Sebenarnya Naya belum ingin bertemu orang, hanya ingin diam di kamar, menunggu malaikat pencabut nyawa menjemputnya dan mengantarnya ke tempat bapak ibunya berada. Tapi mengingat lagi kebaikan pak Indra kepada keluarganya, membuat Naya berubah pikiran.
Naya menatap Laras dan menganggukkan kepalanya. “Nah, itu baru Naya. Rapikan dulu penampilanmu, lalu kita temui mereka bersama.”
Naya melakukan permintaan Laras, dia menyisir rambutnya, membubuhkan sedikit bedak pada wajahnya dan memakai cardigan untuk menutupi bajunya yang sedikit kusut. Mereka berdua melangkah bersama menuju ruang tamu panti.
Di sana sudah duduk tiga orang pria yang sama sekali belum pernah Naya lihat. Dua orang pria muda dan satu lagi sudah berumur. Naya tertarik pada penampilan pria yang paling tua, dia menggunakan celana kain, kemeja lengan panjang dan sebuah syal berbahan rajut melingkar di lehernya. Persis seperti yang sering dilakukan bapaknya bila sedang tidak enak badan.
“Ayo kita duduk, Nay.” Laras menggandeng lengan Naya agar duduk. “Maaf pak, sudah menunggu. Ini Kanaya Basuki, putri tunggal almarhum pak Basuki dan almarhumah bu Wati.” Laras memperkenalkan Naya pada tamunya.
“Halo Naya, saya Indra, ini Alan anak sulung saya dan dia Haris sekretaris saya.” Sapa Indra ramah.
“Saya Kanaya.” Sahutnya singkat.
“Maksud kedatangan saya ke sini, yang pertama adalah untuk mengucapkan belasungkawa saya atas meninggalnya kedua orangtuamu. Kedua kalinya, saya ingin memberikan kamu beasiswa untuk kuliah di Australia. Saya tahu saat ini kamu masih berduka, tapi menata masa depan juga penting.” Indra diam sejenak menyadari Naya hanya diam dan menatap kosong ke arahnya.
“Saya harap kamu pikirkan baik-baik sebelum memberikan jawaban. Nanti kamu bisa sampaikan ke bu Laras bila sudah memutuskan.”
“Nay, apa kamu mendengar perkataan pak Indra?” Laras merasa tidak enak pada tamunya, karena Naya hanya diam tanpa ekspresi.
“Biarkan saja dia, sepertinya dia masih butuh waktu. Kalau begitu saya pamit dulu.” Ujar Indra seraya berdiri dari kursinya.
Indra berjalan keluar ruangan diikuti Haris dan Laras di belakangnya. Sedangkan Alan masih duduk di kursinya memperhatikan Naya yang hanya diam seperti patung batu sejak tadi.
Lama mereka diam, akhirnya Alan berdiri dan berjalan mendekati Naya seraya membungkukkan badannya hingga bibirnya berada dekat dengan telinga gadis itu.
“Pria tua itu adalah pilihan tepat bila kamu ingin hidup mewah dan mapan. Gadis sepertimu tentu tahu bagaimana cara memanfaatkan kasih sayang seorang kakek tua yang kaya raya.” Setelah mengatakan itu, Alan berdiri memandang Naya sebentar dan bergegas menyusul ayahnya.
Naya tetap mematung, namun airmatanya mengalir turun di pipinya. Siapa pria tadi yang begitu berani menghina kesedihannya? Apa maksud perkataannya barusan?
“Beruntung banget kamu, Nay. Kehilangan kasih sayang orangtuamu, tapi kamu berhasil mendapatkan kasih sayang pak Indra. Hebat kamu, Nay.” Celetuk Rini yang sejak tadi menguping pembicaraan tamunya dari luar pintu.
“Apa hebatnya mendapat kasih sayang pak Indra kalau Naya harus kehilangan orangtua Naya, Mbak?” Naya berdiri dan berlari menuju kamarnya tadi sambil menangis.
“Naya kenapa, Rin?” tanya Bagas yang baru saja masuk setelah melihat mobil tamunya meninggalkan halaman panti.
“Entahlah, masih teringat orangtuanya mungkin.” Sahut Rini seraya melenggang meninggalkan Bagas yang masih bengong.
****
“Apa tidak ada gadis lain selain gadis culun yatim piatu itu?” tanya Alan memecah keheningan.
“Kenapa?” tanya Indra datar.
“Dia terlalu kampungan dan mengenaskan untuk papa jadikan istri. Dan terlalu muda, bahkan usianya sama dengan Dante.” Protesnya.
“Istri? Papa tidak terpikir hal itu, tapi terima kasih padamu yang sudah memberikan ide cemerlang.” Ujar Indra dingin.
“Aku mohon, jangan membuatku semakin jijik menjadi anakmu.” Alan memandang ke arah ayahnya dengan tatapan sinis.
“Kalau kamu jijik menjadi anakku, dengan senang hati aku akan mencoretmu dari daftar ahli warisku.” Sahut Indra tenang.
“Aku yakin Dante dan Aletha sependapat denganku. Mereka tidak akan setuju dengan keputusanmu, Pa.”
“Aku tidak butuh persetujuan mereka. Dan perlu kamu tahu, aku mengajakmu ke panti hari ini bukan untuk meminta pendapat atau persetujuanmu. Tapi karena secara hukum, namamu yang tertulis sebagai Ketua
Yayasan Rumah Singgah Destiny, tidak lebih.” Tukas Indra tegas.
“Ishh, sial.” Umpatnya lirih.
“Secara silsilah, kamu memang anak tertua. Bukan berarti kamu yang akan menjadi penerusku sebagai pemimpin ID grup. Jadi jangan bersikap seenak jidatmu.” Ucap Indra penuh penekanan.
“Apa wanita itu sudah setuju untuk menikahimu, pria tua yang seumuran ayahnya? Come on, Dad. Don’t be crazy.” Alan terus berusaha membuat ayahnya merubah keputusannya.
“Dia tidak tahu, dan jangan coba-coba memberitahunya. Kalau kamu masih ingin menjadi ahli warisku.” Ancaman itu selalu berhasil membuat Alan diam.
Indra tahu betul seperti apa putranya, Alan bukan sosok gila harta, tapi dia tidak akan membiarkan Dante menjadi ahli waris dan menghamburkan semua harta ayahnya untuk bersenang-senang. Harta yang dikumpulkan ayahnya dengan meneteskan keringat dan darah, bahkan mengorbankan nyawa mamanya.
“Pa, apa papa masih ingin melihat seorang wanita muda depresi dan bunuh diri atau menjadi pembunuh orang di keluarga kita?!” Alan mulai tidak sabar menghadapi ayahnya.
“Tutup mulutmu, Alan!” Indra menengok ke pria di sampingnya dengan tatapan marah, terluka lebih tepatnya. “Hentikan ocehan tidak bergunamu!”
“Ishh!” Alan menonjok kursi di depannya.
“Ada apa denganmu? Apa kau menyukai gadis muda tadi? Hingga bersikeras begini. Seperti yang biasa kamu lakukan terhadap gadis muda lainnya.” Tuduh Indra.
Alan hanya diam tak menjawab. Dia membuang mukanya ke luar jendela, hingga senyuman lembut ayahnya tak tertangkap matanya.
Alan tidak pernah bisa menahan amarahnya bila berhadapan dengan ayahnya. Pria yang sangat dia cinta sekaligus benci dalam waktu yang bersamaan. Alan bisa meluapkan segala emosinya hanya di depan ayahnya, Indra Hartawan. Bahkan Alan bisa tertawa, marah dan menangis hanya bersama ayahnya, pria yang selalu dia hormati dan lindungi dalam diam.
Alan sangat mengenal sifat ayahnya. Pria tua itu tidak segan mengangkat anak jalanan seperti Haris untuk menjadi orang kepercayaannya. Namun dia sangat perhitungan kepada semua anaknya, dalam hal apapun.
Alan juga tahu bahwa ayahnya dengan perawakan tinggi dan tampan khas keturunan blesteran Indo-Jerman miliknya, masih tetap menawan dan mempesona walau usianya sudah lebih setengah abad. Ditambah dengan kekuasaan dan harta yang dimilikinya, sering membuat wanita muda hingga berumur berlomba mendapatkan cintanya.
Seringkali para wanita penggali emas, bersandiwara dan meminta belas kasihan ayahnya hanya untuk menguras isi dompetnya. Dan menurut kacamata Alan, ayahnya menikmati semua itu tanpa ada rasa jera.
Dasar pria tua bodoh, tidak ada kapoknya dimanfaatkan wanita-wanita genit dan matre. Sangat melelahkan!
Alan adalah pria yang selalu berhasil menjauhkan wanita penggali emas yang ingin mendekati ayahnya hanya untuk mencari keuntungan, bila ayahnya tidak lebih dulu mengetahui dan menghentikan tindakannya. Hampir sepuluh tahun Alan melakukan aksi penyelamatan itu tanpa diketahui ayahnya.
Haris adalah pria yang selalu melakukan perintah ayahnya tanpa penolakan. Hampir setiap tindakan Alan, tidak luput dari pantauan Haris, termasuk usahanya mengusir wanita-wanita penghisap darah di dekat ayahnya. Hingga Alan dicap sebagai saingan ayahnya sendiri karena selalu mendekati wanita yang sama.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
✰͜͡v᭄pit_hiats
jd hayang ka #bapana s alan🙄🙄🙄
2021-11-06
1
Fitri Lin
ada kemungkinan gak ya klo sebenernya pak indra ingin jodohin naya dgn alan.?klo mau diperistri sendiri agak gimanaaaa gitu ya.?
2021-03-02
4