Bertahun-tahun yang silam terjadi gempa dengan kekuatan 7,3 skala Richter mengguncang kota jakarta, pada Rabu, 2 September pukul 14.55 WIB.
BREAKING NEWS--Gempa tektonik yang terjadi akibat tumbukan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Lindu memicu kerusakan di sekitar episentrum.
Salah satu daerah terdampak paling parah adalah kota Bekasi, di mana tanah longsor yang dipicu gempa menewaskan ratusan orang.
Gedung-gedung tinggi di Jakarta pun yang berjarak sangat dekat dari pusat lindu, bergoyang hebat karenanya. Ribuan orang di Ibu Kota berlarian keluar dari gedung-gedung tinggi juga pusat perbelanjaan.
Seperti berada di dalam perahu di tengah air yang bergolak. Gedung bergoyang. Pintu-pintu terbuka dan tertutup, buku-buku berjatuhan dari rak.
Guncangan akibat gempa menyebabkan 180 orang meninggal dunia, 215 lainnya hilang, sementara 1.250 warga luka-luka.
Pasca bencana, banyak orang berdatangan ke daerah pusat gempa. Menatap iba saat menyaksikan puing-puing reruntuhan dari bangunan-bangunan di sekitar pusat gempa. Rumah warga beserta penghuninya seperti hilang entah ke mana. Semua menjadi rata dengan tanah.
Tim SAR dan relawan terlihat sibuk dengan pencarian korban.
Sepasang suami istri sengaja datang dari Jakarta. Hati mereka terketuk ketika mendengar berita bencana yang cukup dahsyat terutama di pusat kota Bekasi.
“Pa, ada anak kecil sedang menangis di sana.” Sang istri berlari menuju anak yang luput dari pencarian tim petugas. Anak lelaki berusia delapan tahun tengah menangis kebingungan mencari keberadaan orang tuanya. Pakaiannya sangat kotor dan koyak. Di tubuhnya terdapat banyak luka.
“Nak, apa orang tuamu hilang?” Sang suami coba menggendong anak lelaki itu dan berusaha menenangkannya.
Anak kecil itu hanya menangis tidak berhenti memanggil kedua orang tuanya.
“Tolong dia, Pa. Kasihan.”
“Iya, Ma. Kita bawa dulu dia ke rumah sakit. Setelah itu kita bantu mencari orang tuanya.”
Pasangan suami istri itu tidak berhenti memantau jumlah korban yang terus bertambah. Namun, mereka pun bingung karena sang anak yang ditemukan belum bisa memberi informasi yang jelas tentang orang tuanya yang hilang.
“Pa, sementara kita cari orang tuanya, sebaiknya kita bawa pulang saja anak itu. Mama mau merawatnya di rumah. Toh, kalau mereka masih hidup, pasti datang mencari keberadaan anak ini.”
Mereka adalah sepasang suami istri yang begitu merindukan kehadiran seorang anak, tak heran jika mereka menyayangi anak korban bencana itu seperti anak mereka sendiri bahkan lebih.
Seorang anak yang memiliki darah campuran ini terlihat dari wajahnya yang sangat dominan. Dia belum bisa mengatakan banyak hal karena mungkin trauma yang dialaminya cukup hebat. Dia hanya berdiam diri sesekali menangis memanggil orang tuanya.
Sepasang suami istri itu tidak pernah menyerah untuk selalu memberinya semangat hingga anak tanpa identitas itu hidup normal kembali.
“Nak, bisakah kamu panggil aku mama?”
Anak itu menatap cukup lama mata wanita di hadapannya lalu menganggukkan kepala.
“Anak tampan, mama mau tanya siapa namamu?”
“Khayru. Ayah dan ibu selalu memanggilku ‘Yru/Iru’,” akhirnya dia bicara dengan tatapan matanya yang dingin lalu berubah memerah. Sepasang suami istri itu segera memeluk sambil memberikan tepukan lembut di pundak yang masih begitu kecil.
Khayru tumbuh menjadi satu-satunya anak kesayangan di dalam keluarga Tuan Zulfikar Ariffin dan istrinya—Nyonya Maulida. Perangainya yang santun, penurut, baik hati dan tegas membuatnya jadi kebanggan keluarga.
Waktu telah mengubur harapan untuk bisa bertemu kembali dengan orang tua kandungnya. Kemungkinan besar mereka telah hilang dan tewas dalam bencana. Namun, dia mendapatkan kasih sayang yang lebih dari orang tua yang baru.
Ketika usia Khayru menginjak lima belas tahun, ibu angkatnya—Nyonya Maulida menunjukkan tanda-tanda kehamilan yang tidak pernah diduga sebelumnya, padahal ketika itu usianya sudah memasuki kepala empat. Usia yang cukup rawan untuk menjalani kehamilan.
Tuan Zul memanggil dokter keluarga terkait keluhan yang dialami istrinya yang tiba-tiba selalu Merasakan pusing, mual dan juga asam lambung yang belakangan sering kambuh.
“Pa, apa tadi mama tidak salah dengar? Mama kira ini hanya masuk angin ditambah asam lambungnya kambuh lagi. Kok, dokter bilang mama hamil?”
“Salah dengar gimana? Papa juga dengar sendiri, kok. Emangnya mama gak seneng, ya? Kalau papa, sih seneng banget,” ucapnya sambil tersenyum.
“Bukannya gak seneng, Pa. Cuma takut aja kalau ini ternyata hanya salah diagnosa.”
“Gak ada yang gak mungkin, kan, Ma? Kita sudah berdoa dan berikhtiar semaksimal mungkin selama ini. Mungkin Allah mendengar doa-doa kita, Ma.”
“Dokter minta kita datang ke rumah sakit besok untuk memeriksanya lebih lanjut. Kalau ternyata mama memang hamil, berarti Allah memberi mama kepercayaan untuk mengandung seorang anak, padahal mama sudah pasrah tak ingin banyak berharap apa lagi usia mama sudah tidak muda lagi sekarang.”
“Mama hamil?! Teriak Khayru dari arah pintu.
“Masuk, Ru!” seru Tuan Zul. Dia tahu betul anaknya tidak akan masuk tanpa dipersilakan. Khayru pun berlari memeluk ibunya.
“Selamat, Ma. Akhirnya, Iru punya adik juga.” Khayru mengusap perut ibunya yang tengah duduk bersandar di tempat tidur.
“Kamu seneng, Ru?” tanya sang ayah sambil mendudukkan dirinya di sofa.
“Seneng bangetlah, Pa.”
“Tapi mama kuat gak, ya, hamil di usia sekarang ini, Ru? Mama deg-degan, loh.”
“Dengan izin Allah, Mama pasti kuat. Yakin, Ma.” Khayru memberi semangat pada ibunya. “Mama bisa minta bantuan apa aja sama Iru, Ma.”
“Tuh kan, Ma. Mama harus yakin kata Iru,” timpal sang suami turut menyemangati.
“Makasih, ya, sayang. Mama bahagia punya kamu. Percayalah, setelah adikmu lahir nanti, kasih sayang mama sama papa buat kamu gak akan berkurang sedikit pun.” Sang ibu membelai rambut anak itu dengan lembut. Nyonya Maulida tak pesimis lagi karena ia mendapatkan banyak dukungan hingga masa-masa sulit menjalani kehamilan bisa ia lewati dengan mudah.
Sembilan bulan kemudian, di tengah malam buta. Di kala semua orang harusnya tertidur lelap, lain halnya di kediaman Tuan Zul. Semua tengah panik karena sepertinya Nyonya Maulida akan segera melahirkan, begitu menurut Mbak Tini dan Bik Sulis—dua dari sekian banyak ART di rumah ini yang sudah memiliki pengalaman melahirkan anak-anaknya.
“Ru! Papa minta tolong, telepon tetangga kita--dokter Luthfie. Suruh datang ke rumah sekarang juga.” Menghadapi istri yang akan segera melahirkan, buat Tuan Zul merupakan pengalaman pertama yang sangat menegangkan. Dan akhirnya Nyonya Maulida dibawa ke rumah sakit milik Pak Ammar—ayahnya dokter Luthfie.
Pada pukul 03.17 dini hari bayi perempuan yang sangat cantik lahir ke dunia melalui persalinan Cesar, mengingat kondisi ibu yang tidak memungkinkan untuk lahir normal.
“Masyaallah, nangisnya kenceng banget, sih, dek.”
“Dia baru launching, Ru. Battre-nya masih full power, dong,” timpal ayahnya.
“Ahaha ... Ini sih bukan full power lagi tapi double full power namanya, Pa. Ih, tapi dia kok lucu banget ya, Ma. Ngajak senyum terus. Cantik.”
“Yaah ... Mama dapat saingan dong sekarang. Dulu, kan cuma mama yang kalian bilang paling cantik di rumah.”
“Jangan sedih dong. Ibu Ratu sama inces, sama-sama cantik di hati papa.”
“Di hati Iru juga sama, Ma,” timpalnya sambil memberi pelukan hangat.
“Ya udah, ayo Abang kasih nama dulu yang bagus buat adiknya.”
Khayru memberi nama yang mirip dengan ibunya ‘Maula Qiana Ariffin’
“Loh, kok mirip nama mama, Ru.”
“Mama kan Maulida kalau Ade Maula. Biar cantik dan baiknya kayak Mama, Jadi namanya juga agak mirip dikit.”
“Kamu tuh bisa aja, Ru. Tapi ... nama yang kamu pilih bagus juga sih. Iya, gak, Pa?” Nyonya Maulida melirik suaminya. “Maula ... Nama kamu Maula?” Dia memanggil bayi itu dengan nama barunya sambil menimang tubuh mungilnya.
“Iya, Papa setuju. Maula Qiana Ariffin. Namanya cantik.”
Terdengar ketukan pintu disertai ucapan salam dari luar ruangan. Dokter muda itu datang untuk memeriksa keadaan Nyonya Maulida. Dokter Luthfie yang baru-baru ini menjadi dokter kepercayaan keluarga Tuan Zul karena kebetulan mereka bertetangga. Dengan senyumnya yang ramah datang menyapa.
“Selamat, ya, Bu. Putri cantiknya sudah lahir dengan selamat. Semoga menjadi putri yang salihah, jadi kebanggan keluarga.”
“Aamiin, dokter. Terima kasih banyak. Saya mau minta maaf juga karena semalam mengganggu waktu istirahat Anda. Saya jadi gak enak karena bayi ini minta lahir lebih cepat dari waktu yang sudah dijadwalkan.”
“Itu sudah menjadi pekerjaan kami, yang penting Ibu sehat dan bayi selamat, Bu.”
To be continue ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Sarifah
dokter Lutfi,doktet Nana.. kangen
2021-04-07
2
Azzalea Hermawan
uuuhhh, dr Luthfie
2021-03-29
1
^💕 Cut Rumaisha💕^
ada lurfie ada banana...
2021-03-24
1