sekarang juga, mau?" tanya Erik.
"Ya maulah," jawab Jovi—mantap.
"PR-nya, gimana?" tanya Erik.
Jovi menjadi kikuk, trik Papinya sangatlah ajaib untuk membongkar kedoknya.
"Cuci piring dulu ya, Cantik!" titah Tisha.
"Imbalannya apa?" tanya Jovi.
"Emangnya Mami minta imbalan waktu ngelahirin kamu?" sindir Kala. Pertanyaannya sungguh membuat sang Adik menjadi kalah telak.
Bersambung ....
...Merin (sahabat Jovi)...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Regina
kalian ngrasa gk kaya gw
gk terlalu suka ma visual indo padahal aku orang indo
apa bosen yah liat dilayar kaca
2021-06-04
0
Nani Evan
novelmu bagus thor alur'ny kaya beneran yang di alami di dunia nyata
2021-06-03
0
Nani Evan
merin'ny cantik
2021-06-03
0