Jadi anak baru memang menyabalkan; salah satu hal paling menyebalkan di dunia ini selain kepergian Mama berbulan-bulan lamanya dan mendapat label anak aneh hanya karena dia lebih suka membaca daripada hangout seperti remaja lain seumurnya.
Bianca sudah sering pindah sekolah. Saking seringnya, dia sampai tidak ingat sudah berapa kali dia hengkang dari satu sekolah dan masuk ke sekolah lainnya. Beberapa kali keluarganya pindah mengikuti jadwal tour Mama keluar negeri, mulai dari Tokyo, London, New York, sampai balik lagi ke Jakarta, tempatnya dilahirkan. Bianca tidak
terlalu ingat tahun-tahun pertamanya tinggal di sini, waktu itu dia masih sangat kecil. Baginya, kota ini besar tapi semrawut. Sarat polusi, macet, dan panas setiap saat. Namun, entah mengapa dia suka tinggal di sini. Begitu banyak hal menarik yang bisa dipotretnya dengan kamera Nikon yang mengganduli lehernya ke mana-mana .
Bianca mendengus mengingat momen pertama kalinya dia menyeberangi lapangan basket sekolah baru ini--tadi pagi. Dia berjalan lengkap dengan seragam sekolah lamanya yang berbasis kotak-kotak merah, tas suede krem hadiah dari Mama waktu ke Milan, dan sepatu kets baru yang masih bersih. Terdengar siulan-siulan kurang senonoh dari lantai atas, dan begitu dia mendongak, belasan remaja laki-laki sedang menunduk ke bawah, memperhatikannya dengan seksama. Malah ada beberapa yang dengan cuek memotretnya dengan kamera HP. Dengan ngeri, Bianca mempercepat langkah ke arah ruang tata usaha untuk mengambil buku-buku Pelajarannya semester ini.
Bunyi suit-suit makin keras mengikuti bayangannya, lalu jadi senyap setelah guru BP yang berdiri di depan ruang TU menghardik mereka dengan galak. Bianca menghela napas lega, untuk sementara dia bebas, tapi predikat anak baru sudah keburu melekat. Dia merasa seperti objek, hanya karena dia bule. Blasteran. Indo. Beda dari yang lain.
Belum lama dia duduk di kantin sendirian, sudah banyak yang bergosip tanpa berusaha mengurangi volume suara.
"Itu anaknya Sandra Clathin, kan? Model terkenal tahun sembilan puluhan
"Katanya sih begitu. Tadi liat gak dia diantar pakai Jaguar hitam? Pasti tajir banget."Ya anaknya model dan Perancang terkenal, gitu lho
Kuping Bianca panas mendengarnya. Dia memang berat di nama--mamanya adalah Sandra Clathin Roberts, model senior yang masih sering muncul di vogue walau usianya sudah hampir empat puluh. Model berdarah Russia-Amerika-Indonesia yang namanya sudah malang-melintang di dunia fashion, yang akhir-akhir ini banting setir untuk berkiprah di dunia fashion design. Walaupun itu berarti beliau akan jarang di rumah, lebih sering
menghabiskan waktu di atas kursi empuk bussiness class pesawat terbang, menenggak beberapa butir aspirin untuk menghilangkan jet lag di kamar hotel, lalu sibuk mengurus ini-itu dengan partner bisnisnya. Walaupun itu berarti Bianca akan sangat merindukan Mama sampai akhirnya terbiasa dengan ketidak hadirannya.Bianca menarik sejilid buku usang dari tas dan mulai membaca sambil menikmati makan siangnya. Wuthering heights, sebuah judul yang tak pernah bosan dibacanya. Diam-diam dia hilang dalam bacaan itu, barisan kalimat yang bagaikan menghipnotis, untuk sementara membuatnya lupa bahwa dia adalah orang asing di sekolah ini
Di sisi lain
Raga tidak ingat kapan tepatnya Senja mulai berubah.senja yang dikenalnya dulu adalah anak perempuan bandel yang tidak gentar memanjat pohon jambu di halaman rumahnya. Anak kecil yang cekikikan sambil mengebut dengan sepeda gunungnya, juga tak ragu bermandi hujan dan air banjir yang becek. Mereka sudah bertetangga sejak usia lima tahun, jadi Raga bisa bilang kalau dia mengenal sahabatnya ini luar dalam
" Raga "
Raga bahkan menghafal suara cempreng itu dengan baik.Senja berdiri di hadapannya sambil mengunyah batangan snack kismisnya, lengkap dengan seragam cheers yang serba pink.
Rambut sebahunya dikucir satu tinggi-tinggi di atas kepala, bibirnya terulas lipstik merah muda senada, dan matanya dibingkai sedikit Pemulas
Mau latihan cheers atau mau ke pesta, sih?" Raga tidak tahan untuk tidak menyindir pedas. Akhir-akhir ini, Senja jadi gemar dandan. Dia jadi salah satu anggota cheers, jadi tergila-gila dengan warna pink, selalu diet dengan hanya mengonsumsi makanan rendah
kalori, dan jadi... centil. Raga masih kurang terbiasa dengan kebiasaan baru macam ini
Senja melengos sambil Cemberut. "Hari ini mau nungguin aku selesai latihan, kan
Raga melirik jam tangannya. Masih ada satu jam. "Ya udah, deh."
"Sip!" Dengan senyum lebar, Senja menepuk pundak Raga dua kali sebagai ungkapan terima kasih, lalu menghilang di balik pintu ruang olahraga. Tidak lama kemudian, lagu Avril Lavigne yang sering dipakai tim cheers untuk latihan menggema sampai ke luar
Raga menggaruk kepala dan menyeret langkah ke arah UKS. Tidur siang lagi di ranjang UKS, deh. Kalau tidak, kasihan Senja nanti pulangnya jalan kaki sendirian
Flashback
Senja bisa bersahabat dengan Raga karena ibu mereka dekat. Sejak keluarga Senja pindah ke seberang rumah Raga, ibu mereka saling mengunjungi sambil membawa anak masing-masing. Kadang kursus masak bareng, kadang ikut kelas aerobik sama-sama, Perawatan di salon, arisan atau sekedar mengobrol dengan dua cangkir teh hangat. Anak-anak ditinggal di pekarangan begitu saja, mungkin semacam latihan sosialisasi supaya mereka mudah berinteraksi sejak usia dini.
Awalnya, Raga dan Senja tidak acuh terhadap satu sama lain. Raga duduk sendiri dengan robot-robotannya di pangkuan, sedangkan Senja main Barbie lengkap dengan rumah-rumahannya. Bulan selalu tertidur di atas sofa, mengisap jempol. Namun, setelah berjam-jam, para Mama mengobrol tanpa ada tanda-tanda akan selesai, Senja sepertinya mulai gerah.
" Aku Senja kamu Punya sepeda kan "
Senja mendongak ketika ditodong seperti itu. Dari tadi dia sengaja tidak menyapa gadis kecil itu, takut koleksi robotnya dirusak atau terpaksa main Barbie juga. Ih, Raga tidak akan mau ke-gap sedang main boneka perempuan! Punya sepeda nggak Anak itu mengulangi dengan tidak sabar.
Raga menunjuk ke arah garasi tanpa berkata-kata lebih lanjut.
"Yuk
Dengan tenaga yang Cukup besar untuk seorang anak perempuan, Senja menarik tangan Raga setengah menyeretnya ke garasi
Senja yang pertama kali mengajarinya bahwa mengayuh Pedal kencang-kencang lalu membiarkan sepeda menuruni lintasan Curam adalah salah satu hal paling mengasyikkan di dunia
Senja memberitahunya bahwa kenikmatan main ayunan adalah udara segar yang menerpa Wajah saat mereka berdiri di atas papan kayu sambil menentang Senja juga yang sibuk bercerita bahwa langit yang paling indah ada tepat sebelum malam beranjak
masuk--ketika langit berubah ungu dan merah jambu dengan loreng-loreng merah oranye, dengan mataharinya kembali ke peraduan. Sebagai gantinya, Raga mengajari Senja menangkap kunang-kunang dengan tangan kosong, juga berbagai tempat kesukaannya di kebun belakang dengan gadis kecil itu. Mereka bergantian membonceng sepeda sampai Mama Senja mengajak anak Perempuannya Pulang. Waktu itu, Raga hanya bisa memandang Senja yang berjalan menjauh, sambil sesekali berbalik dan melambai ke arahnya dengan gigi ompong yang terlihat di balik senyum lebarnya
" Bianca, seragamnya sudah selesai "
Tiga potong seragam putih abu-abu yang sama persis bentuk dan ukurannya diserahkan dalam bungkusan plastik. Bianca lega besok dia bisa mulai berseragam sama dengan murid-murid di sini.
Gara-gara tidak ada seragam yang pas dengan tubuhnya yang tinggi kurus, pihak sekolah terpaksa membuat tiga setel khusus costum-made untuknya .Besok, hari-hari sekolahnya sebagai Pelajar SMA di Jakarta akan dimulai. Hari ini, dia setengah membolos, untuk mengurus administrasi
"Bu, bisa minta obat ?" Bianca bertanya sopan pada perempuan di balik meja Tata Usaha. Kepala saya pusing.
"Oh, minta saja di UKS. Tuh, di lorong kedua belok kiri."
"Terima kasih." Bianca bergegas ke arah yang ditunjuk dengan kepala berdenyut. Tiba-tiba saja kepalanya pusing. Semalaman berkutat mencetak hasil fotonya di ruang gelap membuatnya kurang tidur, dan kalau sedang asyik sendiri, Bianca jadi sering lupa dia punya problem anemia yang Cukup Parah.Ruang UKS kosong. Ada tempat tidur berkelambu putih di pojok, lengkap dengan kabinet obat-obatan di sampingnya dan sebuah meja kecil. Tidak yakin apa yang harus dilakukan, ia memutuskan untuk menunggu sambil bersandar pada sebuah kursi
Tak lama kemudian, seorang murid laki-laki masuk tanpa mengetuk pintu, membawa iPod hitam special edition U2 dengan volume diputar keras-keras. Dia menyapukan pandangan sekeliling, dan tanpa berkata apa-apa langsung melompat ke atas ranjang UKS. Bianca diam saja, berharap penjaga UKS segera datang.
Tidak lama kemudian, terdengar suara murid laki-laki itu yang bertanya, "Sakit apa
Bianca tadinya tidak yakin dia sedang mengajaknya bicara, tapi berhubung hanya mereka berdua yang sedang ada di sana, dia memberanikan diri menjawab lirih. Pusing
Pipinya memerah seketika. "Ya. Anemia." Tirai yang menutupi tempat tidur disibakkan dengan bunyi berisik. Murid laki-laki itu melongokkan kepalanya untuk melihat Bianca.
"Kalau begitu lo pasti lebih butuh tempat tidur ini daripada gue
Dia setengah memaksa Bianca untuk berbaring di sana, tidak menghiraukan tolakan bernada sungkan. Bianca memperhatikannya diam-diam; rambut yang terjuntai berantakan di kerah dan melewati telinga, sepasang mata gelap dengan pandangan tajam, dan ekspresi wajah cuek yang tidak tersenyum. Lalu, pemuda itu mengambil tempat duduk tidak jauh dari sana, memejamkan mata sambil mendengarkan lagu. Bekas tempatnya berbaring hangat, dan Bianca pun turut memejamkan mata
"Kamu sendiri sakit apa ? Pemuda itu menarik sebelah earphone-nya supaya bisa mendengar lebih jelas. "Penyakit malas. Lagi pula, Cumama tempat ini yang bisa dijadiin sarana tidur siang yang aman dan nyaman
Bianca tertawa kecil mendengar jawaban yang dilontarkan seenaknya itu. "Lagi denger lagu apa
Lawan bicaranya menyeringai ketika ditanya begitu. " Mau denger juga?"
Bianca menyambut sebelah earphone dengan ragu dan melekatkannya di telinga. Bukan jenis lagu yang biasa didengarkannya, tapi... cukup menarik. Interesting, Bianca menyimpulkan this guy has an interesting sense of music
"Ragaaa
Pintu UKS dibuka dengan sembrono, membuat Raga terlonjak sedikit. Senja masuk dengan napas tersengal, ikat rambutnya longgar sehingga helai-helai rambut yang membingkai pipi bulatnya basah oleh keringat. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis berdiri tidak jauh dari tempat tidur UKS yang sempit. Senja mengenalinya sebagai murid baru (anaknya Sandra Clathin ) yang pagi tadi datang dengan seragam sekolah lamanya. Kalau tidak salah namanya Bianca Putri. Nama yang anggun sekali, seperti nama seorang putri. Dalam jarak dekat seperti ini, Senja bisa melihatnya lebih jelas; sepasang alis yang melengkung sempurna, mata hijau tua yang dibingkai oleh bulu mata panjang yang super lentik, dan wajah polos yang pucat tanpa make-up. Fitur-fitur
Wajahnya begitu menonjol dan tidak proporsional--kedua matanya sipit, sedangkan hidungnya sedikit crooked, persis seperti ibunya, namun entah mengapa dia terlihat menarik. Seperti model, Senja membatin. Di matanya, Bianca terlihat begitu keren dalam
balutan seragam sekolah swasta luar negeri.Sebelum Senja sempat berkata apa-apa pada anak baru itu, Raga bangkit berdiri, lalu menghampiri Senja. Seperti biasa, ditariknya tas yang disandang Senja sehingga kini ia membawa dua tas, termasuk miliknya sendiri yang tersampir di Punggung. Mereka
Berdua berjalan menuju lapangan parkir sekolah. Sesekali Senja menengok ke belakang, melihat Bianca yang masih duduk di atas tempat tidur UKS.
"Kamu kenal sama anak baru itu
Raga mengangkat bahu. "Tadi baru kenal waktu di UKS doang kok."
Bianca Panggilannya akrab banget, Senja berpikir diam-diam. "Dia sakit ?
"Katanya sih pusing."
"Ooo. Dia mirip sama Sandra Clathin ya? Cantik, ya, Raga Mudah-mudahan dia sekelas sama kita
Tidak lama kemudian, akhirnya Senja berhenti menyebut nama Sandra dan mulai sibuk bercerita tentang gaya dance baru yang diciptakannya tadi waktu latihan. Sepanjang perjalanan dengan Senja membonceng bagian belakang sepedanya, bercerita dengan penuh semangat. Raga mendengarkan tanpa antusiasme total, pikirannya merembet ke mana-mana
Raga memang tidak ingat kapan tepatnya Senja berubah, tapi dia ingat jelas kapanPertama kalinya dia menyadarinya. Hari itu hari pertama orientasi SMA Para kakak kelas dengan kejamnya memaksa seluruh murid tahun pertama untuk memakai seragam SMP lama mereka lengkap dengan rangkaian petai terkalung di leher. Yang perempuan harus mengepang rambut jadi tiga puluh bagian--tidak peduli seberapa berantakan yang penting ada tiga puluh set per kepala. Yang laki-laki harus pakai bando perempuan, plus jepitan rambut warna-warni.Pagi itu, Senja muncul sambil merengut. Ia tampil heboh dengan tatanan rambut dikepang rapi kecil-kecil, juga untaian petai yang semerbak. Rok SMP-nya sudah Saracilan dan kependekan, sehingga dia terus-menerus menarik ujungnya dengan tak nyaman
Raga tidak sadar betapa Cepat Senja berkembang selama dua bulan libur musim Panas kemarin. Padahal, dari dulu Senja kan pendek, kecil, dan pakai kawat gigi. Pokoknya boyish abis. Rambutnya juga biasa dibiarkan pendek dan menjuntai hingga leher, lebih banyak terkena matahari sehingga ujungnya pecah-pecah
"Aneh, ya?" Senja bertanya dengan gemas, menarik-narik rambutnya. Mana petainya bau banget lagi
Raga ingin tertawa, tapi dia malah tercengang. Senja masih Senja, tapi Senja bukan lagi
Senja Masuk akal gak sih ? Maksud Raga sekarang Senja kelihatan berbeda. Entah sejak kapan kedua tungkai kakinya mulai memanjang, diikuti dengan lekuk pinggang yang sempurna. Kulitnya terasa lembut ketika menyentuh Raga Rambutnya mula
di panjangkan hingga menyentuh bahu, bersih dan berkilau di bawah terik matahari. Raga jadi ingin menyentuhnya, ingin tahu karena kelihatannya halus sekali. Matanya bulat, bibirnya kemerahan, lehernya jenjang. Senja Cantik. Adjektif terakhir itu terdengar aneh di mulut Raga Karena dia tidak pernah menganggap sahabatnya itu sebagai perempuan sungguhan.Lalu, ada lagi kejadian ketika Cowok-cowok kelasnya berkumpul, topiknya tentu saja tidak jauh-jauh dari perempuan
" Cewek-cewek SMA Harapan Cantik-cantik, ya." Rizky, salah satu anak baru, buka suara. "Gak nyesel masuk sini."
Waktu itu, Raga diam saja, tanpa komentar menonton anak-anak kelas dua main basket
di lapangan dari tempatnya bergelayut di pagar lantai dua. Dia paling malas ikut nimbrung masalah perempuan dan penaklukan--kesannya macho tapi norak.
"Iya," timpal Debo, salah satu teman sekelas Raga sejak SMP. "Cakep-cakep. Liat sih Jenny mulus banget. Atau si Vanya."Lalu, murid-murid pun ikut berdiskusi dengan seru.Kalau gue sih lebih suka sama Linny. Seksi." Yang lain sibuk menggoda dan bersiul nakal.
"Kalo Gue milih Sara. Gue demen cewek yang mungil kayak dia.
"Sara biasa aja. Kalo Senja bagimana?"
Kuping Raga jadi supersensitif mendengar nama itu disebut." Senja Nikola ciputra ya...?" Salah seorang dari mereka mulai memperhatikan gerak-gerik Senja yang sedang mengobrol seru dengan teman-temannya di tepi lapangan.
"Manis. Ceria, kayaknya orangnya asyik."
"Tipe gue banget tuh
" Senja, kan, teman dekat Raga sejak kecil." Kiki, yang memang sudah mengenal Raga dan Senja sejak SD berkomentar. Gimana menurut lo Raga "
Raga mengangkat bahu dengan cuek, tapi hatinya sedikit berdebar. "Biasa aja. Gue udah terlalu lama sahabatan sama dia
"Jadi boleh kita kejar, ya
Raga tidak terlalu mendengarkan lagi. Dia tidak ingin mengakui bahwa dia juga merasa
Senja menarik. Kenapa, ya? Padahal, dari dulu Raga biasa aja di dekat Senja Cewek itu yang berubah... atau Raga yang berubah
Pikiran Raga buyar seketika begitu Senja melompat dari sepeda dan meraih tasnya. Pelukan di pinggangnya melonggar begitu saja.
" Thanks, Raga ! See you tomorrow."
Sebelum masuk ke rumah, Senja sempat melambai dan tersenyum lebar. Bau Cologne bayi yang dipakainya masih menusuk hidung Raga membuatnya sedikit kepayang.Pintu rumah Senja sudah tertutup rapat, tapi Raga masih bengong sambil menuntun sepedanya. Iya, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Nur LloVve
Di tunggu feedback nya yah kak.Kalo udah feedback komen aja yah,ntar aku kasih vote karya kakak.
#I'm A Special Girl
2021-03-12
0