Vano merebahkan badannya sesaat setelah sampai di rumahnya. Rasanya hari ini merupakan hari yang sangat melelahkan sekaligus menyebalkan baginya. Tapi dia tidak memungkiri bahwa ada setitik rasa bahagia karena wanita itu. Wanita aneh yang membantu mengerjakan tugas-tugasnya.
Pikiran Vano kembali melayang mengingat alasan keterlambatannya menemui Syasya sore ini. Vano menyelesaikan piketnya, setelah keluar dari kelas dan berjalan beberapa langkah, netranya menangkap sosok yang sangat tidak ia sukai. Tatapan keduanya bertemu sesaat setelah itu keduanya sama-sama memalingkan muka.
Tetapi sebelum pria itu pergi, suara Vano menggema di lorong sekolah. Entah mengapa suasana disana seketika mencekam.
“bajingan tetep aja bajingan” seketika langkah pria itu terhenti ketika menangkap apa yang dimaksud Vano. Tangannya mengepal hampir saja meninju Vano jika satpam tidak datang di saat yang tepat.
“bicara sekali lagi, gua bener-bener gak akan nahan buat ninju lo” pria itu melengos meninggalkan Vano dengan senyum sinisnya.
Ketukan pintu kamar menyadarkannya dari lamunan. Pria itu bangun dari tidurnya untuk membuka pintu.
“mandi dulu Al, habis itu turun ya. Makanannya udah siap” wanita paruh baya itu mengelus lengan putranya. Sementara Vano hanya mengangguk mengiyakan bundanya. Mengenai panggilan ‘Al’ dari bundanya itu didapat dari Alkanza. Orang rumah memang lebih sering memanggilnya Al daripada Vano.
“iya bunda, nanti Al turun” Vano sedikit mengukir senyum di bibirnya. Bukan senyum terpaksa, tapi entah kenapa senyumnya lebih sulit muncul setelah kejadian beberapa tahun lalu.
Vano berjalan menuruni tangga setelah ia selesai dengan urusan mandinya. Netranya menangkap sosok yang selalu ia sayangi dan selalu mengerti dirinya. Bunda Seira, sosok yang sangat peduli dengan anaknya dan juga Ayah Yoga yang terlampau protektif dengan putranya.
Bukan tanpa alasan, Vano merupakan anak tunggal di keluarga ini sehingga kedua orang tuanya selalu khawatir dengan masalah yang dihadapi putra semata wayangnya. Apalagi perubahan sifat Vano dua tahun lalu membuat orang tuanya mengawasi Vano lebih dari biasanya. Walaupun hingga saat ini anak itu tak berbicara apapun tentang apa yang dilaluinya sampai sifatnya berubah drastis, tapi Bunda dan Ayahnya tertap percaya pada Vano dan membiarkannya sampai nanti Vano sendiri yang akan bercerita.
Bundanya bukan tidak peduli atau semacamnya. Ia pernah sekali bertanya pada putranya. Tapi ekspresi Vano kala itu langsung berubah. sebagai seorang ibu, tentu saya bunda Vano peka dengan keadaan sehingga dia tak bertanya lagi hingga sekarang.
“gimana sekolahnya, Al?” pertanyaan rutin yang dilayangkan bundanya cukup menjadi penghangat dalam hatinya.
“baik, bun” dan seperti biasa pula, jawaban singkat, padat, dan jelas yang didapatkan sang bunda.
“katanya sebentar lagi ada turnamen basket, kamu ikutan bang?” sang ayah mencoba mencari topik untuk membuat anaknya berbicara.
“hhmmm” gumaman itu dirasa sudah cukup untuk membalas pertanyaan ayahnya.
“kamu ikutan di tim inti?”
“enggak yah, Al lagi sibuk-sibuknya belajar buat UAS” kebohongan yang sangat ketara. Sejak kapan Vanonya mulai suka belajar lagi? Terakhir kali Ayahnya melihat Vano belajar sekitar kelas satu SMA saat Ujian Tengah Semester ganjil.
“emmm baiklah” ucap ayah Vano.
Suasana menjadi sepi. Hanya dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring yang memenuhi ruang makan di rumah Vano. Yah, seperti itulah keseharian keluarga Vano.
Sementara di rumah Syasya begitu ramai dengan candaan. Kedua orang tua Syasya memang merupakan sosok penting di perusahaan yang mereka miliki. Tetapi mereka selalu meluangkan waktu untuk sekedar berkmpul dan bersenda gurau dengan keluarganya.
“gimana tadi bantuin temennya?” Tristan mengalihkan pembicaraan ketika dirasa posisinya terancam karena kedua orang tuanya sudah mulai berbicara tentang pasangan. Pasti sebentar lagi dia akan menjadi korban pertanyaan dari orang tuannya. Maka dari itu dia segera mengalihkan pembicaraan.
orang tua mereka yang menyadarinya hanya menahan tawa sambil saling berpandangan. Termasauk Syasya yang mulai menutup mulutnya dengan tangan.
“ya biasa aja sih, Bang. Lagian tumben peduli?” Syasya terkekeh kecil.
“Cuma nanya kali” itulah kalimat terakhir yang diucapkan Tristan sebelum kakinya melangkah menuju kamar.
“emang bantu teman kamu yang mana, Sya? Tumben banget, biasanya temanmu yang ke rumah” maminya juga penasaran teman mana yang diajari putri cantiknya ini.
“ahh itu mi, teman cowo. Sebenarnya dia keliatannya gak pernah serius sih kalo belajar. Tapi gak tau kenapa tiba-tiba mau di bantuin. Ya kita sebagai seorang manusia harus saling membantu kan? Jadi Syasya bantuin aja” panjang lebar Syasya menjelaskan kepada maminya. Sementara sang papi hanya menyimak penjelasan anaknya.
Syasya memang sosok yang terbuka dengan orang-orang terdekatnya. Dia bisa menceritakan apapun yang dilaluinya. Tetapi di samping itu, Syasya tidak pernah menceritakan kesulitannya ataupun menangis di hadapan orang. Dia selalu menangis jika sedang sendiri.
“yaudah ah, Mi. Syasya masuk kamar dulu yah” mami Tania mengangguk mengiyakan putrinya.
Sesampainya di kamar bernuansa abu, ya tentu saja itu kamar Syasya. Dia merebahkan tubuhnya yang entah kenapa terasa lebih lelah dari biasanya.
Senyumnya tersungging mengingat dia diantar Vano tadi sore. Dan untungnya tidak ada yang melihat kejadian itu. Orang tuanya belum pulang kerja saat dia sampai di rumah tadi, sementara Tristan sedang tidur di kamarnya.
“ihh kenapa gue jadi kesenengan?” Syasya mengerutkah dahinya dan berbicara pada dirinya sendiri. Wajahnya terasa memanas.
“uudahlah. Sekarang mening buka buku dan belajar, abis itu baru streaming” tangan mungilnya mulai membuka lembaran-lembaran kertas yang sangat memusingkan.
Dia mulai membaca satu persatu kalimat yang ada di buku itu. Sampai akhinya niatnya untuk streaming gagal karena pada kenyataannya dia tertidur dengan posisi duduk. Jangan lupakan kepala yang menindih buku yang semula ia baca.
“dek?” kebiasaan seorang Tristan Devano, masuk kamar orang tanpa mengetuk pintu.
“yaelah, kirain lagi belajar, taunya tidur” perlahan tangan Tristan menggapai selimut yang ada di atas kasur Syasya dan kemudian memakaikan selimut itu untuk menutupi badan adiknya.
Tadinya Tristan ingin memindahkan Syasya ke atas kasur saja, tapi ia takut membangunkan adiknya. Jadi hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
“tidur nyenyak adeknya abang” begitulah, Tristan terlihat sangat cuek pada adiknya, padahal sebenarnya dia sangat peduli lebih dari apapun.
“gue pinjem laptop lu bentar” ia berbisik saat mengatakan itu. Setelah ia mendapatkan apa yang diinginkannya ia kembali ke kamarnya.
Tidurnya sangat nyenyak hingga tak terasa matahari sudah muncul dari persembunyiannya. Syasya menggeliat bangun dari tidurnya. Dan ya, badannya sakit semua karena posisi tidurnya semalam.
Tanpa berpikir panjang, syasya segera mebereskan segala persiapan sekolahnya, tak lupa memberaskan kamar ditemani musik kesayangannya sebelum akhirnya dia pergi mandi dan bersiap pergi ke sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Miss haluu🌹
Rahasia apa ya Thor yg disembunyikan Vano?
Aku jd penasaran??🤔
Lanjut Thor!!💪
2021-04-03
0