Devan terbangun oleh bunyi berisik yang muncul dari lantai bawah. Ia mengucek mata untuk mengusir sisa tidur, lalu beranjak bangun sambil mengusap rambutnya yang mencuat ke mana-mana.
"Raga !" Dipanggilnya adik bungsunya melalui tangga yang meliuk ke arah ruang keluarga di lantai dasar. Tidak ada jawaban. Tanpa mengenakan kaus untuk menutupi dadanya yang telanjang, dia menelusuri tangga dengan langkah lebar-lebar. Siapa sih yang
mengganggu tidurnya pagi-pagi begini? Sudah pukul sepuluh lewat sih, tapi hari Sabtu kan jatahnya tidur sampai siang. Raga tidak ada di bawah, tapi seorang gadis sedang membuat minuman di dapur. Dia berdiri membelakangi Devan mengenakan sepasang faded denim dan kemeja putih
yang agak gombrong. Rambutnya panjang mencapai punggung. Devan mengerenyit.
...Siapa nih Orang asing yang tiba-tiba ada di dalam rumah ?...
Tiba-tiba, Cewek itu berbalik dengan gelas minumannya dan hampir menjatuhkannya karena kaget. tidak lama kemudian tampaknya dia baru menyadari bahwa Devan
masih mengenakan piyama tidur kotak-kotak tanpa kaus, dan pipinya memerah.
"Kamu Siapa?" Devan bertanya dengan suara berat oleh kantuk. " Raga mana ?
Gadis itu menunjuk tanpa suara ke arah perpustakaan keluarga, yang juga dijadikan ruang kerja dan belajar. Dia lalu berlari keluar, melupakan gelasnya
Devan mengambilnya dari atas dipan. Teh herbal dengan banyak es batu. Sambil
mengingat-ingat Wajah gadis tadi, Devan menyeruput tehnya tanpa banyak bicara, lalu menjulurkan lidah. Pahit.
Bianca baru menyadari bahwa dia meninggalkan gelas minuman yang tadi dibuatnya di atas dipan. Tapi, kembali ke dapur untuk mengambilnya akan terlihat konyol sekali,
jadi dengan serba-salah dia kembali menarik kursi dan mencoba berkonsentrasi dengan buku pelajarannya.
"Kenapa, kok buru-buru?" Senja yang kebingungan melihat gelagat Bianca bertanya penasaran, bertopang dagu sambil mengerjakan bagiannya dalam tugas kelompok sejarah yang jadi PR mereka minggu ini
Mereka bertiga sedang berkumpul di rumah Raga untuk menyelesaikannya.
Bianca menggeleng cepat. Dia masih ingat muka Cowok yang masih ngantuk tadi,
menyapanya santai dengan keadaan setengah telanjang. Ini pertama kalinya dia melihat seorang laki-laki selain Papa bertelanjang dada, dan tiba-tiba saja dia jadi malu setengah mati. Rambut laki-laki tadi dipotong cepak dengan gaya tentara, ujungnya yang memanjang berdiri lancip. Usianya kurang lebih dua puluh, terlihat seperti Raga dalam dewasa
Tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya, dia bertanya pada
Raga " Kamu Punya kakak laki-laki, ya ?
Raga mengangkat muka sebentar untuk menjawab, "Iya
"Tadi kamu ketemu Kak Devan ? Senja mulai menginterogasi dengan senyum nakal,
Sejenak melupakan tugas yang masih belum diselesaikannya. " Kaget ya? Kak Devan memang ganteng, sih
...Devan Jonathan--alias Kak Devan adalah Cinta monyet Senja. Bagi Senja tetangga...
sebelah yang lebih tua beberapa tahun darinya itu selalu jadi sebuah misteri. Devan akan pergi dengan teman temannya yang keren sampai malam, bisa mengendara mobil
ke mana-mana sendirian, dan sering latihan basket di garasi luar, sambil memamerkan lemparannya yang jitu. Sementara, dia dan Raga hanya bisa bersepeda keliling
kompleks, mengerjakan PR bareng, atau nonton di mal dan pulang sebelum pukul sembilan. Membosankan
"Raga Kak Devan Udah punya pacar belum sih ?" Tiba-tiba, Senja ingin tahu.
Raga mengangkat bahu dengan tak acuh. Kayaknya, gak ada. Banyak, sih, yang suka nelepon, tapi belum ada yang dikenalkan secara resmi
Waktu Raga dan Senja masih SMP, Devan pernah punya pacar yang cantik, namanya Sheila Senja yang mengidolakan Devan sempat kecewa bukan main, tapi dengan Cepat
berbalik mendukung pasangan itu dan menjadikan mereka sebagai ikon cinta yang sempurna. Ia memata-matai mereka berdua menyaksikan Devan menggandeng Sheila sampai Ciuman pendek mereka di depan Pintu, ketika mereka kira tidak ada yang melihat.
"Ngomong-ngomong, Kak Sheila ke mana ya sekarang ?
Raga berhenti menulis sesuatu di bukunya. "Gak tau, gak pernah denger kabarnya lagi
Tepat satu setengah tahun setelah Devan dan Sheila jadian, Senja tiba-tiba menyadari bahwa gadis itu sudah tidak Pernah muncul lagi. Biasanya setiap Sabtu, mereka akan keluar bersama, kadang bahkan memberikan tumpangan pada Raga dan Senja supaya
bisa ke mall. Tapi Sheila sama sekali tak pernah datang lagi, dan baik Senja maupun Raga
tidak pernah benar-benar menyanyakannya pada Devan Cowok itu pun sepertinya tidak ingin membahasnya.
"Menurut kamu, kenapa ya dia gak pernah datang lagi ke sini?"
"Mungkin putus."
Bianca merasa kurang nyaman mendengarkan kisah pribadi seseorang yang tidak dikenalnya, tapi dia diam saja. Senja menarik napas panjang. Raga menatapnya dengan pandangan aneh.
"Kenapa, sih, lo penasaran banget sama urusannya Kakak? Gue aja sebagai adiknya nggak pernah nyanya-nanya begitu
Senja Cemberut mendengar sindiran Raga Heran deh Raga, selalu pedes omongannya.
" Kak Devan kan Udah seperti abang betulan buat aku, jadi wajar dong kalau aku peduli
Raga menggeleng. " Menurut gue, itu bukan urusan kita.
"Terserah." Senja berhenti menulis dan berpura-pura sibuk membaca komiknya, sebuah aksi ngambek setiap kali Raga membuatnya kesal. Raga menghela napas, lalu beranjak
Untuk mengambil segelas teh dingin, minuman kesukaan Senja Hitung-hitung sesajen, supaya Senja tidak marah terlalu lama
Bianca terdiam, kali ini tidak berusaha melerai. Tanpa disadarinya, ia kembali memikirkan spekulasi Senja mengenai kisah Cinta Devan Cowok tadi... pasti menyimpan sebuah luka yang kelam
Devan membuka sedikit tirai di kamarnya, menjulurkan kepala untuk mengintip Raga dan Senja yang sedang mengantar kepergian teman mereka, gadis yang tadi ditemuinya
di Dapur. Gadis itu melambaikan tangan melalui jendela belakang mobil hitamnya sebelum pergi. Senja lalu mengikuti Raga ke kebun belakang untuk santai-santai di
Rumah Pohon kesukaan mereka.
Waktu masih kecil dulu, Senja paling senang merepotkan dia dan Raga Mereka kakak
beradik sibuk menemani Senja main, walau Raga paling ogah main boneka-bonekaan.
Raga dan Devan juga yang mengajari Senja main sepatu roda dan skateboard walau Raga kesal kalau Senja jatuh lalu menangis. Lalu ketika mereka beranjak dewasa, Devan
mulai menemukan teman-temannya sendiri, meninggalkan Raga dan Senja yang baginya seperti anak kecil dibanding teman-teman barunya
Namun, sekarang Raga dan Senja sudah besar. Raga saja kini sudah hampir setinggi dirinya, dengan pendapatnya sendiri, tindakan memberontaknya, dan kesukaannya pada musik. Sementara Senja, dia sudah tumbuh menjadi perempuan muda yang bersemangat
Devan selalu menganggapnya sebagai adik yang disayanginya, apalagi dia tidak punya saudara perempuan
Wajah gadis indo tadi kembali muncul di benaknya. Sosok dan posturnya sedikit
mengingatkan Devan akan seseorang di masa lalu yang menguak luka lama. Devan
menutup tirai, lalu mendesah. Kalau sedang sendu begini, kadang-kadang dia akan
teringat pada Bianca Waktu SMA dulu, mereka juga Pernah seceria Raga dan Senja mengira bahwa mereka bisa mengatasi apa saja.
Butuh sebuah pengorbanan bagi Devan untuk menyadari bahwa Cinta tidak seperti dongeng yang selalu berakhir bahagia
Raga berhenti memetik gitar ketika pintu kamarnya diketuk dua kali. Pasti Devan Hanya abangnya yang punya kebiasaan itu; orangtuanya selalu menerobos masuk kamar Nata tanpa merasa perlu mengetuk dulu.
"Mau makan, nggak? Mami sama Papi belum pulang. Macaroni and cheese, yuk?"
"Boleh." Raga meletakkan gitarnya dan mengikuti Devan ke dapur. Makaroni keju
adalah makanan favorit mereka berdua. Setiap kali orang tua mereka pergi, Devan dan Raga Pasti Camping di depan televisi sambil makan sebanyak-banyaknya.
Raga tidak banyak komentar saat Devan menyetel saluran ESPN sambil menunggu
makanannya matang. Dia memang tidak terlalu suka nonton acara olahraga.
"Tadi, Cewek bule yang datang ke sini itu siapa?"
" Bianca " Raga menjawab tanpa menoleh. Murid baru di kelas kita, pindahan dari Amerika. Bianca itu anaknya Sandra Clathin, model terkenal yang digandrungi Senja
"Oh, pantesan anaknya juga kayak model," komentar Devan " Senja pasti seneng banget. Kalian masih sekelas, kan?"
"Iya," kata Raga, sambil meraih mangkuk makaroni yang masih hangat.
"Sekarang Senja Cantik, ya. Pasti banyak yang naksir."
Raga pontan menoleh. Jadi bukan hanya dia yang menyadari perubahan pada gadis yang satu itu. "Kami Cuma sahabatan kok," jawabnya defensif tanpa berpikir dua kali.
Sekilas ekspresi bingung melintasi Wajah Devan, tapi lalu dia tersenyum.
"Aku, kan, nggak bilang apa-apa."
Melihat Raga mulai memerah dan tidak nyaman, Devan
menggoda lagi, "Memangnya kalian pacaran? Atau jangan-jangan kamu lagi yang naksir sama dia."
Kali ini, Raga benar-benar terpojok. Dia pura-pura sibuk dengan acara televisi, padahal dari tadi dia sama sekali tidak memperhatikan tim sepak bola mana yang sedang memimpin skor.
"Kalau memang suka, harus dikejar." Devan berkomentar iseng, geli sendiri melihat
Perubahan sikap adiknya yang biasa datar menjadi salah tingkah dengan muka semerah kepiting rebus. "Nanti keduluan cowok lain, lho
"Sudah kubilang kami Cuma sahabatan," bantah Raga
Devan terSarah menertawakan polah Raga Oke, oke." Mereka berdua mencoba duduk diam sambil mengunyah makaroni, tapi tawa kecil Devan masih belum surut juga.
Ekspresi Raga berubah keruh, lalu dia melemparkan sebuah bantal ke arah abangnya
Dengan kesal. "Udah ah, Kak ! Jangan ketawa lagi "
Devan malah jadi tidak mampu menahan tawa, dia tergelak bebas sambil menikmati ledakan emosi yang jarang muncul pada wajah adiknya. Gemas, malu, dan gengsi sekaligus. Raga benar-benar kena batunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments