Hari ini hanya ada satu mata kuliah saja, dan itupun telah berakhir sejak lima belas menit yang lalu. Kini, Kala sedang memakai sepatunya selepas menunaikan ibadah shalat Dzuhur di masjid kampusnya. Tak sengaja saat Kala menengok ke sisi sebelah kanannya, ia menemukan pemandangan indah di radius tujuh meter dari tempatnya memakai sepatu. Ya, seorang gadis berkulit putih dengan geraian rambut hitam panjangnya yang melambai-lambai terkena hembusan angin, rupanya gadis itu juga sedang memakai sepatunya, sepertinya ia juga usai shalat. Kala kembali fokus dengan sepatunya. Setelah itu, ia berdiri hendak beranjak menuju kantin, tapi sebelumnya ia menyadari bahwa gadis itu sudah tidak ada di tempat yang tadi. Ia melangkahkan kakinya menuju kantin.
Sesampainya Kala di kantin, ia tidak mendapati bangku kosong di sana, semuanya berpenghuni. Lagi-lagi ia mengedarkan pandangannya untuk mencari bangku kosong di sana, pandangannya berhenti pada empat bangku yang saling berhadapan, tapi hanya memiliki satu penghuni saja di sana. Kala melangkahkan kakinya ke sana, ia cuek saja, toh tujuannya hanya untuk mengisi perut, bukan untuk macam-macam.
"Permisi, boleh duduk di sini?" izin Kala—sopan.
Gadis itu mengalihkan atensinya dari ponsel ke seseorang yang sedang berada di hadapannya. "Oh, iya, Kak," jawab gadis itu.
Wait, itukan gadis yang tadi ia jumpai di masjid, pikir Kala.
Cukup lama mereka saling diam sembari menunggu pesanannya datang.
Tiba-tiba, datanglah salah seorang kawan Kala. "Woiii! Mojok aja lo di sini," tukas kawan Kala. Orang itu menepuk bahu Kala.
"Gue kira udah pulang lo. Gue lapar, sini ikut makan!" ajak Kala.
Orang itu pun duduk di samping Kala, sedangkan gadis yang tadi duduk di hadapan mereka.
"Siapa nih? Kenalin dong," pinta kawan Kala.
Kala terkekeh pelan. "Gue aja nggak kenal," jawabnya—enteng.
"Lah, ajaib amat lo?" celetuk kawan Kala. Kini atensinya beralih pada gadis yang berada di hadapan Kala. "Hai ... kenalin, gue Bimo Sakti. Nama lo siapa?" ucap Bimo—kawan Kala. Ia mengulurkan tangannya ke hadapan gadis itu.
"Gladis, Kak ...," jawab Gladis. Ia menerima uluran tangan Bimo.
Bimo menyenggol lengan Kala sebagai kode 'jangan terlalu cuek!'.
"Kenalin, gue Lucio Nisacala, panggil aja Kala," ucap Kala. Ia mengulurkan tangannya.
Gladis menerima uluran tangan Kala. "Gladis, Kak ...."
"Lo dari prodi apa?" tanya Bimo.
"Ekonomi Pembangunan semester tiga," jawab Gladis, "Kakak sendiri?" lanjutnya.
"Kami dari Prodi Teknik Sipil semester tujuh," jawab Bimo.
"Hebat ya, Kak ... susah loh masuk ke prodi itu." Gladis tampak kagum dengan kedua pria yang berada di hadapannya.
"Biasa aja," ucap Kala.
"Sombong banget lo," balas Bimo.
"Bukannya sombong, semua orang sebenarnya bisa masuk ke jurusan favorit asalkan mereka mau belajar. Sekalipun mereka pasrah mau masuk ke jurusan yang paling gampang menurut mereka, tapi kalau mereka nggak belajar ya nggak bakalan bisa," jelas Kala. Rasional sekali pria tampan ini.
"Setuju sama pendapat, Kakak." Gladis melemparkan senyum manisnya ke arah Kala.
"Kenapa lo masuk ke prodi itu?" tanya Bimo.
"Karena aku suka sama pelajarannya, semua yang diawali dari hati pasti akan mudah dilakukan. Padahal aku nggak pengen jadi pengusaha, cita-cita aku jadi dosen, berhubungan aku suka banget sama pelajaran ekonomi jadi ambil prodi ini aja," papar Gladis.
"Kalau ada peluang lo jadi pengusaha, kenapa nggak jadi pengusaha aja? Masalah penghasilan sudah pasti jauh lebih besar penghasilan dari seorang pengusaha," pancing Kala.
"Kembali ke komitmen awal: apapun yang diawali dari hati pasti akan mudah dilakukan. Jugaan aku ini bukan orang kaya yang kalau mau jadi pengusaha udah ada yang modalin." Ia menjeda kalimatnya sambil terkekeh pelan. "Aku mau jadi dosen karena setiap ilmu yang aku kasih bisa jadi amal jariyah buat aku nanti." Wow, sungguh menarik pola pikir gadis ini.
Pesanan mereka datang, mereka menikmati santap siangnya masing-masing. Bimo pun ikut makan karena sebelumnya ia telah memesan menunya juga.
Lima belas menit berlalu, usai sudah acara makan siang mereka.
Kala memanggil pelayan kantin untuk membayar pesanan mereka tadi. "Semuanya berapa, Mba?" tanya Kala.
"Enam puluh ribu aja, Mas."
"Eh, aku bisa bayar sendiri, Kak," tolak Gladis.
Kala tak menanggapi gadis itu, ia menyerahkan uang pas kepada sang pelayan kantin.
"Ini, Kak ...." Gladis menyerahkan uang pecahan 20 ribu kepada Kala.
"Apa?" tanya Kala.
"Buat gantiin uang makanan aku," jawab Gladis.
"Nggak usah," jawab Kala.
"Pokoknya harus diterima, aku masih mampu kok bayar makananku sendiri," kukuh Gladis.
"Ya udah, deh, kalau lo maksa." Begitu enteng Kala mengucapkan; seolah tanpa beban; atau malah terkesan cuek; tidak ada usaha sama sekali untuk menolaknya.
"Eh, buset ... bokap lo kaya, kaya gitu aja lo terima. Dasar, kanebo kering!" umpat Bimo. Kala akan tampak seperti kanebo kering hanya ketika diawal saja karena jika sudah kenal, maka ia akan bersikap biasa saja seperti orang-orang pada umumnya.
"Lumayan buat jajan adik gue," jawab Kala.
"Ya udah, Kak ... aku pamit dulu," pamit Gladis.
"Maafin temen gue ya, Dis ... jangan kapok buat ketemu sama kita lagi," ucap Bimo. Ia merasa tidak enak hati.
"Iya, Kak," jawab Gladis. Ia pergi meninggalkan kedua pria tampan itu.
***
Saat di perjalanan pulang, Kala melihat ada seorang gadis yang sedang mendorong motornya. Ia menghentikan laju motornya tepat di samping gadis itu.
"Kenapa?" tanya Kala.
"Nggak tau, Kak ..., padahal bensinnya masih," jawabnya.
"Bengkel masih jauh. Naikin motornya, gue dorong di pijakan kaki bagian belakangnya," tawar Kala, "bisa, kan?"
"Bisa, Kak," jawabnya.
***
Sudah satu jam mereka menunggu di bengkel itu dengan saling terdiam, hanya sesekali Kala berbicara dengan si montir. Sebelumnya, gadis itu sudah menyuruh Kala untuk meninggalkannya saja, tapi jiwa kelelakian Kala sedang mode on: ia tidak mungkin meninggalkan gadis itu hanya dengan di temani oleh segerombolan pria tidak di kenal di bengkel ini.
Kala menatap ke arah gadis yang di tolongnya. "Kenapa kaya gelisah gitu?" tanya Kala.
"Ini masih lama ya, Kak?"
"Kayanya sih gitu."
"Ibu aku lagi sakit, Kak."
"Kenapa nggak ngomong dari tadi? Udah lo pulang aja bawa motor gue," titah Kala.
"Nggak apa-apa nih, Kak?"
"Hm." Kala merogoh saku celananya untuk mengambil kunci motornya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kala menyerahkannya kepada gadis itu.
Gadis itu pun menerimanya. "Boleh minta nomor Kakak? Biar besok gampang kalau mau tukar motornya," tanya gadis itu—sungkan.
Tiba-tiba ponsel Kala berdering. Baru saja mengangkatnya, Kala sudah mendapatkan omelan dengan kecepatan 130 kata per menit.
"Sorry, ada kendala. Kamu minta jemput papi aja, deh ...," nego Kala.
"...."
"Ya udah, pakai taksi online aja."
"...."
"Iya ... iya ... ntar Kakak yang gantiin uangnya."
Panggilan terputus. Begitulah kedua kakak beradik itu, jika salah satu di antara mereka ada yang sedang marah, maka mereka tidak akan menggunakan salam, sapa, sopan, dan santun.
"Bawa sini HP lo, gue catet nomor gue," pinta Kala.
"Aku ganggu Kakak, ya?"
"Nggak. Mana? Siniin HP lo!" pinta Kala.
Setelah Kala mencatat nomor ponselnya, ia kembalikan ponsel itu kepada si empunya.
"Udah aku miscalled ya, Kak."
"Hm," sahut Kala.
Gadis itu pergi menggunakan motor Kala.
Kala memandangi ponselnya, tertera satu nomor baru di riwayat panggilan tidak terjawab di sana. Jarinya bergerak untuk menyimpan nomor itu. 'Gladis', nama itu yang ia gunakan untuk menyimpan nomor baru tadi.
***
"Ya ampun, Kala!" Bimo terkejut saat membuka pintu rumahnya. Ia melihat Kala yang basah kuyup, hujan memang mengguyur ibu kota—sore ini. "Gue udah nunggu lo dari tadi, padahal tadi gue udah pulang ke apartemen gue dulu baru kesini, tapi malah gue duluan yang sampai."
Kala tidak menanggapi kawannya itu. "Jovi!" teriaknya.
Jovi menuruni tangga. "Kenapa sih teriak-teriak sega—" Jovi tidak menyelesaikan pertanyaannya, ia terbelalak melihat Kakaknya seperti anak ayam yang disiram air. "Hah!" Jovi terkejut.
"Ambilin handuk Kakak di kamar!" titah Kala.
Tak lama kemudian, Jovi sampai di hadapan Kala dengan selembar handuk di tangannya. "Mampus! Ini namanya azab seorang Kakak yang ngebiarin Adiknya nunggu, taunya nggak dijemput. Awas loh kalau sampai lantainya basah, pel sendiri!" ancam Jovi.
Tiba-tiba Tisha keluar dari dapur karena mendengar suara gaduh dari pintu utama. "Ya ampun, Kala ... kenapa masih di situ, ayo masuk! Buruan mandi!" titah sang Mami.
"Basah, Mi ...," ujar Kala.
"Nggak apa-apa, nanti Mami yang pel," ucap Tisha.
"Jovi, Mi, katanya dia yang mau ngepel," kilah Kala.
Jovi membelalakkan matanya. "Nanti Kakak kasih duit," bisik Kala.
***
Di ruang keluarga sudah ada Bimo sebagai penguasa channel televisi.
"Kak!" panggil Jovi, "bawa sini remote-nya!"
"Apaan dah lu, Bocil." Bimo mengangkat remote itu tinggi-tinggi.
"Gue udah gede! Kata kak Kala, gue udah gede."
"Apanya yang gede? Tepos semua gitu ...."
"Mamiii! Jovi dikatain tepos," adunya pada sang Mami.
Maminya datang membawa cemilan untuk menemani mereka berdua saat menonton televisi. "Udah gede, Vi! Malu, ah ... masa teriak-teriak melulu kaya anak kecil." Setelah meletakkan cemilan di hadapan Bimo dan Jovi, Tisha kembali ke dapur.
"Tontonan lo kaya yang iya-iya aja dah ...," keluh Jovi. Acara yang ditayangkan memang seputar pembangunan apartemen.
"Biar kalau gue bangun gedung tuh nggak roboh, Vi ... jadi, gue harus menambah wawasan gue."
"Di kampus kerjaan lo molor, ya?"
"Kok bisa ngomong gitu? Jangan-jangan itu pengalaman lo sendiri, ya?" goda Bimo.
"Gue siswi berprestasi, nggak level nebar air liur di dalam kelas," elak Jovi.
"Assalamu'alaikum ... I'm home!" seru Erik.
"Wa'alaikumussalam ... Papiii!" seru Jovi. Ia langsung memeluk Erik.
"Manja banget kaya anak koala," kata Erik. Ia menggendong Jovi seperti bayi koala.
"Bimo tuh, Pi, ngeselin," adu Jovi.
"Heh, mulutnya! Kalo manggil yang sopan!" tegur Erik.
"Itu di depan ada motor siapa, Bim?" tanya Erik.
"Nggak tau, Om. Tadi Kala yang bawa," jawab Bimo.
"Bukan motor Kakak, Pi?" tanya Jovi.
"Bukan," jawab Erik.
***
Makan malam telah usai, Jovi sedang mencuci piring, Tisha sedang membersihkan meja makan, sedangkan ketiga pria itu sedang menikmati dessert yang disediakan oleh Tisha.
"Kamu bawa motor siapa, Kal?" tanya Erik.
"Temen, Pi, tadi motor dia rusak mesinnya, terus Kala tolongin, tapi dia harus buru-buru pulang, jadi kita tukeran motor," jelas Kala.
"Temen kita yang mana, Kal?" tanya Bimo—penasaran.
"Gladis," jawab Kala.
Seketika Jovi mengehentikan gerakan mencucinya. "Kakak pacaran, ya?!" sahut Jovi.
"Emang kenapa?" tantang Kala.
"Papiii ...," rengek Jovi.
"Kenapa, Sayang?" balas Erik.
"Masa Kakak dibolehin pacaran," rengek Jovi.
"Emang itu beneran pacar kamu?" tanya Tisha.
"Bukan, Mi. Tanya aja sama Bimo kalau nggak percaya," jawab Kala.
"Baru kenal tadi, Tan," tutur Bimo.
"Emang kenapa sih kalau Kakak pacaran?" pancing Erik.
"Ya, aku juga ikutanlah," jawab Jovi.
Bersambung ....
...Bimo Sakti (sahabat Kala)...
...Gladis...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
suli sulimah
bgusn pke visual indonesia ajh... gk ush korea2 an.. kn crtnya awl jg asli indonesia
2021-05-01
0
Aruna Zahrani
bimo anak tian bkn sih? lupa jg aq nama anaknya tian hana
2021-04-10
0
(Hiat 3bln, nnti bck)
bimo anak dari Hana dan Tian kak?
2021-04-08
0