Haura keluar dengan perasaan sedihnya, hari pertamanya bertemu dengan pangerannya menjadi hari terakhirnya juga melihat wajah tampan itu. Kecewa, itu yang ia rasakan.
Ini semua bukan salahnya, kan?
Wanita itu yang menyuruhnya masuk dan membersihkan toilet. Haura akan keluar jika wanita itu sudah memerintahkannya. Siapa yang sangka jika setelah berjam-jam di dalam toilet tak ada panggilan untuknya. Siapa juga yang bisa memprediksi jika bos tampannya akan masuk dan menggunakan toilet di saat ia masih ada di dalam.
Bahkan saat Haura terusir dengan pemecatan dirinya, wanita yang tadi dengan angkuh menyuruhnya berdiam di dalam toilet itu tak lagi terlihat di ruangan bosnya. Ingin sekali Haura marah pada wanita itu. Wanita yang pergi tanpa memenuhi janjinya, dan membuat dirinya kehilangan pekerjaan sekaligus kesempatan untuk memikat bos pemilik perusahaan, seperti khayalannya yang sudah ia rancang selama ini.
Haura kembali ke lantai bawah, di mana divisinya berada. Mengembalikan segala peralatan kebersihan yang tadi ia bawa, membersihkan tangannya dan mengambil tas slempangnya.
Haura benar-benar merasa kacau, dia tak pedulikan setiap sapaan yang menghampirinya. Hari ini adalah hari yang awalnya ia anggap menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya, tapi berakhir jadi hari paling buruk yang ia alami.
Haura berdiri di halte, dekat kantornya. Duduk di sana, menyesali kenapa tadi dia tidak membela diri. Haura bukan tipe yang mudah mengalah, tapi berhadapan dengan pria tampan tadi membuat Haura tak berdaya, dan pasrah dengan ketidak adilan yang ia alami.
Dalam diam dan kesendiriannya, sebuah motor matic merah menghampirinya. Membunyikan klaksonnya beberapa kali untuk memanggil Haura yang tengah menunduk sedih.
"Pulang, nggak!" teriak pria di atas motor.
Haura mendongak, mengenali suara yang memanggilnya. Tanpa pikir panjang lagi, Haura naik ke atas motor. Melingkarkan lengannya di perut pria bertubuh ideal itu. Tidak kurus, tidak juga tambun, tapi pas untuk dipeluk.
Pria itu melirik lengan Haura yang melingkar di perutnya, merasakan kepala gadis yang diboncengnya bersandar pada bahunya. Merasa sudah siap, ia pun menarik tuas gasnya. Motor matic merah yang selalu jadi saksi kebersamaan Haura dan supirnya ini melaju membelah jalanan yang semakin ramai dengan para pejuang rupiah yang hendak pulang. Tak ada percakapan apapun seperti biasanya. Haura hanya terdiam, bersandar pada tubuh yang membawanya entah kemana.
"Turun!" perintah pria itu.
Haura menegakkan tubuhnya, menoleh ke kanan dan kirinya. Mencari tahu di mana ia berada saat ini, parkiran taman kota. Haura hafal benar tempat ini, karena di tempat ini Haura sering menghabiskan waktu malam minggunya selain begadang membaca novel online.
"Tunggu, ya!" Pria itu turun dari motor, meninggalkan Haura sendiri.
Haura tidak kaget, karena Haura tahu kemana pria itu pergi. Haura segera mencari tempat duduk, di mana teman laki-lakinya bisa menemukannya. Persis seperti dugaan Haura, temannya datang dengan membawa dua jagung bakar dan es teh.
"Terima kasih." Haura menerima jagung dan juga es tehnya. Tak menunggu dipersilahkan, Haura segera memakan jagung bakarnya setelah meletakkan es tehnya di bangku yang ia duduki.
"Lo, kenapa, Hau? Bete banget kayaknya." Pria itu menoleh, menatap Haura yang makan dengan tenang jagung bakarnya. Ini bukan Haura. Haura yang ia kenal tak akan jadi pendiam begini, Haura temannya adalah gadis bermata indah yang ceria. Seperti namanya, Haura Kaifiya.
Haura berhenti mengunyah, menurunkan jagung bakar yang sudah ada di depan mulutnya. Haura menatap temannya dengan serius.
"Gue, dipecat." Haura ingin menangis karena kehilangan pekerjaannya.
Pria itu kaget mendengar apa yang dikatakan Haura. "Siapa yang berani mecat, lo!"
"Wah ... cari gara-gara nih orang, berani-beraninya mecat temen gue!" Pria itu berdiri, merogoh ponsel di saku celana jeansnya. Mencari nama yang akan ia hubungi.
"Lo telfon, siapa?"
"Gue telfon pak Amin, dia kan yang sudah berani mecat lo. Dia harus tarik kembali ucapannya, dan nerima lo kerja lagi."
"Nggak usah telfon pak Amin, yang mecat gue bukan dia."
Pria itu semakin kaget.
"Gue dipecat langsung sama yang punya perusahaan."
Pria itu semakin melongo. "Kok, bisa?"
Haura menyuruh teman prianya untuk kembali duduk sebelum ia menceritakan kisah pemecatannya.
Tawa pria itu langsung membahana, setelah mendengar cerita Haura tentang bagaimana ia tadi dipecat dengan tidak adil.
"Berhenti nggak, lo!" Perintah Haura pada pria yang seolah mentertawakan cerita.
"Ok ... Ok ...." Pria itu menutup mulutnya untuk meredam tawanya. "Lo, tenang aja. Besok gue bicara sama temen gue yang punya pengaruh di kantor itu, biar lo bisa kerja lagi."
"JANGAN!!!" tolak Haura.
"Kenapa?"
"Gue nggak mau ngerepotin lo terus."
Haura mengingat bagaimana dirinya sudah banyak merepotkan pria yang tengah duduk di sampingnya ini.
Flash back
Hari itu, rumah Haura sudah dihias dengan dekorasi cantik dari bunga-bunga. Dia menatap pelaminan yang akan ia duduki bersama pria yang tak pernah ia inginkan.
Haura tersenyum getir menatap kursi pelaminan. Rasanya ingin menangis saja, karena pada akhirnya dia harus menyerah pada ibu tirinya. Menikah dengan pria yang ibunya pilihkan. Seolah semua perjuangannya sia-sia. Selama ini Haura menolak untuk ditindas. Dia tidak pernah mau diperbudak oleh ibu tirinya, yang sama kejamnya dengan ibu tiri cinderella.
Namun kali ini, ia tak bisa menolak apalagi memberontak. Dia harus pasrah memenuhi keinginan ibu tirinya jika ingin ayahnya selamat. Ayahnya yang hanya seorang pemilik kedai kopi terpaksa harus menjaminkan sertifikat kedai miliknya demi memenuhi gaya hidup hedon istrinya. Hingga akhirnya, hutang yang awalnya tak seberapa menjadi menggunung akibat besarnya bunga yang harus dibayar.
Awalnya Haura tak pernah tahu jika ayahnya punya hutang yang besar pada rentenir. Semua terbongkar saat Haura sudah lulus sekolah dan ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Saat itulah, ayah Haura berkata jujur jika ia tak mampu membiayai pendidikan Haura. Selain penghasilan dari kedai yang menurun, hasil dari usahanya itu hanya cukup untuk biaya hidup dan membayar bunga pada rentenir.
Entah apa yang ibu tiri Haura pikirkan, hingga ia mendatangi rentenir dan menawarkan Haura untuk menebus sertifikat kedai milik suaminya. Dengan alasan itu, Mirna yang merupakan ibu tiri Haura memaksa Haura untuk menikah dengan anak dari si rentenir. Pria yang sangat Haura kenal, karena Rio adalah kakak kelas Haura semasa SMA. Pria yang terkenal dengan segala kebejatannya itu memang sudah lama menginginkan Haura, yang jelas-jelas akan menolak untuk ia nikahi.
Hutang ayah Haura seperti kunci untuk membuka jalannya mendapatkan Haura. Terlebih ketika ibu tiri Haura sendiri yang mendatangi ayahnya untuk meminta mengembalikan sertifikat kedai milik suaminya. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Rio langsung membujuk ayahnya agar setuju untuk mengembalikan sertifikat kedai dan menganggap hutang dari Harun lunas dengan imbalan menikahkan dirinya dengan Haura. Sebab itulah, saat ini Haura menatap pelaminan yang tak ia impikan dengan tatapan nanar.
"Hau, apa kamu baik-baik saja, Nak?" Harun menepuk bahu Haura dari belakang, setelah sebelumnya memperhatikan kesedihan putri tunggalnya.
Haura menoleh, memegang tangan sang ayah yang masih menempel di bahunya. "Haura baik-baik saja, Yah." Haura memaksakan senyumnya untuk menutupi segala kesedihannya.
Melihat tatapan sang Ayah, membuat Haura tak bisa berlama-lama dengan ayahnya. "Hau, ke kamar dulu, Yah." Tanpa menunggu jawaban Haura segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Haura membanting tubuhnya di atas ranjang, ia menangis di sana. Haura sudah berusaha jadi gadis yang kuat dan tegar setelah kematian ibunya, terlebih sejak ayahnya menikah lagi dengan ibu tirinya yang selalu menampakkan kebencian padanya.
Dia tak pernah ingin jadi cinderella, yang selalu diinjak dan diperbudak oleh ibu tiri dan juga saudara tirinya. Haura selalu berusaha melawan saat mendapatkan penindasan, yang membuat ibu dan juga kakak tirinya semakin membencinya.
'Brak'
Nancy melempar kebaya yang akan Haura kenakan besok tepat di atas tubuh Haura yang tertelungkup. "Pakai itu besok!" teriak Nancy yang langsung pergi tanpa salam.
Haura tak peduli dengan apa yang dilakukan kakak tirinya, dia juga tak lantas bangun meski tubuhnya tertutup kebaya yang di lempar Nancy. Haura ingin memuaskan tangisnya, berharap perasaannya jadi lebih baik.
.
.
.
.
.
.
❤️❤️❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Erni Fitriana
ibu tiri...ibu tiriiiiiiiiii😞😞😞😞😞
2023-11-10
1
Yulla_Gv
Panggilannya..🤭lucu tau
Hau..unik y😅
knp ga panjang aza Ka, Haura..ato Ra
Biar beda y Ka..👍
2021-10-22
1
Little Peony
Tinggalin rumah aja Haura
2021-08-04
1