“Naya, sudah nak. Jangan sampai tangismu menghambat jalan mereka menuju kedamaian. Kita doakan saja mereka, ya.” Laras meraih dan memeluk Naya dengan erat.
“Bu Laras, apa yang terjadi dengan orangtua Naya?” Kesedihan tergambar jelas pada sorot matanya.
“Tenangkan dulu dirimu, Nay. Itu ada dokter Lyla yang tadi sempat memeriksa mereka. Kamu bisa tanyakan pada beliau.” Laras menunjuk seorang wanita cantik berjas putih yang tersenyum ke arah Naya.
Dokter Lyla mendekati Naya dan memeluk bahunya. “Dik, tadi pak Basuki mengalami serangan asma. Ketika saya sampai, bapak sudah meninggal. Saya pastikan dan saya sampaikan ke bu Wati bahwa suaminya sudah meninggal.”
“Lalu apa yang terjadi dengan ibu Naya, Dok?” Naya menghapus airmatanya dengan kasar. Hati dan otaknya berontak, tidak terima dengan apa yang terjadi padanya.
“Ibumu terkena serangan jantung. Karena saya tidak membawa peralatan lengkap untuk situasi semacam ini, maka ibumu terlambat menerima pertolongan. Maafkan saya, Naya.” Dokter Lyla merasa ikut andil atas meninggalnya Wati karena dia gagal menyelamatkan pasiennya.
“Naya, yang sabar ya. Semua ini sudah garis takdir bapak dan ibumu.” Laras memeluk Naya lagi. Namun Naya berontak dan berlari keluar rumah dengan airmata terus mengalir di pipinya.
“Nay, Naya!” teriakan bu Laras tidak menghentikannya berlari. “Mari kita sucikan dulu jenazah pak Basuki dan bu Wati.” Segera saja para pelayat melaksanakan permintaan Laras.
Naya terus berlari tanpa arah hingga kakinya terantuk batu dan Naya jatuh tersungkur. Tangisnya semakin kencang karena badannya juga merasakan sakit seperti hatinya.
“Bapak, Ibu, bawa Naya serta. Naya takut sendirian.” Ratapnya disertai tangisan. Naya bersimpuh di atas tanah, airmatanya terus menetes.
Seorang pria tampan melihat Naya berlari dan terjatuh dari balik kaca mobilnya. Entah mengapa hatinya terasa perih melihat gadis belia itu menangis meraung meratapi kepergian orangtuanya. Dia seperti melihat dirinya sendiri dalam gadis itu.
“Ris, tolong kamu beritahu salah satu pengurus panti untuk membawa gadis itu pulang. Jangan biarkan dia terus menangis seperti itu. Aku benci melihat wanita muda yang rapuh.” Perintahnya pada sekretaris ayahnya yang mendampinginya melayat.
Haris, pria yang dia suruh tadi segera turun dari mobil dan bergegas melaksanakan perintah putra tertua majikannya.
“Nay, Naya.” Seseorang memanggil namanya seraya mengguncang bahunya pelan.
“Mas Bagas.” Naya memeluk pria di depannya yang sudah dianggapnya seperti abangnya itu dn menumpahkan semua kesedihannya di dada Bagas. “Bapak dan ibu Naya, Mas.”
“Sabar ya. Naya harus kuat. Bapak dan ibumu akan sedih melihatmu seperti ini. Bersedihlah secukupnya, jangan terlalu larut di dalamnya. Kamu pasti bisa melewati ini semua, Nay.” Bagas menepuk punggung Naya dengan lembut.
Hingga beberapa saat, Naya masih terus memeluk Bagas sampai tangisnya berangsur reda.
“Ayo kita pulang. Bapak dan ibumu akan disholati dan segera dimakamkan. Kasihan bila terlalu lama menunggu.” Naya mengusap sisa airmatanya dan mulai berdiri dengan bantuan Bagas.
Pemakaman kedua orangtua Naya dilakukan di tanah panti yang dikhususkan untuk tanah makam bagi penghuni panti yang tidak memiliki sanak saudara. Pemakaman berlangsung singkat namun khidmat. Para pelayat mulai meninggalkan makam, tersisa Naya, Bagas dan bu Laras.
“Nay, sebaiknya kita segera pulang. Hari sudah malam.” Ajak Laras.
Dengan berat hati, Naya berdiri dan bersandar pada Laras mulai melangkah meninggalkan makam yang masih basah.
“Untuk malam ini, sebaiknya kamu tidur bersama mbak Rini di kamar panti. Sampai kamu tenang dan bisa memutuskan.” Naya hanya mengangguk dan terus berjalan dalam dekapan Laras.
Setelah memaksa menelan tiga suap nasi, Naya meminum obat yang diberikan dokter Lyla agar lebih tenang. Nyatanya itu adalah obat tidur agar Naya bisa melupakan kesedihannya dan beristirahat malam ini. Naya tidur bergelung dalam kesedihannya setelah kepergian kedua orangtuanya.
****
Sehari, dua hari hingga tiga hari setelah kepergian orangtuanya, Naya hanya mengurung diri di kamar barunya bersama Rini. Sejak pagi hingga sore hari, Naya akan duduk diam di depan jendela dan memandang ke arah rumah kecilnya tempat bapak dan ibunya tinggal bersamanya.
Menjelang maghrib, Naya akan mulai menangis meraung mengingat kepergian bapak dan ibunya. Bu Laras semakin khawatir melihat kondisi Naya seperti itu. Lusi dan Tigor sudah datang menjenguk bersama Reza, Akbar dan Rafli. Namun tidak mampu mengundang tawa Naya yang selalu tersungging di bibirnya.
Naya seperti hidup dalam dunianya sendiri. Sudah tiga hari ini, Naya tidak makan. Segala upaya sudah diusahakan oleh pengurus panti. Tomo, lansia kesayangan Naya pun sudah menyerah membujuk Naya untuk makan, bahkan sekedar menanggapi cerita kesukaan Naya pun tidak berhasil. Si kembar Joni dan Doni juga tidak digubris oleh Naya.
Sampai hari ini, lima hari meninggalnya Basuki dan Wati, Naya hanya makan tiga suap tiap kali waktu makan. Kulitnya pucat, wajahnya tirus, tersisa tulang dan kulit pembungkus daging.
Sebuah Mercy hitam memasuki halaman panti, Rini berlari-lari mencari Laras dengan panik.
“Jon, kamu lihat bu Laras?” tanyanya pada Joni.
“Ndak lihat tuh.” Jawabnya singkat, tanpa mengalihkan matanya dari buku gambar miliknya.
“Ihh, jelas aja kamu gak lihat, nunduk gitu.” Rini melanjutkan pencariannya.
Di dekat ruang makan, Rini melihat ada Bagas sedang bermain dengan beberapa anak panti. Rini mendekatinya, berharap Bagas tahu keberadaan Laras.
“Mas Bagas, lihat bu Laras tidak?” tanyanya dengan nada selembut mungkin.
“Tadi aku lihat sedang berbincang dengan Naya di kamarmu. Coba kamu lihat ke sana.” Bagas kembali bercanda dengan Doni dan anak lainnya.
“Makasih, Mas Ganteng.” Ucapnya centil, lalu bergegas kembali ke kamarnya.
“Bu,” Rini sampai di depan kamarnya dan melihat Laras sedang berbicara dengan Naya.
Laras menoleh ke pintu dan melihat Rini yang berdiri di sana dengan napas terengah-engah. “Kamu ini kenapa, Rin? Kok seperti habis dikejar setan.”
“Bu, ini lebih menakutkan dari rajanya setan. Ada mobilnya pak Indra masuk ke halaman, Bu.” Ucapnya panik disertai gerakan heboh yang khas dari seorang Rini Rusnani, mantan penyanyi dangdut kampung Pahlawan.
“Halah, lihat mobilnya saja kamu heboh begini. Apalagi lihat pemilik mobilnya.” Tukas Laras seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lho, bu Laras ini gimana. Kalau ada mobilnya berarti ada pemiliknya, Bu. Masa mobilnya datang sendiri tanpa penumpang?”
“Bisa saja itu pak Haris yang datang. Sudah sana, temui dulu siapapun yang datang.” Laras menyuruh Rini kembali ke depan.
Dengan wajah cemberut rini kembali ke depan. “Huh, hari-hari ngurusin anak yatim piatu yang hampir gila itu. Apa manfaatnya coba?” Sambil menggerutu, Rini berjalan ke depan seperti perintah Laras.
Sepeninggal Rini, Laras kembali duduk di sebelah Naya. “Nay, sepertinya orang suruhan pak Indra datang untuk menemuimu. Ayo kita temui, tidak sopan membuat mereka menunggu terlalu lama.” Bujuk Laras.
****
Tiga bab pertama sudah berhasil di up. Jangan lupa like, komen dan votenya ya. Tunggu lanjutan ceritanya ya, akan up setiap hari. See you.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Fadhilatul Maslukha
sabar naya....
2021-04-21
1
DIAN MARTA
selalu ada yg julid yaaaaaa..... mbyak rini
2021-03-22
1
Fitri Lin
ikh mbk rini mulutnya jaaaahhhaaattt...
2021-03-02
2