Beberapa hari kemudian, dokter sudah mengizinkan mereka pulang membawa bayi yang baru saja lahir. Lengkap sudah kebahagiaan dalam keluarga mereka.
Selain tangisnya yang keras, ternyata bayi perempuan itu sangat hyperaktif. Sejak dia lahir, Khayru-lah yang berperan membantu orang tuanya yang mulai menginjak usia senja, untuk sekedar mengajak main, menidurkan, membuatkan susu, memberinya makan, memandikan, memakaikan baju, bahkan mengganti popok.
Khayru tak pernah marah sekali pun tugas sekolahnya terganggu dengan kenakalan sang adik. Tak heran jika gadis kecil itu lebih penurut pada kakaknya.
___
Sembilan tahun kemudian, Maula tumbuh menjadi anak yang lincah dan selalu ceria. Untungnya, Khayru yang berusia lima belas tahun lebih tua, selalu bisa mengimbangi sikap adiknya yang kadang susah diatur.
Suatu hari, Tuan Zul duduk sendiri di tepi jendela. Cukup lama dia melamun seperti hari-hari sebelumnya. Nyonya Maulida menghampiri seraya menepuk pundaknya.
“Pa ....”
“I-iya ...!” Tuan Zul menoleh. Dia terkejut dengan kedatang istrinya yang tiba-tiba. “Sejak kapan Mama berdiri di belakang? Papa, kok, gak denger Mama masuk?”
“Papa melamun, makanya gak denger apa-apa.” Nyonya Maulida duduk di samping suaminya. “Mama yakin, ada sesuatu yang sedang Papa pikirkan belakangan ini. Mama mau tunggu sampai Papa cerita semuanya.”
Tuan Zul memutar badannya. Dia menatap lekat wajah sang istri. Betapa banyak hal yang membebani pikirannya saat ini. Dia tak mungkin menceritakan semua. Namun, ada satu hal yang menurutnya penting untuk diceritakan guna mendapat persetujuan dari istrinya.
“Anak-anak di mana, Ma?”
“Abang lagi nemenin adeknya belajar di kamar, Pa. Mama meninggalkan mereka supaya tidak mengganggu.”
“Papa mau bicara sama Mama. Tolong tutup dulu pintunya.”
Setelah menutup pintu kamar rapat-rapat, Nyonya Maulida kembali duduk. Hatinya mulai gelisah karena merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan apa yang akan dia dengar dari suaminya.
“Pa, mama, kok, merasa gak enak hati. Ada apa sebenarnya?”
Setelah menarik napasnya dalam-dalam, Tuan Zul meremas tangan istrinya yang tidak berhenti menatap curiga.
“Ma. Sejak kita bawa Khayru ke rumah ini, papa tidak pernah berhenti mencari orang tua kandungnya.”
“Bukannya kita sudah sepakat bahwa orang tua Khayru dinyatakan meninggal karena tidak pernah ditemukan keberadaannya, Pa? Kenapa tiba-tiba Papa mengungkitnya lagi.”
“Karena sesungguhnya ... yang meninggal itu hanya ibunya. Sementara ayahnya masih hidup, Ma. Maaf, Papa merahasiakan ini dari siapa pun selama ini. Papa memang salah, Ma.”
“Apa?!” Nyonya Maulida sedikit syok saat itu. “Jangan bilang jika Papa mau mengatakan sama mama bahwa ayahnya Khayru meminta anaknya kembali, Pa?” Dia tidak bisa membayangkan seberat apa kesedihan yang harus dia alami andai kata dugaannya itu benar.
“Tidak, Ma. Ayahnya Khayru bahkan tidak tahu bahwa anaknya ternyata masih hidup. Dia pikir anak dan istrinya sudah meninggal saat bencana waktu itu.”
Nyonya Maulida mengusap dadanya karena lega.
“Setelah sembuh dari traumanya, ayah Khayru kembali ke Maroko karena berpikir tak memiliki siapa pun lagi di sini. Istrinya yang berkewarganegaraan Indonesia dan juga Khayru—anak satu-satunya dinyatakan meninggal.”
“Mama merasa lega dia tidak berada di Indonesia, tapi tiba-tiba mama juga merasa bersalah, Pa. Kita sudah memisahkan anak dari ayahnya.”
“Karena itulah, papa ingin membicarakan ini dengan Mama. Selama ini papa mengirim seseorang ke sana, supaya diam-diam bisa membantu dan menjaganya, tapi ....”
“Tapi apa, Pa?”
“Seminggu yang lalu, orang suruhan papa menyampaikan kabar buruk. Orang tua Khayru tengah sakit keras di sana.”
“Innalillahi ... lalu apa yang harus kita lakukan, Pa?”
Tuan Zul terdiam sesaat sebelum mengutarakan rencananya. “Papa ... mau mengatakan kebenaran ini pada Khayru, Ma. Khayru harus kembali pada orang tuanya. Ayahnya lebih membutuhkan Khayru saat ini.”
“Lalu ... Setelah Khayru mengetahui semua ini, apa dia akan membenci dan melupakan kita, Pa?”
“Papa sudah siap jika dia akan membenci papa. Ini resiko yang harus papa tanggung.”
“Tapi mama belum siap kehilangan Khayru, Pa.” Tangis Nyonya Maulida pecah seketika.
Tuan Zul memeluk dan mengusap punggung istrinya. “Papa minta maaf, Ma. Semua salah Papa.”
“Kapan Papa akan mengatakan semua pada Khayru, Pa?” Nyonya Maulida terlihat pasrah meskipun dia tidak mampu menghentikan tangisnya.
“Secepatnya, Ma. Sebelum semuanya terlambat. Papa tidak mau jika salah satu dari kita meninggalkan dunia sebelum mengungkap rahasia ini apalagi ayahnya Khayru tengah sakit keras di sana,” ucapnya pelan.
Seraya menangis tersedu, Nyonya Maulida meraih handphone-nya. “Mama akan menelepon Khayru supaya datang ke sini sekarang juga.”
Tuan Zul menganggukkan kepala. Nampak sebuah senyuman yang dipaksakan untuk menyembunyikan kesedihannya.
Tak lama, Khayru datang. Dia terheran karena melihat wajah orang tuanya menangis dan bersedih.
“Mama, Nangis? Kenapa, Ma? Apa yang terjadi, Pa?” Dia menatap mata orang tuanya bergantian.
“Duduk dulu, Ru. Papa ingin bicara.” Perlahan Tuan Zul menjelaskan semuanya tanpa menutupi kesalahan yang dia lakukan. Khayru nampak kebingungan. Tuan Zul berbicara dengan sangat jelas. Semua yang mengganggu pikirannya sudah ia sampaikan.
“Papa sedang bercanda?”
“Papa serius.”
Tak sepatah kata pun yang bisa Khayru ucapkan saat itu. Dia tak habis pikir. Kenapa orang yang dia anggap malaikat, bisa melakukan kebohongan seperti ini.
“Papa mengerti jika akhirnya, kamu harus membenci papa, tapi jangan benci Mamamu, dia tidak tahu apa-apa. Ini murni kesalahan papa karena papa sangat takut kehilangan kamu, Ru. Sekarang papa sadar, ada orang yang lebih berhak atas dirimu. Papa tidak ingin kamu terlambat untuk menemuinya.”
“Maaf, Pa. Nanti kita bicara lagi. Iru mau sendiri dulu. Iru mohon diri.” Dia pergi ke kamar dan tak ingin ada seorang pun yang mengganggu. Hingga saat makan malam tiba, ayahnya mengetuk pintu kamar karena khawatir kalau Khayru melewatkan makan sebelum tidur.
“Ru, jangan lupa makan dulu. Papa gak mau kamu sakit!” serunya dari balik pintu.
Tak lama Khayru keluar dan berkumpul di meja makan. Setelah selesai makan bersama, ia mengutarakan sebuah keputusan untuk pergi ke Maroko besok hari. Dia akan menetap di Maroko untuk merawat ayah kandungnya.
“Papa menghargai keputusanmu. Meskipun kita di sini sangat-sangat membutuhkanmu. Papa juga terima jika kamu tidak mau memaafkan Papa. Satu hal yang harus kamu ingat, sampai kapan pun, kamu selalu di hati papa dan mama.”
Tiba-tiba Nyonya Maulida kembali menangis. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya akan segera pergi ke benua Afrika yang sangat jauh. “Ru, kamu tetap anak Mama. Sekali pun kamu benci. Mama tetap sayang kamu.”
Khayru bangun dari duduknya lalu memeluk sang ibu. “Ma, tolong jangan menangis seperti ini, Ma. Percayalah, Iru tidak akan bisa membenci Mama sama Papa. Hanya saja, Iru harus tetap pergi. Terima kasih untuk semua kasih sayang yang kalian berikan selama ini. Maafkan jika Iru banyak salah.”
“Ini ... Ada apa sebenarnya? Kalian menangis karena apa? Jelaskan padaku sekarang juga!” desak Maula. Dia belum paham duduk permasalahannya.
Khayru beralih memeluk Maula. “Maafin Abang, ya, Dek. Abang harus pergi besok.”
“Ke mana?!”
“Ke Maroko. Ada yang harus Abang urus di sana.”
“Perjalanan bisnis? Bukannya setiap perjalanan bisnis Abang selalu kembali ke rumah? Kenapa Mama harus nangis?” Maula mencium bau yang tidak beres malam ini.
“Kali ini Abang gak tahu kapan akan kembali ke rumah ini. Tidak perlu menunggu Abang, ya, La.”
Maula menepiskan pelukan Khayru lalu mendorong tubuhnya. “Aku gak mau denger apa-apa.” Dia berlari ke kamarnya.
“Maula ...!”
“Dek! Tunggu!”
“Biar Papa yang menjelaskan pada Maula. Temani Mama kamu dulu.”
To be continue ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Uswatun Khasanah
bapa kandung y sakit parah pantas pulang kemaroko kyaru y. duh salah paham knpa ceritaiin maula cwek egois kekanak masih kecil manja bgt. sabar ru.
2021-08-20
1
𝚁𝚎𝚗𝚒 𝙽𝚃
ini alsan khairu pergi...
dan maula tak tau yg terjadi sebenar nya..
2021-07-02
1
༺Ɠҽɳ∂ιʂ༻
beda'y brp thun usia bang iru sm maula mbu
2021-05-30
2