“Ibu makan saja dulu, nanti kita buka amplopnya sama bapak.” Naya meletakkan piring yang dibawanya tadi di sebuah meja yang biasanya mereka gunakan untuk makan bersama.
Rumah yang mereka tempati hanya terdiri dari dua buah kamar dan satu ruangan yang lebih luas dari kamar yang mereka tempati. Naya tidak memiliki ruangan khusus untuk makan atau menerima tamu karena mereka jarang kedatangan tamu seperti keluarga kebanyakan.
Kalaupun ada tamu, biasanya mereka akan berbincang di teras atau koridor panti. Untuk kegiatan kebersihan diri, mereka menumpang di kamar mandi panti. Begitu juga untuk urusan perut. Praktis rumah Naya hanya digunakan untuk beristirahat.
Setelah ibunya menghabiskan makannya, Naya mengajak Wati ke kamar bapaknya berikut amplop yang dia dapat dari Laras. Naya sudah tidak sabar memamerkan pada kedua orangtuanya bahwa sebentar lagi dia bisa membelikan obat asma bapak dan keperluan mereka menggunakan hasil keringatnya.
“Pak,” panggilnya lirih.
“Hmm.” Bapak menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat Naya, tangannya melambai meminta Naya mendekat. “Ada apa? Senang? Hhh…” tanya Basuki singkat.
“Pak, ini Naya punya berita bagus buat kita semua.” Naya meminta Wati duduk di tepi ranjang, sedangkan dia sendiri berdiri seraya membuka amplop seperti pembaca teks proklamasi.
“Tadi bu Laras manggil Naya ke kantornya. Beliau menawarkan pekerjaan untuk Naya.” Basuki menggerakkan kepalanya ke atas seperti bertanya, 'Kerjaan apa?'.
“Naya diminta menjadi pengurus panti, karyawan tetap seperti bu Laras, mbak Rini dan mas Bagas. Bagaimana, Pak, Bu?” Naya meminta pendapat.
“Apa kamu bisa, Nak? Jadi pengurus panti itu kerjanya banyak, tanggung jawabnya besar. Hubungannya bukan hanya dengan orang sekitar dan penghuni panti, tapi itu amanat dari Tuhan. Tidak boleh asal-asalan kerjanya.” Wati khawatir karena Naya masih terlalu muda, mudah goyah pendiriannya.
“Iya sih. Kalau bapak, bagaimana?”
“Bapak ingin Naya kuliah.” Basuki menghela napas pendek-pendek.
“Iya, Pak. Naya juga ingin kuliah. Nanti uang hasil Naya kerja di panti akan Naya gunakan untuk membayar biaya kuliah. Bapak ingin Naya jadi apa?”
“Orang berguna.”
“Hehehe, ini lebih berat lagi dari mengurus panti.” Naya tersenyum mendengar keinginan bapaknya.
Bapaknya melambai, meminta Naya mendekat. Basuki memegang tangan Naya erat dan berkata, “Lakukan yang membuatmu bahagia.” Lalu pria itu melambai lagi meminta Naya meninggalkannya.
“Ayo, Nay. Biarkan bapak istirahat. Kita bicara di luar saja.” Wati menarik lengan Kanaya agar mengikutinya.
“Bu, sepertinya bapak belum membaik. Apa tidak sebaiknya kita panggilkan dokter?”
“Nanti juga membaik. Lagipula, pinjaman kita pada panti sudah begitu besar. Ibu malu bila harus pinjam lagi.” Ucap ibunya sendu.
“Tidak apa, Bu. Nanti biar Naya yang membayar pinjaman kita menggunakan uang gaji Naya.” Ibu hanya tersenyum seraya membelai kepala Naya.
“Nay, kamu sudah besar. Ingat pesan bapak dan ibu, jangan pernah melakukan hal yang membuatmu tidak bahagia. Sudah cukup kamu merasakan ketidakbahagiaan selama bersama kami.”
“Ibu kok ngomongnya gitu? Seperti mau pergi jauh saja. Naya khan jadi sedih. Lagipula, Naya bahagia kok.” Naya memeluk ibunya erat.
“Jadi wanita itu harus kuat, tegar, tidak boleh lemah. Karena wanita itu tempat bersandar suami dan anak. Kita harus bisa menjadi penopang keluarga.”
“Iya, Bu. Akan Naya ingat pesan ibu. Lalu bagaimana dengan amplop ini?” Naya melambaikan amplop di tangannya.
“Pikirkan dulu baik-baik. Kalau kamu merasa sanggup, lakukan. Bapak dan ibu selalu mendukung pilihanmu.”
“Terima kasih, Bu.” Naya memeluk dan mencium pipi keriput ibunya.
****
Tak terasa acara perpisahan siswa kelas dua belas akhirnya digelar hari ini. Naya sudah sibuk sejak pagi untuk memeriksa kesiapan tim dan acara. Naya termasuk tipe perfeksionis dan teliti bila menyangkut pekerjaan.
“Lus, sudah kamu pastikan semua seksi siap ya?”
“Beres, Nay. Aman.”
“Tigor mana? Untuk area parkir dan keamanan, siap?”
“Tigor masih diskusi dengan pak Rudi dan satpam sekolah terkait itu. Kamu sendiri bagaimana? Mau jadi pasangan siapa nanti malam? Reza atau Akbar? Atau malah Rafli?”
“Apaan sih. Aku akan tetap menjadi ketua kegiatan. Sudah, kerja sana. Gosip aja kerjanya.” Naya melenggang meninggalkan Lusi yang sedang mencebik ke arahnya.
“Nay, Naya!” seseorang berteriak memanggil Naya.
Naya menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang. Tiga pria yang Lusi sebutkan namanya tadi sedang berjalan cepat ke arahnya.
“Nay, untung ketemu kamu di sini.” Ucap Reza.
“Ada apa nih? Kok pada ke sini semua?” Naya kebingungan melihat tiga pria tampan sekolahnya menghampirinya bersamaan.
“Kami tidak mau saling tikung. Secara jujur kami mau meminta kamu untuk memilih menjadi pendamping acara perpisahan nanti malam bersama salah satu dari kami.” Timpal Akbar.
Reza, Akbar dan Rafli adalah tiga pria tampan dan memukau di sekolah Naya, mereka bersahabat dan digandrungi hampir semua siswi, kecuali Naya. Reza mantan ketua OSIS sebelum Naya. Akbar selalu menjadi juara umum di sekolah. Rafli kapten tim basket dengan fans yang sebagian besar cewek-cewek cantik di sekolah Naya.
“Kamu tentukan pilihanmu di depan kami semua. Agar sportif dan tidak ada yang sakit hati atau bermain curang.” Tambah Rafli.
“Apaan sih kalian? Naya tidak bisa memilih salah satu, karena…”
“Kalau begitu, kamu nanti temani kita bertiga ya.” Celetuk Reza. “Kita gak keberatan kalau kamu maunya begitu.” Disambut anggukan kedua teman lainnya.
“Bukan begitu, Naya tidak bisa menemani kalian nanti malam. Karena Naya sudah harus ada di rumah sebelum maghrib. Kalian pilih saja salah satu dari mereka, pasti mereka bersedia. Maaf ya.” Naya meninggalkan ketiga pria tampan yang sedang melongo mendengar jawaban Naya.
Reza yang pertama kali menengok ke arah yang tadi Naya tunjuk dengan dagunya. Ternyata di belakang mereka sudah ada beberapa siswi yang sedang tersenyum centil dan mengedipkan matanya ke arah mereka bertiga menunggu dipilih untuk dijadikan pendamping acara perpisahan.
“Waduh, bisa babak belur kita. Kabuuurrr…!” Reza berlari ke arah Naya pergi diikuti dua temannya.
****
Sudah hampir maghrib ketika Naya memarkir sepedanya di tempat parkir panti. Tidak biasanya halaman depan sepi dengan keliaran anak-anak yang bermain atau sekedar berkumpul melihat teman lainnya bermain.
Naya bersenandung lirih saat melewati koridor panti menuju rumahnya. Bahkan kantor Laras juga sepi dan pintunya tertutup. Tak ingin banyak berpikir, Naya terus saja melangkah. Hingga tiba di dekat rumahnya, suasana di hadapan Naya berbanding terbalik dengan yang dilihatnya sejak memasuki halaman panti.
Semua pengurus dan penghuni panti tumpah ruah di depan rumahnya, bahkan berdesakan di ruang tengah. Dan yang membuat Naya segera berlari, hampir semua yang ada di sana menangis. Bapak, batinnya.
Naya menyerbu kerumunan orang yang berada di rumahnya. Melihat Naya datang, semua orang secara otomatis membuka jalan baginya. Naya langsung menuju kamar bapak dan apa yang dilihatnya membuat lututnya lemas.
“Bapak! Ibu!” Naya menubruk tubuh bapak yang terbujur kaku di ranjang. Mengguncangnya dengan keras agar bapaknya bangun dan membuka mata.
“Bapak!” Naya meraung seperti singa kesakitan. Tak berhasil membangunkan bapaknya, Naya beralih pada tubuh ibunya, “Bu, Ibu. Ini Naya, Bu. Bangun, Bu!” Naya mengguncang tubh ibunya tak kalah keras dengan yang dilakukannya pada tubuh bapaknya.
“Pak! Jangan tinggalkan Naya. Bu! Naya takut sendirian.” Naya terus menangis meraung tanpa henti.
Semua yang hadir di situ turut menangis menemani kesedihan Naya yang kehilangan kedua orangtuanya sekaligus.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Sapta Rini
😭😭😭😭
2022-02-07
0
an_na
😢😢😢
kasian banget Naya thor..
duh...😢😢😢
2021-08-12
1
Fadhilatul Maslukha
nyampek sini udah bikin nangis thor..
2021-04-10
1