...3. Continue or ... Quit...
Kirei
Beberapa hari telah berlalu sejak liputan ke tempat kejadian perkara. Ia mulai sibuk untuk menyiapkan laporan kelanjutan kasus yang sedang diliputnya.
Kemarin sudah menyerahkan dua kasus lanjutan dari mas Anton yang telah diperbaiki sedikit ke meja mas Aldi selaku koordinator program. Entah apa tanggapannya, ia berharap lolos review dan bisa naik lagi ke meja produser eksekutif. Atau langsung tembus ke pimpinan redaksi.
Tapi, angan-angan itu lenyap sudah saat Aldiansyah sang koordinator melempar sebuah map hasil laporan peliputan ke meja kubikelnya.
Braakk.
Ia mendongak kaget. Terlihat wajah Aldi datar tak bisa diartikan maksud dari tindakannya tadi.
Tapi yang jelas firasatnya mengatakan ‘something is not okay’.
“Ke ruangan saya,” perintah Aldi.
Bergegas ia bangkit dari kursi, merapikan kemeja yang sedikit kusut dan menyambar map yang tadi dilempar Aldi.
Mengetuk pintu dua kali, lalu ia masuk tanpa menunggu jawaban suara dari dalam.
“Sore, Mas.” Sapanya dengan tetap berdiri di depan meja kerja Aldi.
“Berapa tahun kamu sudah bekerja jadi jurnalis?” Tanya Aldi datar sembari memainkan pena yang diputar-putar dengan ibu jari dan jari telunjuknya.
“Satu tahunan, Mas.”
“Kamu tahu, dengan waktu satu tahun harusnya hal sepele seperti itu tak akan terjadi,” ucapnya sambil melirik pada map snelhecter yang ia bawa.
“Buka laporan peliputan kamu!” Titah Aldi.
Dengan sigap, ia membuka berkas dari map tersebut.
...‘Laporan peliputan kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak jalanan di kota Solo’...
Lembaran pertama fix, kedua oke, ketiga lolos, keempat lanjut, kelima...? Banyak stabilo berwarna warni bertebaran di sana. Begitu pula lembaran keenam, tujuh dan delapan. Bukan hanya pelangi stabilo yang menghiasi, tapi coretan yang semuanya hampir menutupi tulisan aslinya.
Oh my god! Pekiknya dalam hati.
Refleks ia mengusap air mukanya. Beberapa kali berusaha menelah salivanya yang rasanya sulit karena tiba-tiba kerongkongannya kering kerontang.
“What did you find there? (Apa yang kamu temukan di sana)”
Tercekat. Sungguh ia seperti dihujani beribu pertanyaan tapi tak satu pun ia mampu menjawabnya.
“Receh!” Ejekn Aldi.
DEG
Apa maksudnya? Ia masih berdiri memaku.
“Saya gak mau tau. Besok laporan itu sudah ada di meja saya paling lambat jam 10 pagi. Kalo kamu gak sanggup ada dua pilihan.” Aldi menjeda ucapannya.
“Continue or ... quit."
Mendadak wajahnya memanas. Bahkan rasa panas itu seolah-olah menumpuk di kedua bola matanya.
Ia tidak pernah, oh bukan ... bukan, koreksi. Belum pernah mendapat perlakuan seperti ini selama kerja di divisi entertain. Tapi ini belum genap satu bulan ia sudah diberi pilihan.
Mimpi apa semalam. Dasar makhluk aneh menyebalkan! Ucapnya dalam hati.
Setelah keluar dari ruangan koordinator, ia berjalan ke meja kerjanya dengan lunglai. Semangatnya yang terbang tinggi semenjak diberi mandat di news program apa lagi support dari pak Rahmat sebagai produser eksekutif mendadak terhempas jatuh ke lembah curam yang paling dasar.
Cairan bening lolos begitu saja dari sudut matanya, namun dengan cepat ia seka agar rekan-rekan kerjanya tidak mengetahui kondisinya yang kacau saat ini. Terpuruk.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ruangan divisi news sudah sepi, hanya tinggal 2 orang termasuk dirinya.
“Rei, kamu lembur?” Tanya Oka rekan kerja satu divisi yang menghampirinya dan berdiri tepat di hadapan kubikelnya. Jika posisi berdiri bilik kubikel itu hanya sedadanya. Sehingga Oka bisa melihat langsung apa yang sedang dikerjakannya.
“Iya, nih.”
“Mau aku temenin, gak?”
“Eh, gak usah, Ka. Bentar lagi kok!”
“Okelah, kalo gitu. Aku duluan, yaa. Jangan terlalu malam. Ada info dari BMKG sore sampai malam ini Semarang dan sekitarnya hujan deras. Laut pasang. Biasalah, banjir rob yang tak berkesudahan,” terang Oka panjang lebar. Maklum Oka anak divisi news, program TVS Seputar Jateng. Info terkini selalu masuk dalam kantongnya.
“Oke. Thanks ya infonya.”
“You’re welcome,” balasnya sambil melambaikan tangan pergi.
Oka sudah meninggalkan ruangan. Tinggallah ia sendiri.
Menekuri berkas yang perlu diperbaiki. Lalu pandangannya beralih ke layar komputer di depannya. Mencocokkan data yang telah dirangkum. Begitu terus hingga ia rasa pekerjaannya selesai.
Tangannya pegal. Ia menggeliat, sudah berapa jam di depan layar komputer rasanya punggungnya kaku. Matanya lelah. Dihempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
Matanya tak sengaja menatap jam dinding pada tembok. Ya ampun sudah jam 10 malam rupanya. Buru-buru ia save as file yang baru diperbaiki. Ia simpan ke dalam flashdisk. Berniat untuk print di apartemen saja besok pagi sebelum berangkat kerja.
Done!
Ia mematikan perangkat komputer. Meraih tas ransel yang tergeletak di bawah meja. Mematikan saklar lampu penerangan dan menutup pintu.
“Lho, Mbak Rei belum pulang?” Tanya satpam yang berjaga saat jumpa di lobi.
“Biasa, Pak. Nglembur." Jawabnya.
“Mau naek apa, Mbak? Jam segini sudah tidak ada angkutan,” tanyanya lagi.
“Nah, itu dia, Pak. Mungkin jalan ke depan dulu nyari becak.”
“Ati-ati Mbak Rei. Di luar hujan dari tadi sore sekarang malah banjir.”
“Makasih Pak,” jawabnya santai. Mendengar kata hujan dan banjir baginya sudah terbiasa. Apa lagi banjir rob yang melanda tak kenal musim hujan.
Benar saja saat keluar lobi, ia disambut dengan hujan angin yang tidak terlalu deras namun kalau tidak memakai payung dipastikan tubuhnya akan basah kuyup.
Ia ambil payung kantor yang terbiasa tersimpan di pojok dekat pintu masuk. Syukurlah ada dua buah payung tersimpan di sana.
Baru keluar area gedung kantor TVS sudah disambut banjir. Ia tetap melangkah menyusuri jalan Pangandaran berharap menemukan tukang becak maupun ojeg pangkalan. Meski harapan itu dikikis oleh kenyataan air bah di mana-mana.
Hujan deras yang turun dari sore hingga saat ini ditambah info dari BMKG air laut pasang mengakibatkan genangan air di mana-mana. Jalan Pandanaran ini saja airnya bisa merendam kakinya hingga sebetis. Bisa jadi ketinggian air 20-30 centi meter.
Jalanan tampak lengang. Ia terus melangkah menerjang banjir. Celana panjangnya sudah basah hingga sepaha. Akibat riak-riak air saat berjalan. Lalu pakaiannya juga sebagian basah akibat hujan angin. Payung itu sepertinya hanya melindungi kepala dan tas ranselnya saja.
Ia lebih memilih menyelamatkan tas ranselnya yang berharga. Sehingga punggungnya basah kuyup. Beruntung jaketnya sedikit mengurangi rasa dingin yang menerpa.
***
Danang
Lelah begitu rapat dengan seluruh jajaran kepala bagian dan kepala sub bagian di jajaran Ditreskrimsus usai.
Waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Ia memutuskan mengendarai mobil patwal kantor berjenis ford, sebab info yang didapat Semarang kota dan kecamatan sekitarnya juga terendam banjir.
Mobil jenis sedan kepunyaannya jelas tak mampu menerjang dan bisa fatal jika harus memaksakan.
Ternyata selama perjalanan ke apartemennya banyak warga yang terjebak. Beberapa orang ia tawari untuk menumpang dengan arah jalan yang sama.
Tin ... tin ... tin
“Berani sekali dia jalan sendirian malam-malam hujan begini,” gumamnya saat di depan ia melihat seseorang tengah berjalan menerjang banjir.
Ia mengklakson berkali-kali, namun orang tersebut tidak peka. Sampai akhirnya ia menghentikan mobilnya tepat di sisi kanan orang itu.
“Mau ke mana?” Tanyanya dengan menelengkan kepalanya saat kaca samping penumpang terbuka secara otomatis
“Eh, Pak Wadir,” balas gadis itu setengah terkejut tak menduga
Ia pun mengerutkan alisnya. Mencoba mengingat-ingat.
“Sa-ya mau pulang, Pak.”
“Arah mana?”
“MT Haryono.”
“Bareng saya saja. Saya juga mau ke situ,” ajaknya.
Ia melihat sekilas Kirei setelah duduk di bangku penumpang sampingnya.
“Kamu tinggal di mana?”
Gadis itu menyebutkan salah satu apartemen yang terletak di jalan MT Haryono. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit.
Tidak banyak yang mereka perbincangkan. Hanya bertukar nomor ponsel. Selebihnya keheningan yang menjeda di antara keduanya.
***
Kirei
Tiba di apartemen ia langsung masuk, begitu mobil patroli itu hilang dari pandangan. Terukir seutas senyuman dari bibirnya.
Itulah salah satu alasannya memilih apartemen untuknya ditinggali. Bukan karena tak mau bersosialisasi. Tapi sekedar menjaga privasi. Pekerjaannya sebagai jurnalis terkadang menuntutnya tak pandang bulu soal waktu. Seperti malam ini ia tiba di apartemen hampir tengah malam.
Dulu sewaktu tinggal di kosan ia menjadi buah bibir tetangga kamar. Pulang larut. Terkadang tidak pulang karena meliput acara di luar daerah. Dan terkadang pagi sebelum fajar menyingsing ia harus pergi menjemput rezeki.
Semua ia lakukan demi satu kata, ‘profesionalisme’ kerja.
Tapi ada saja yang tidak memedulikan alasannya. Memfitnah dan mencibirnya. Membuatnya semakin tertekan hingga ia putuskan tinggal di apartemen.
Meski apartemen yang ia tinggali bertipe studio dengan luas 21 meter persegi. Ia harus bersyukur mempunyai kakak yang sangat sayang padanya. Kakak sekaligus pengganti ayah baginya.
“Tenang aja, Rei. Kakak yang bayarin apartemen. Gaji kamu simpan aja buat makan sama kebutuhan kamu.” Ucap Ken saat ia bercerita tentang rencana kepindahannya.
Saat ia menceritakan masalah yang dialaminya, dialah orang pertama yang akan membantu dan berdiri melindunginya. Mencarikan apartemen bahkan langsung full paid untuk satu tahun.
“I’m so lucky to have a brother like him (aku beruntung memiliki kakak seperti dia)," gumamnya.
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungan yaa .... 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Ei_AldeguerGhazali
Kyk real bgt ceritanya, semua nama jalan nya nyata wkwk btw salam dari aku warga semarang kak😁
2024-10-27
0
???
masih anteng nyimak😁
2022-07-16
0
Isma Wati
kalian harus tau ya, pekerjaan jurnalis tuh berat, tapi g sebanding dengan gajinya, soalnya suami kerja d entertaint
2022-03-27
0