...2. Kematian Tragis...
Berbekal informasi yang telah didapat, mobil kantor melesat ke jalan Simongan yang tak jauh dari klenteng Sam Poo Kong. Banyak pabrik di area itu. Salah satunya pabrik tekstil yang akan dituju.
Pakaian kebanggaan sebagai jurnalis TVS dan id card ia kenakan. Beserta tas ransel yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Tas ransel itu berisi buku catatan, perekam suara atau recorder, ponsel pintar bermerk terkenal, headset, jaket, air minum dan kamera.
Sebenarnya kamera ini tidak wajib dibawa, karena saat peliputan berita biasanya kameramen juga ikut turut serta. Namun untuk jaga-jaga ia selalu membawa kamera di ranselnya. Dan yang tak boleh dilupakan juga adalah jaket atau sweter. Bagaimanapun, jurnalis tak kenal waktu. Bisa siang, sore, malam bahkan dini hari meliput. Saat terik maupun hujan badai tak menyurutkan langkah untuk mendapatkan berita. Jadi jaket adalah pertahanan terakhir untuk melindungi tubuh.
Saat terik begini bahkan siang belum juga menjemput, harus siap sedia juga air mineral yang selalu disimpan dalam botol tupperware. Jangan mengandalkan warung atau toko penjual minuman karena daerah yang akan diliput bisa jadi jauh dari jangkauan dan susah mencari pendagang.
Tidak mungkin juga sebagai jurnalis, mengharapkan minuman dan suguhan dari para saksi yang akan diwawancarai, bukan? Shameful.
Mobil yang membawanya telah berhenti tepat di sisi kanan jalan. Melihat parkiran mobil dan motor yang memenuhi lahan parkir tidak memungkinkan berhenti di situ.
“Ayo!” Seru Anton.
Ia dan Mas Budi sebagai kameramen, pun mengekori dari belakang.
Bertanya sebentar pada security yang berjaga di depan. Namun dari sikap security seolah tak mengharapkan kedatangan timnya.
Berbagai pertanyaan dilontarkan mas Anton, guna mendapat informasi meski secuil. Tapi justru dua security yang lain berdatangan menghampiri.
Benar-benar ditolak!
“Lantas kita kemana lagi, Mas?” Tanyanya pada Mas Anton.
“Kita ke tempat tinggalnya,” sahut Anton.
Ia pun mengikutinya.
“Eh, Mas. Tunggu! Di seberang sana ada ojeg pangkalan. Bisa jadi kita bisa mendapatkan informasi," ucapnya memberikan opsi.
“Aku udah pernah bertanya sama mereka, Rei. Ya kan, Bud?” Balas Anton meminta dukungan Budi atas pernyataannya.
Budi mengangguk, tapi tak lama berucap, “Tapi waktu itu hanya 2 ojeg aja yang berada saat kita mewawancarai mereka. Lihat sekarang, mereka banyak!”
“Oke ... oke kita ke sana!” Seru Mas Anton.
Berjalan menyeberangi jalan besar, sampailah ke tempat pangkalan ojeg. Mereka menggunakan jaket oranye sebagai indentitas.
Setelah memperkenalkan diri kepada tukang ojeg yang berjumlah 7 orang tersebut, membuatnya mengernyitkan dahi. Tak ada satu pun yang mengenali korban.
Katanya korban tidak pernah naik ojeg. Lantas ....?
“Saya pernah lihat dia naik becak, Mas.” Tukas bapak ojeg yang berkumis tebal.
“Oh, ya?” Sahut Kirei senang. Ada celah pikirnya.
“Kapan dan di mana biasa becak mangkal?” Tanyanya.
“Kalo seputaran di sini gak ada pangkalan becak, Mbak. Kalo simpang depan sana ada,” jawab bapak ojeg itu sambil menunjuk arah.
“Bapak tau ciri-ciri becak yang membawa korban atau kenal sama bapaknya yang mengayuh becak?” Tanyanya lagi.
“Waduh, saya gak memperhatikan, je ....” Balas bapak ojeg dengan logat jawanya.
“Oke Pak, suwun,”
Mentok!
Mobil menuju simpang depan yang katanya biasa becak mangkal di situ. Tapi nihil tak satu pun ada becak yang mangkal bahkan yang lewat pun.
“Kita ke mana lagi, Mas?” Tanyanya pada Mas Anton.
“Huh, udah jam berapa ini?”
“Sebelas.” Jawab Mas Budi yang duduk di depan di samping sopir.
“Kita makan dulu aja ” ujarnya. “Tanggung juga mau ke Polda. Nyampe sana pas jam istirahat,” sambungnya.
Mobil pun melaju ke arah kota. Namun saat di tengah perjalanan. Mas Anton menginstruksikan untuk putar balik. “Putar balik, Pak Yon!”
“Mas, ini mau kemana? Kok putar balik?” Tanya Kirei heran.
“Gak jadi ke Polda. Pak Wadir ngajak ketemuan di kantor Ditreskrimsus,” ucapnya.
“Pak, putar ke arah Banyumanik, ya!” Seru Mas Anton pada sopir kantor.
“Ya, Mas.” Sahut Pak Yon patuh.
“Kalian mau makan apa?” Tanya Mas Anton.
“Ngikut, aja.” Mas Budi menyahut.
“Ada soto gak, Mas. Kayaknya pengen yang seger-seger gitu,” celetuknya.
“Pak Yono mau makan apa?” Tanya Anton pada sopir yang bernama Yono.
“Saya juga ngikut aja, Mas. Semua masuk kecuali yang keras.”
“Batu kali, Pak Yon yang keras.” Sergahnya berkelakar.
“Ya makanya gak bisa makan batu, Mbak Rei ... he he he.”
Mobil telah berhenti tepat di sebuah warung makan ‘soto seger’ khas Boyolali.
“Wiih ... enak nih. Udah ngiler.”
“Ck, dasar!” Seru Anton.
Namun saat mereka akan mencari tempat duduk ternyata sudah penuh.
“Ton!” Panggil seseorang di meja ujung sendirian.
Kirei beserta rombongan spontan menoleh.
Orang itu memanggil dengan melambaikan tangannya, “Sini gabung!”
Pas kebetulan, meja orang itu kosong 4 kursi.
“Siang Pak Wadir,” ucap Anton sambil menjabat tangannya.
“Santai saja. Gak usah formal gitu.” Sahut laki-laki yang menggunakan seragam polisi.
“Kenalin, Pak. Ini rekan saya, Kirei.” Tunjuk Mas Anton padanya.
“Kirei,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.
“Danang,” balasnya dengan menyambut uluran tangan Kirei.
“Hayo, duduk! Langsung pesen aja,” ujarnya ramah.
“Makasih, Pak.” Ucapnya bersamaan dengan Mas Anton dan Mas Budi.
“Kamu masih pegang kameramen, Bud?” Tanya Danang pada Budi.
“Masih, Pak.”
“Kirei ini nanti yang akan gantiin saya, Pak.” Ujar Mas Anton.
“Oh, ya?!”
“Jadi kamu ke ibukota?”
“Ya,”
“Selamat deh. Semoga di sana lebih sukses.” Ucap Danang.
“Makasih, Pak.”
“Sori, gak jadi ketemuan di Polda. Soalnya habis rapat sama pimpinan tadi ternyata lebih cepat.” Ujarnya.
“Gak pa-pa, Pak. Kami pun baru dari TKP (Tempat Kejadian Perkara).
“Oh, ya?!” Danang terlihat mengernyitkan dahinya.
Dan perbincangan ringan terus berlanjut hingga makan usai. Para lelaki terlihat merokok. Kirei yang tak tahan dengan asap rokok pamit ke kamar mandi sebagai alasan.
Lima belas menit kemudian ia kembali bergabung.
“Kita langsung ke kantor aja,” ucap Pak Danang.
Perjalanan dari warung makan ini ke kantor Ditreskrimsus tidaklah jauh. Dengan menempuh perjalanan 15 menit menggunakan mobil.
Setelah perbincangan mengenai kasus yang sedang diliput TVS dan ditangani Ditreskrimsus mengarah ke hasil temuan dan bukti-bukti. Wawancara pun dimulai.
“Sejauh ini memang masih belum ditemukan tersangka. Saksi-saksi yang minim. Barang bukti yang dihilangkan. Semua terlihat rapi. Tapi kita tetap terus bekerja. Sampai menemukan titik terang.” Jelas bapak wadir.
“Saudara, kerabat, teman apa tidak ada yang bisa menginformasikan, Pak?” Tanyanya.
“Korban yatim piatu. Tidak ada teman dekat. Bahkan menurut teman-teman kerjanya korban terkenal introvert. Tidak banyak bicara dan tertutup.”
“Selama 1 tahun kerja?” Tanyanya lagi.
“Ya. Sejauh ini yang kami dalami,”
Kirei terlihat menggelengkan kepala. Tak percaya akan informasi yang diterima. Kematian yang tragis pikirnya.
Lalu, Pak Wadir menunjukkan bukti-bukti tambahan umum. Semua telah direkam dan diliput.
“Baik, Pak. Kami rasa cukup hari ini. Kami berterima kasih, Bapak sudah meluangkan waktunya. Mudah-mudahan kasus ini cepat terungkap,” ucap Mas Anton.
“Oke. Mudah-mudahan kasus ini cepat terungkap,” balasnya.
“Kami permisi, Pak.” Pamit Mas Anton. Ia dan Mas Budi pun ikut berpamitan.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Tujuan mobilnya kini ke Rumah Sakit Bhayangkara di Gayamsari.
Memperlihatkan Id card dan surat tugas. Mereka digiring ke ruangan dokter forensik yang melakukan autopsi terhadap korban.
Dokter Haryadi, Sp.FM itu menjelaskan secara jelas dan terperinci disertai foto dokumentasi. Bagaimana potongan tubuh itu dibagi menjadi delapan bagian. Terdiri dari kepala, perut, kaki empat bagian, tangan kanan dan kiri.
“Hoeek ... hoeek,” refleks Kirei membungkam mulutnya sendiri, bergegas pergi lari ke kamar mandi.
Perutnya seolah-olah diaduk dan diremas hanya mendengar cerita dari dokter forensik.
Semua makanan soto beserta pelengkapnya yang tadi siang membuatnya ngiler, dimuntahkan semua. Hingga ia merasakan lemas dan mulut terasa pahit.
Ia menggelengkan kepala. Setelah membersihkan mulutnya. Rasanya tak sanggup mendengar kelanjutan cerita dokter itu.
Am i capable (apakah aku mampu)?
Sedang mendengar cerita saja beserta dokumentasinya, sudah membuatnya jungkir balik. Apa lagi melihat secara langsung korban. Oh my god. I can’t do it.
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungan....ya! 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
🌾lvye🌾
baru pertama kali baca cerita ttg jurnalis... dan paling suka cerita ttg abdi negara 😍
2023-02-02
0
zha syalfa
dialek jogja 😅
2022-12-20
0
???
serem😱🤮
2022-07-16
0