Esok hari sekitar pukul sepuluh pagi, Kahyru sudah bersiap untuk berangkat. Dua koper terisi penuh dengan barang-barang miliknya. Tas selempang dia sampirkan di pundaknya. Sepanjang perjalanan ditemani kedua orang tua angkatnya yang tidak berhenti menangis. Tangan sang ibu tetap melingkar di lengan Khayru. Sementara Tuan Zul yang duduk di depan bersama sopir, tak mengeluarkan suaranya. Diam-diam rahangnya mengeras karena menahan sedih yang mendalam.
“Mang Sodik, kita mampir sebentar ke sekolah Maula, ya. Saya ingin menemuinya dulu sebelum ke Bandara,” pinta Khayru.
“Baik, Tuan.”
Setelah tahu kedatangan Khayru, Maula bersikeras menolak untuk menemuinya. Dia berlari ke toilet untuk bersembunyi dan menangis di sana. Akhirnya, Khayru hanya menitipkan salam perpisahan melalui orang tuanya.
“Ru, papa berusaha keras untuk tidak menangisi kepergianmu, karena berharap suatu hari nanti kamu akan kembali, tapi saat ini papa tidak ingin lagi jadi penghalang kamu untuk bertemu ayah kandungmu sendiri, meski sebenarnya ini berat buat papa. Jagalah ayahmu, rawat dia sampai sembuh kembali. Sampaikan beribu maaf dari papa,” ucapnya sambil memeluk Khayru di pintu masuk bandara Soetta.
“Saat tiba di sana, seseorang akan menunggu di Bandara. Dia yang akan mengantarkanmu ke tempat tujuan. Setelah tiba di tempat ayahmu, tunjukkan benda ini.” Tuan Zul menyerahkan satu benda yang akan menjadi identitas Khayru yaitu sebuah gelang Yang dikenakannya waktu kecil.
“Khayru mengangguk. “Baik, Pa. Terima kasih banyak untuk semuanya. Iru gak akan lupa semua kebaikan kalian.”
Air mata yang sulit dibendung sejak kemarin siang, belum berhenti mengalir dari mata sayu milik seorang ibu. Dia tak sekuat suaminya saat melepas kepergian Khayru. Bahkan sejak itu, kesehatannya memburuk.
Setiap kali duduk di meja makan, tak ada makanan yang masuk ke mulutnya. Dia hanya memandangi kursi di hadapannya yang selalu kosong.
“Mama gak makan lagi?” tanya Maula sedikit kesal.
“Mama belum lapar, sayang.” Sang ibu tetap tersenyum.
“Mama pikir, anak Mama sama Papa itu cuma dia? Kenapa tidak pernah menganggap Maula di sini? Kenapa di pikiran kalian cuma ada anak adopsi yang tidak tahu terima kasih itu?”
“Maula! Tidak pantas kamu bicara seperti itu di depan orang tua! Mamamu sedang sakit, cobalah mengerti.” Bentakkan Tuan Zul membuat Maula semakin marah. Dia berlari ke kamarnya karena bosan dengan sikap orang tuanya yang terlalu menyayangi Khayru dibanding dirinya. Bahkan ketika orangnya sudah tidak berada di sini lagi.
“Maula! Tunggu mama, sayang.” Nyonya Maulida bangun dari kursinya tapi dia tiba-tiba terjatuh dan di bawa ke rumah sakit. Penyakit lambung yang di deritanya selama bertahun-tahun, semakin lama semakin kronis. Dia harus mendapatkan perawatan khusus di rumah sakit.”
“Ma, maafin Maula, ya, Ma. Mama harus cepat sembuh. Kita harus pulang secepatnya. Maula kesepian di rumah, Ma.”
“Di mana pun mama berada, selalu doain mama ya, sayang. Besok mama mau pulang. Tolong jangan marah lagi sama mama.”
“Enggak, Ma. Maula gak marah lagi sama Mama, Maula janji. Maula sayang sama Mama.” Gadis berusia sembilan tahun itu memeluk ibunya yang terbaring lemah di sebuah kamar rumah sakit.
Maula pulang ke rumah dengan hati yang sedikit terhibur. Paling tidak ibunya mengatakan bahwa dia akan pulang besok.
Sampai esok harinya, sepulang sekolah dia langsung menuju ke rumah sakit. Betapa senang dia akan pulang ke rumah bersama ibunya siang ini.
“Cuaca hari ini cerah sekali, ya, Non. Sama seperti wajah Non Maula. Lebih ceria dari biasanya,” ucap Mang Sodik ketika menghentikan mobil di parkiran rumah sakit.
“Iya, Mang, karena Mama mau pulang ke rumah hari ini. Nanti tolong teleponin Papa, ya, Mang, biar dia langsung ke sini.” Maula keluar dari mobilnya langsung menuju kamar tempat ibunya di rawat.
“Maamaa pulaang ... Maamaa pulaang ....” Dia bernyanyi riang sambil melompat-lompat menyusuri koridor rumah sakit, lalu membuka pintu setelah sampai di sana.
“Assalamualaikum, Mama, sayang.” Dia lihat ibunya belum bersiap-siap. Malah terlihat tidur dengan lelap. “Katanya mau pulang, ternyata masih bobo aja. Ya udah, aku tunggu sampai papa datang, deh,” ucapnya sambil duduk di samping tempat tidur.
Dia menyentuh tangan ibunya yang terasa dingin, lalu menyelimutinya. “Dingin sekali. Mama pasti butuh selimut yang banyak.” Maula menekan tombol yang terhubung ke petugas perawat untuk meminta tambahan selimut. Tak lama, perawat pun datang.
“Ade yang tadi minta selimut, ‘kan?”
“Iya suster, buat Mamaku. Kasian badannya dingin sekali.”
Suster segera mendekat untuk memeriksa keadaan Nyonya Maula yang tengah tertidur. Tiba-tiba dia nampak panik lalu memanggil dokter penanggung jawab. Dokter datang dengan cepat dan turut memeriksa. Tak lama dia menggelengkan kepala sambil menggigit bibirnya.
“Innalillahi wa innailaihi rooji’un.” Ditariknya selimut hingga menutupi bagian kepala dan seluruh tubuh Nyonya Maulida. “Catat waktu kematian lalu hubungi keluarga pasien,” ucap dokter pada sang perawat.
“Tidak! Jangan tutup wajah Mamaku! Dia akan sulit bernapas, nanti.” Maula menarik kembali selimut dan menciumi wajah ibunya yang mulai kaku. “Ma! Mama masih bisa bernapas kan, Ma. Mama bangun dulu, Ma. Kita pulang sekarang, Ma, ayo siap-siap dulu.”
Perawat coba menarik tubuh Maula. “Adek, ayo kita panggil Papa dulu di luar, yu, kakak temenin.”
Tak lama Tuan Zul datang tergesa-gesa setelah mendapat kabar dari pihak rumah sakit. “Ma! Mama!” Dia menciumi wajah sang istri yang pucat pasi.
“Pa, bangunin Mama, Pa. Kita pulang sekarang aja.”
Tuan Zul memeluk kepala anaknya yang nampak kebingungan. Air mata bagai hujan yang turun begitu deras.
“Papa kenapa nangis, Pa? Kenapa Mama gak mau bangun dari tadi?”
Sang ayah membawa anak perempuan itu ke dalam pangkuannya. “Mama sudah pulang duluan, sayang. Dia ingin istirahat dengan tenang di sisi Allah.”Tuan Zul menarik napasnya sambil menahan isakan tangis. Seorang istri yang selalu menemaninya dalam suka dan duka, kini telah berpulang.
“Ma! Mama ...! Maula ikut, Ma! Jangan tinggalin Maula.” Dia meronta dalam pangkuan sang ayah. Sementara jasad sang ibu dibawa untuk dimandikan dan dikafani.
Maula tak berhenti menangis memanggil ibunya.
“Jangan! Jangan dikubur, mamaku. Mama masih hidup. Mama gak mungkin ninggalin aku, Pa. Mama sudah janji pulang hari ini.”
“Iya, sayang, tapi Mama sudah pulang ke tempat lain yang lebih indah. Ikhlaskan Mama, karena masih ada papa di sini, kamu jangan takut.”
“Enggak! Maula mau Mama. Maula gak mau pisah sama Mama. Bawa Mama ke sini sekarang juga, Pa, cepat!”
Kyai Abdurrahman yang baru selesai mengurus pemakaman, datang membawa segelas air untuk Maula. “Minumkan air ini pada Maula, Pak Zul, supaya lebih tenang,” ucapnya.
Kyai Abdurrahman adalah seorang Murobbi² yang biasa dimintai nasihat oleh Tuan Zul sejak usianya masih muda. Dia selalu membantu Zul terutama dalam hal spiritual.
____________
Note :
²Murobbi adalah seorang syaikh, qiyadah (pemimpin), ustadz (guru), walid (orang tua) dan shohabah (sahabat) bagi mad'unya (binaannya).
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Dennoona
kebanyakan bawang thor....,
sampe pedih mata gue 😭😭😭
2023-07-24
0
Ami Usrekk
ya aloh episode ini mengandung bawang😭😭😭banyak bngt
2023-01-28
0
Jus Anggur
jangan bikin nangis Napa Thor 😭
2021-06-15
1