Entah berapa lama Haura tertidur sebab tangisnya. Hari sudah gelap saat ia membuka mata.
"Hau ...."
Haura berusaha bangkit dari posisinya saat panggilan untuknya terdengar. Ada ayahnya yang tengah duduk di bangku riasnya, menatapnya penuh sesal.
"Ayah."
Harun mendekat, dan memeluk putri kandungnya itu. "Maafkan Ayah, sayang," bisiknya serak.
Haura tahu, Ayahnya kini tengah menangis.
"Maaf untuk ketidak berdayaan Ayah," ucap Harun lagi.
Haura mengurai pelukannya, memegang kedua bahu ayahnya, menatapnya dengan teduh. Rupanya tidur mampu membuat emosinya lebih baik.
"Ayah tidak bersalah, dan Ayah tidak perlu meminta maaf. Haura akan jalani pernikahan ini, Yah." Haura mengusap air mata yang jatuh di pipi Ayahnya, tak lupa ia sematkan senyum tipis di bibirnya. Berharap Ayahnya tak melihat rasa yang ia sembunyikan.
"Jangan!!!" ucap Harun.
Haura menatap Ayahnya bingung.
"Jangan mau menerima pernikahan ini, kamu putri Ayah satu-satunya. Kamu harus bahagia dengan pria yang kamu pilih."
Haura semakin tidak mengerti.
"Pergilah dari sini. Bawa semua mimpimu, dan kembalilah bersama mimpi yang telah kamu gapai."
"Ayah ... Hau, ___"
"Tidak, jangan bicara lagi. Ayah sudah mengatur semua untuk mu. Kemasi barang mu sekarang, bawa seperlunya saja." Harun tersenyum meyakinkan.
Menuruti perintah ayahnya, Haura segera memasukkan beberapa lembar baju dalam ranselnya. Harun memberinya sedikit uang untuk bekal Haura kabur. Diam-diam Harun sudah memberikan obat tidur pada istri dan anak tirinya. Begitupun dengan para tukang pukul ayahnya Rio, si rentenir. Mereka semua tertidur pulas menikmati efek obat yang diberikan Harun, dan tak menyadari jika di saat itu Haura sudah pergi dibantu oleh ayahnya.
Harun mengantar Haura sampai ke jalan besar, untuk Haura mendapatkan kendaraan.
"Yah ... Hau nggak mau jauh dari, Ayah." Haura akan menangis jika saja Harun tak meyakinkannya.
"Kamu ingin Ayah bahagia, bukan?" Harun menatap putrinya sendu, yang dibalas Haura dengan anggukan.
"Kalau begitu pergilah yang jauh. Bahagiakan dirimu, raihlah mimpi yang selama ini kamu inginkan. Dengan membahagiakan dirimu sendiri, kamu sudah membuat Ayah bahagia."
Haura kembali mengangguk, kali ini tak bisa lagi ia tahan tangisnya.
"Jangan sia-siakan perjuangan kita kali ini, tidak usah memberi kabar. Dan pulanglah nanti saat mimpi mu sudah kamu raih, saat mama kamu tidak bisa lagi meremehkan mu." Harun kembali memeluk putrinya.
Sama seperti Haura, sejujurnya ia tak ingin berpisah dengan putri satu-satunya. Harun harus kuat, dia harus rela membiarkan putrinya jauh untuk kebahagiaan putrinya. Harun bukannya tidak tahu, jika selama ini Haura selalu diperlakukan tidak adil oleh Mirna. Wanita yang ia nikahi saat Haura berusia sembilan tahun itu, ternyata tidak pernah suka pada putrinya.
Sikap yang dulu ia tunjukkan untuk mendapat simpati dari Harun dan Haura, semua palsu belaka. Saat tahu sikap buruknya, Harun hampir saja menceraikan istri keduanya itu, namun Haura melarangnya. Karena, setelah sekian tahun menduda, hanya Mirna yang mampu mengetuk hati Harun untuk menikah lagi. Bagi Haura, asal Ayahnya ada yang merawat dan memenuhi kebutuhannya, itu sudah cukup.
"Bagaimana dengan Ayah? rentenir itu tidak akan memaafkan Ayah jika aku kabur," tanya Haura takut.
"Itu urusan Ayah dan mama mu. Sekarang jangan pikirkan apapun selain kebahagiaan mu. Pergilah!"
Di saat yang sama bis yang di tunggu-tunggu untuk membawa Haura pergi pun tiba. Setelah pamit, Haura menaiki bis itu. Harun menatap sedih kepergian Haura. Air matanya semakin deras, saat pandangannya tak mampu lagi melihat kendaraan yang membawa putrinya.
Pagi Hari, Haura sampai di terminal yang ia tuju. Ia turun dari bis dengan mata sembabnya, karena semalaman di dalam bis, ia terus saja menangis. Dengan ransel yang ia gendong, Haura menatap nyalang ke terminal yang asing ini. Tak ada tujuan, tak ada sanak saudara.
Haura mulai bingung, ke mana ia harus pergi. Ayahnya hanya berpesan agar Haura pergi yang jauh, tanpa memberi tahu ia harus ke mana. Haura melihat pedagang asongan yang membawa minuman botol yang dipanggul di pundaknya. Dahaga langsung ia rasakan, semalaman menangis membuat tenggorokannya kering.
"Pak!" panggil Haura sedikit berteriak.
Pedagang asongan pun nendekat. "Butuh apa, Mbak?"
"Air mineral satu, Pak."
"Lima ribu, Mbak," ucap pedagang itu sembari mengulurkan apa yang Haura minta.
Haura merogoh saku jaketnya dan memberikan lembaran uang berwarna biru.
"Yang kecil aja, Mbak." Tolak pedagang itu.
"Nggak ada, Pak."
"Saya tukar dulu, ya? Mbak tunggu di sini saja, dan dagangan saya ini jaminannya." Pedagang itu meninggalkan Haura bersama dagangannya.
Haura tak punya ponsel, karena sengaja ponselnya ia tinggalkan di rumah agar tak terlacak. Haura berpikir, ke mana dia akan pergi.
"Ini, Mbak." Pedangan itu kembali dengan membawa uang kembalian untuk Haura.
"Pak," panggil Haura saat pedagang itu hendak pergi.
"Iya, Mbak. Ada apa?"
"Kalau mau cari kos-kosan di mana ya, Pak?"
Pedagang asongan itu pun berpikir sebentar, mengingat-ingat di mana ada kos-kosan yang ada di dekat terminal ini. Lalu memberi tahu Haura alamat kos paling dekat.
"Terima kasih, Pak." Haura pergi mencari alamat yang bapak asongan tadi berikan. Namun, keberuntungan belum bersamanya. Ternyata, kos itu sudah penuh.
Tanpa tujuan, Haura kembali berjalan. Menyusuri ramainya jalanan ibu kota. Haura pikir, ia sudah berhati-hati dalam berjalan dan memilih jalur yang tepat. Tak disangkanya, Sebuah motor matic merah dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya tanpa kendali, hingga menyerempet Haura, dan membuat Huara pingsan karena terbentur trotoar.
Haura terbangun di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat dan pusing saat ia membuka matanya. Haura kaget, saat ia tersadar ada wajah asing tengah menatapnya aneh.
"Sudah sadar?" ucap pria itu.
Haura diam, bingung dengan pertanyaan pria yang masih menatapnya intens itu.
"Maaf ya, gue nggak sengaja nabrak lo. Tiba-tiba aja rem gue blong, gue pikir gue tabrakin aja ke trotoar biar berhenti. Gue juga udah peringatin lo buat minggir sebelumnya, tapi kayaknya lo nggak denger. Eh ... malah nabrak lo jadinya." jelas pria asing itu.
Haura mulai mengerti, kenapa ia bisa terbangun di atas ranjang rumah sakit.
"Rumah kamu di mana? Biar gue antar," tawar pria itu.
Haura terdiam memperhatikan pria di sampingnya itu.
"Kalau nggak mau ya sudah, tapi nggak usah natap gue horor gitu."
Haura memang sedang memperhatikan pria ini dengan tatapan menyelidik.
"Hei!" panggil pria itu untuk mengehentikan aksi Haura yang membuatnya tidak nyaman.
Haura menolehkan kepalanya, setelah menyadari apa yang ia lakukan tidak sopan.
"Gue bukan orang jahat, tapi gue bisa jadi jahat saat ada yang berani nantangin gue dengan tatapan horornya." Canda pria itu diiringi tawa kecil.
Tidak takut mendengar apa yang pria itu katakan Haura justru memutar bola matanya malas.
"Di mana rumah lo, gue antar sampai rumah, kali ini dengan jaminan keselamatan." pria itu masih saja bercanda.
"Gue nggak punya rumah, gue lagi cari kos-kosan," jawab Haura jujur. Setelah menyelidik dan menilai tentang pria di sampingnya ini.
"Udah dapat?"
Haura menggeleng. "Gue baru mau nyari, tapi udah lo antar ke rumah sakit." Haura mencebik.
Pria itu hanya nyengir, menggaruk kepalanya yang tiba-tiba berketombe.
"Sebagai permintaan maaf gue, mau gue bantu cari kos-kosan, nggak?"
"Serius?!"
Pria itu mengangguk yakin. Setelah menyelesaikan administrasi di rumah sakit, pria itu membawa Haura pergi, kali ini naik angkot.
"Dari tadi kita ngobrol tapi gue belum tahu siapa nama lo," ucap pria itu saat duduk di angkot. "Perkenalkan nama gue, Kai." Kai mengulurkan tangannya.
"Haura," jawab Haura tanpa mau membalas uluran tangan Kai.
Tak ingin bertambah malu, Kai menarik tangannya dan ia usapkan ke rambutnya yang hitam tebal.
❤️❤️❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Erni Fitriana
ohhh pengendara motor matic itu namanya kai
2023-11-10
1
Kendarsih Keken
syedih yak hidup nya Haura
2023-06-26
1
Yulla_Gv
next
2021-10-22
1