“gue bilang gak mau ya gak mau. Kok maksa sih!” emosi Syasya kembali memuncak ketika dia tahu siapa yang mengganggu kegiatannya di kantin pagi ini.
“gue bilang gak ada penolakan. Dan gue tau siapa yang kemarin laporin gue ke satpam. Kalo lo nolak lo bakal tahu akibatnya”
Nafas gadis itu tercekat mendengar penuturan seorang Vano. Seketika pikirannya melayang bagaimana jika Vano menyiksanya tiap hari atau menjadikannya babu? Membayangkannya saja sudah sangat menakutkan. Kepala Syasya menoleh ke arah pemuda tampan itu.
Sedangkan Vano hanya menaikan sebelah alisnya sebagai kode bahwa saat ini dia sedang menanyakan pendapat Syasya tentang tawarannya.
“Oke pulang sekolah di lab fisika” Syasya segera menggendong tasnya dan meninggalkan kantin.
“gampang juga bujuk dia” seringaian terlukis di wajah Vano. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Vano bisa tersenyum karena wanita ‘lagi’.
Vano melanjutkan perjalanannya menuju kamar mandi. Memang pada awalnya dia tidak bermaksud mencari gadis itu. Hanya saja saat perjalanan ke kamar mandi tak sengaja netranya melihat wanita itu tengah asik dengan dunianya sendiri di kantin yang kosong. Jadi bisa dikatakan itu hanya sebuah kebetulan dan juga sebuah kesempatan bagi Vano untuk memastikan gadis itu akan mengikuti keinginannya.
“aahhh akhirnya, udah makan gak nyebat itu gak enak” ya. Dia ke kamar mandi hanya untuk menuntaskan hasrat merokoknya. Dulu dia pria teladan yang tampan, nyaris sempurna. Sebelum sebuah kejadian yang mengerikan sekaligus menjijikan baginya terjadi di hidupnya.
Dia menjadi seorang Vano yang nakal dan tak mau belajar. Dia melupakan semua kebaikan yang telah dia lakukan dan berganti menjadi sosok iblis yang ditakuti hampir semua siswa di sekolanya kecuali Syasya.
Pagi ini dia menghabiskan dua batang rokok. Vano segera menyadarkan lamunanya sebelum masa kelam itu kembali dalam pikirannya dan membuatnya hancur.
...***...
Seperti janjinya tadi, kini Syasya sedang duduk gelisah di lab fisika. Bukan tanpa alasan dia terus menggerakan kakinya juga menggigit kuku jarinya.
“kemana dia pergi? Ini sudah hampir satu jam.” Perlu kalian ketahui bahwa jam pulang sekolahnya tepat jam 15.00 dan ini sudah hampir jam 16.00. tentang Tristan, Syasya sudah bicara pada abangnya bahwa ia akan pulang sendiri karena ia harus membantu temannya mengerjakan tugas. Jadilah abangnya pulang duluan. Syasya terlonjak mendengar suara pintu terbuka. Hampir saja dia terjungkal dari kursi jika saja pria yang baru datang tidak menahan kursi yang akan jatuh tersebut.
“kemana aja sih? Lama banget” bukannya berterimakasih atas bantuan Vano, gadis itu malah merengut kesal karena kedatangan sosok yang sangat ditunggunya begitu terlambat. Bukan hanya satu menit atau dua menit Syasya menunggu Vano, tetapi sudah hampir satu jam.
“sebenernya yang butuh itu lo atau gue sih? Kenapa gue yang harus nunggu? Kesel banget. Lain kali gak ada acara gue bantuin lu lagi” sementara Vano mendengarkan omelan Syasya yang tiada henti dengan wajah cengonya.
“sory, ada urusan bentar tadi” Vano mendudukan bokongnya di kursi samping Syasya dan mulai membuka bukunya.
Tak ingin membuang waktu lebih lama, Syasya kemudian juga membuka catatan dan membantu Vano memecahkan soal-soalnya. Tak butuh waktu lama bagi Syasya untuk menyelesaikannya mengingat dia pernah mengikuti olimpiade Ekonomi satu tahun lalu.
“oke selesai!!” Syasya bertepuk tangan ria sebelum kemudian mengepalkan kedua tangannya di depan dada dengan mata yang berbinar.
“akhirnya bisa pulang” sementara pria di sampingnya hanya menoleh dan melihat kelakuan abstrak gadis itu.
‘aneh’ pikirnya. Tapi sedetik kemudian senyum tipis yang hampir tak terlihat itu terukir di wajah Vano.
“pulang sama siapa lo?” terkesan dingin, namun ada kepedulian di dalamnya.
“naik angkot? Atau taxi mungkin” tangan Syasya terkepal memegang tali tasnya. Sambil melompat kecil dengan ria, gadis itu terlihat bahagia. Dapat dibuktikan dengan senandung kecil yang terdengar dari mulut mungilnya.
Vano mengikuti langkah gadis itu sampai akhirnya tiba di parkiran. Vano melajukan motornya menuju gerbang dimana Syasya sedang berbincang dengan bapak satpam.
“naik” bukan ajakan ataupun tawaran, ucapannya tersebut lebih seperti sebuah perintah.
“gue?” Syasya menunjuk dirinya, bertanya pada Vano untuk memastikan apakah memang pria itu sedang berbicara padanya atau tidak. Siapa tahu bapak satpamnya yang Vano ajak.
“hmm, buruan sebelum gue berubah pikiran” berharap gadis itu tidak menolak.
“enggak deh makasih, gue nunggu angkot aja” beberapa detik setelah Syasya mengucapkan kalimat itu, Vano melajukan motornya setelah mendengar kaliman penolakan itu.
Syasya sedikit kecewa dengan Vano karena meninggalkannya begitu saja. Ia pikir Vano akan lebih berusaha untuk mengantarnya pulang, tapi nyatanya dia pergi begitu saja. Mukanya ditekuk dengan bibir yang sedikit maju. Bapak satpam yang kebingungan hanya melengos masuk ke dalam post satpam dan berpura-pura mengecek cctv.
Suara deru motor terdengar semakin dekat memenuhi indera pendengaran Syasya. Gadis itu mendongakan kepalanya untuk melihat siapa yang datang.
“naik. Jam segini angkot udah gak ada” siapa yang mengira pria dingin itu memutar arah setelah bergelut dengan pikirannya. Ya, Vano memutuskan untuk mengantar Syasya sampai rumah.
Senyum Syasya sedikit mengembang mengingat ternyata Vano tidak seburuk yang dia bayangkan.
“kenapa gak dari tadi” bisiknya pelan. Vano yang mendengarnya hanya tersenyum kemudian melajukan motornya membelah keramaian kota dengan hati yang berdegup.
Tak bisa dipungkiri bahwa suara degupan jantung itu berasal dari kedua insan yang tengah berboncengan.
Sepanjang perjalanan mereka hanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada satupun dari mereka yang berniat memulai pembicaraan satu sama lain. Padahal jika sedang dengan keluarganya Syasya termasuk anak pecicilan dan bawel.
Tapi entah kenapa dengan orang lain dia malah merasa canggung. Padahal dirinya dan Vano sudah saling mengenal sejak tingkat pertama sekolah menengah atas.
Sementara dalam hati Vano, ia ingin sekali mendengar omelan atau ucapan-ucapan Syasya yang tak jelas mengingat dia selalu menceritakan segala sesuatu pada sahabat-sahabatnya.
Syasya hanya menunjukan arah menuju rumahnya tanpa berbicara dan Vano juga hanya mengangguk menanggapi Syasya.
Vano tak pernah menyangka rumah yang menjadi tempat tinggal Syasya akan sebesar ini. Vano mengatakan ini besar karena memang lebih besar dari rumahnya dan juga jarak dari gerbang ke pintu rumah lumayan jauh.
Syasya turun dari motor Vano.
“makasih udah anterin gue” Syasya berucap sambil membenarkan rambutnya yang kusut karena di terpa angin sepanjang jalan.
“hmm” Syasya merasa sudah biasa mendapat balasan berupa gumaman dari Vano.
“gue balik” Vano berpamitan pada sang tuan rumah sebelum motor yang ia tumpangi itu melaju meninggalkan tempatnya berhenti beberapa menit lalu.
Syasya masuk ke kamarnya dan membaringkan badannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Miss haluu🌹
Aroma-aroma syukaaa udh mulai tercium nih,
Semangat Thor 💪💪
2021-04-03
0