Sehari bersama

"Sayaaaaaaang kamu kok udah gak pernah ngehubungin aku lagi sih. Kan kangeeeeen."

Dewa tersenyum lembut pada wanita seksi yang bergelayut manja di lengannya, "Sorry, cantik. Kamu kan tau sendiri kerjaan aku gimana." Niatnya yang semula mencari jaket baru malah berakhir disebuah restoran gara-gara kemunculan wanita seksi yang sudah seperti cacing kepanasan ini. Dan yang namanya Dewa tidak menolak rejeki, tentu saja ia dengan senang hati di pepet-pepet seperti ini.

"Ck, kamu gitu. Kemarin teman aku liat kamu di jalan ngeboncengin cewek. Siapa sih? Lebih muasin dari aku emangnya?"

Dewa terkekeh. Muasin gimana, anak kecil gitu mana berani ia colek-colek. Bisa di panggang neneknya kalau berani menyentuh Gendis walaupun hari itu sempat khilaf mengecup punggung mulus si tuyul yang ternyata wanginya bikin ketagihan. Sayang sekali Gendis terlalu suci untuk dikotori.

"Gaklah. Gak ada yang lebih hebat dari kamu, cantik."

"Boong bangat deh. Memangnya siapa sih cewek itu?" Tanya wanita itu masih penasaran. Kalau Dewa mau memboncengnya berarti cewek itu berhasil menarik perhatian lelaki itu. Ck, sialan tuh cewek!

"Oh, dia cicitnya saudara jauh sahabat nenek aku. Gak penting." Jawab Dewa bohong.

Tidak penting ya Wa tapi bikin lo gak bisa tidur hanya karena di peluk si tuyul. Batinnya meledek.

"Trus kok bisa bareng kamu gitu?"

"Itu karena--- Tuyul?" Dewa buru-buru melepas tangan yang menggelayut di lengannya saat melihat sosok yang mereka bicarakan lewat di depan restoran yang berdinding kaca bersama seorang laki-laki.

"Maaf ya cantik, aku harus pergi nanti aja ngobrolnya. Bye!" Dewa bergegas keluar restoran mengabaikan wanita seksi yang terus memanggil-manggil namanya untuk mengikuti Gendis dan laki-laki itu. Kecil-kecil udah pacaran. Tidak bisa dibiarkan.

Dewa terus membuntuti keduanya yang kini masuk dalam toko buku. Dua remaja itu tampak asik membicarakan sesuatu tanpa menyadari keberadaan Dewa yang mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Buku-buku motivasi kek gini kayaknya lebih bagus deh cup daripada lo beliin buku tebal penuh tulisan gitu. Liat judulnya, Hijab I am in love. Keren kan?" Gendis menunjukkan sinopsis buku tersebut pada laki-laki yang di panggilnya cup itu, "Harganya juga bersahabat sama kas mushola. Bisa beli banyak." Lanjutnya bersemangat.

Laki-laki melirik Gendis sebentar, lalu mengangguk.

Dewa yang berada di rak sebrang mencibir melihat gaya sok cool laki-laki ingusan itu. Diliat-liat seperti Gibran versi muda hanya saja yang ini kelihatan lebih menyebalkan.

"Setelah ini nonton yuk, Cup. Ada film baru."

"Gak bisa. Gue ada urusan lain."

"Lo kok nolak gue terus sih? Gue rajin ibadah juga kok sesuai kriteria lo." Gendis berujar sembari memasang puppy eyesnya. Sementara dibalik rak Dewa masih terus memantau mereka. Sombong sekali pemuda ini berani menolak tuyul cantiknya.

"Saya bilang tidak, ya tidak. Mending kamu pulang. Tidak baik cewek keluyuran terus." Ujar cowok itu berjalan menuju kasir untuk membayar buku-buku di keranjangnya. Dibelakang Gendis mengikut dengan wajah sumringah.

"Perhatian bangat sih lo. Gue makin suka."

Dewa yang setia mengikuti mereka memutar bola mata. Ngegombal lo, yul?!

"Terima kasih sudah mengikuti saya tapi lain kali jangan lakukan lagi. Saya tidak nyaman." Pemuda itu berujar sembari menyerahkan satu buku dihadapan Gendis, "Ini bayaran untuk waktu kamu yang terbuang."

Gendis tersenyum penuh binar, "Ini buat gue beneran? Makasiiiiiii gue sukaaaaa. Apalagi ini dari lo, thanks ya."

"Um. Berhenti mengikuti saya." Ujar pemuda itu lalu pergi begitu saja Gendis yang menatap punggungnya penuh binar.

"Ya ampuuuun cup, calon masa depan gue." Gendis melihat sampul buku di tangannya lalu memeluknya erat sembari tersenyum seperti idiot.

"WOEEE!"

"EH ASTAGA!" gendis mengelus dadanya setelah dikagetkan oleh seseorang yang kini menatapnya dengan alis terangkat satu.

"Ngapain lo senyum-senyum sendiri? Gila lo?"

Gendis memutar bola mata sebal, "Jangan kacauin hari bahagia gue deh Om. Muncul kok dimana-mana, udah kayak iklan sedot WC aja."

"Apa lo bilang? Iklan sedot WC?" Dewa berang langsung menarik kedua pipi Gendis mengabaikan protes gadis manis itu.

"Lepaaaaas! Sakit tauk, Om." Gendis memukul lengan Dewa tanpa ampun. Barulah setelah buku tebal ditangannya mendarat di kepala lelaki itu melepaskannya.

"Anak kecil." Dewa menarik ujung kepang Gendis gemas. Hari ini si tuyul tampak cantik dengan bando lucu di kepalanya. Persis anak kucing yang minta diadopsi.

"Orang tua." Balas Gendis tak mau kalah.

"Gak ada orangtua sekeren gue. Ngomong-ngomong tadi siapa? Pacar lo ya? Ckckk masih kecil udah pacar-pacaran, apa kabar masa depan negri ini? Udah cape-cape di jagain eh generasinya malah sibuk pacaran."

"Apaan sih, sok tau deh. Ucup bukan pacar Gendis tapi suami masa depan." Omel Gendis tak terima. Kata Ucup kan pacaran itu haram, jadi cowok itu otomatis kandidat satu-satunya untuk masa depannya.

Dewa menoyor pelipis Gendis, "Ngayal mulu lo, yul. Udah jelas tu anak nolak lo, masih juga. Harga diri tolong dijaga ya."

"Kayak Om punya harga diri aja." Cibir Gendis yang langsung mendapat tatapan tajam dari lelaki itu.

"Udah ah, minggir." Gendis mendorong badan Dewa yang menghalangi jalannya.

Dewa menahan tangannya, "Lo mau kemana?"

"Bukan urusan Om. Lepasin!" Gendis berusaha melepas cekalan Dewa namun kekuatan laki-laki itu jelas lebih kuat.

"Katanya mau nonton." Ujar Dewa menarik Gendis lebih dekat disampingnya.

Gendis memincing, "Om nguping ya? Iiiih ya ampuuuun, Gendis jadi merinding. Psycho." tuduhnya tak tanggung-tanggung.

Dewa mendengus sembari menyentil kening Gendis "Dasar korban netflix."

"Yakali aja kan. Muka Om kan muka-muka kriminal. Tapi tunggu deh om--" Gendis mencapit dagu Dewa memperhatikan dengan seksama wajah lelaki berkulit putih itu dengan seksama.

"Kenapa? Gue ganteng ya?"

"Ck." Gendis mencampak wajah Dewa kesamping begitu saja, "Sok ganteng. Gendis penasaran, kayaknya pernah ketemu deh sebelumnya tapi dimana ya?"

"Dirumah nenek gue lah." Jawab Dewa cepat. Jangan sampai Gendis mengingat wajahnya yang waktu di motel remang-remang itu. Jangan sampe!

Gendis menggeleng, "Sebelum itu. Kayaknya di--" Gendis mengetuk-ngetuk dagunya berpikir keras dimana ia pernah melihat wajah Dewa. Tidak lama senyumnya mengembang, "Nah Gendis ingat. Di motel sama cewek. Iya kaaaan? Ayo ngakuuuu." Gendis menusuk-nusuk dada berotot Dewa iseng.

Dewa menangkap telunjuk Gendis, "Gak! Bukan gue. Itu pasti orang lain." Elaknya sembari mengusap kupingnya yang menghangat. Jelek bangat kesan pertama gue kalau sampe ni anak percaya ingatannya. Eh tapi tunggu, kenapa kamu harus peduli Wa tentang kesan pertama si tuyul ini? Jangan gila, Dewa. Jangan gila.

"Mungkin juga. Muka Om kan pasaran."

Ebuseeet kampret juga ni bocah ngatain muka gue. Dewa hendak menjawir telinga Gendis namun melihat tawa gadis itu ia menurunkan tangannya dan menikmati tawa renyahnya. Manis bangat ni bocah. Pengen gue ****, eh--

"Jadi gimana? Mau nonton nggak?" Dewa berucap setelah mengenyahkan pikiran-pikiran ngawurnya.

"Om yang bayar?"

Dewa mengangguk, "Hm."

"Popcorn sama sodanya juga?"

Dewa menghembuskan nafas pendek. Ada bakat matre juga ni tuyul.

"Iya. Gue beliin lo sekalian mas-masnya."

Gendis menggeleng, "Masnya gak usah, nanti kita ditangkap polisi karena perdangan manusia. Gendis masih mau sekolah." ujarnya ngeri. Dewa menggeleng-nggelengkan kepala miris. Ya ampun Wa, gini amat nemu cewek.

***

"Frozen bangat, yul?" Dewa meringis melihat dua tiket di depannya. Siapa yang menyangka bahwa liburannya kali ini dihabiskan menonton tontonan anak kecil ini bersama tuyul kecil. Apes bangat, Wa. Bukannya menghabiskan malam di club malam dan berburu wanita sexy, ia malah menjebak dirinya bersama seorang gadis kecil yang alih-alih mengajaknya menonton film romantis, malah memilih boneka es ini. Astaga.

"Iya. Udah lama bangat Gendis ngajakin the girls tapi mereka nolak. Kata mereka filmnya untuk anak-anak tapi gak ada tuh tulisannya for kids."

Ya gak adalah. Lo kira apaan pake tulisan for kids. Aneh bangat ni bocah.

"Yuk, masuk." Gendis tanpa sungkan menggenggam tangan Dewa menautkan jemari mereka. Dewa yang tidak menyangka Gendis bisa dengan entengnya menggandengnya melihat tautan tangan mereka, kok pas ya?

Dewa mengikuti langkah bersemangat Gendis menuju nomor kursi mereka. Saking fokusnya memperhatikan tautan tangan mereka, Dewa hampir saja tersandung kaki penonton lain. Untungnya lelaki itu punya kaki yang tangkas.

Gendis duduk di kursinya diikuti oleh Dewa. Laki-laki itu merasakan kekosongan saat Gendis melepas tautan keduanya. Tak menunggu film di putar, Gendis langsung menggasak dua popcorn yang mereka beli.

"Om mau?"

"Gak buat lo aja." tolaknya. Dewa duduk menyandarkan punggungnya mencoba menikmati tayangan di layar besar di depannya. Namun baru awal film matanya mulai berkunang-kunang. Nyanyian para boneka itu seperti lagu nina bobo untuknya. Ia menoleh kesamping dan senyumnya langsung terbit melihat Gendis begitu menikmati tontonannya sembari tak berhenti mengunyah. Manis.

Tanpa sadar lelaki itu malah memperbaiki posisinya duduk menyamping memperhatikan Gendis yang asik menonton. Ia tidak bisa mencegak lengkungan di bibirnya tiap kali ekspresi Gendis berubah dari senyum malu-malu lalu senyum lebar dan tak jarang meringis melihat para kartun es di layar besar itu. Lucu. Satu kata itu ia sematkan pada gadis yang ada disampingnya.

"Yuk Om!"

"Hah?" Dewa mengerjap.

Kening Gendis mengerut, "Kenapa? Om mau nginep disini?"

Dewa melihat ke layar depan yang kini menampilkan iklan film yang akan tayang berikutnya, ia baru menyadari orang-orang sudah beranjak meninggalkan kursi mereka.

"Oh, ayo." Dengan terburu Dewa keluar bioskop menyusul Gendis si lincah. Mentang-mentang tubuhnya kecil nyelip sana sini juga bisa.

"Gendis pamit ya Om. Om hati-hati pulangnya jangan kelayapan kemana-mana."

"Itu kalimat gue, tuyul." Dewa gemas menjitak kening Gendis yang menyengir lebar kearahnya.

"Habisnya kata nenek, Om tuh suka ngilang. Tiba-tiba aja lenyap."

"Eh lo kira gue apaan lenyap gitu? Udah ah stop bawelin gue kayak orangtua. Gak cocok. Mending kita makan." Dewa melirik pergelangannya, sudah waktunya makan malam. Terlambat sedikit, perutnya tanpa tahu malu akan mulai berdemo. Dasar perut karet memang.

"Gak ah, Om aja. Gendis balik duluan, mau ngabisin baca buku dari beb ucup." Ujar Gendis riang. Hal itu malah membuat Dewa tertekuk masam. Ucup lagi ucup lagi, siapa sih tuh bocah? Ada mulu perasaan.

"Gue traktir." Dewa berucap cepat. Si kecil matre ini biasanya lemah terhadap hal-hal yang berbau gratisan.

"Gendis yang pilih restonya." Gendis menjawab cepat sembari memainkan alisnya.

Nak kan. Dewa mengangguk pasrah, "Jangan mahal-mahal. Dompet gue tipis." Akunya jujur. Tanggal muda setelah membayar banyak cicilan sama saja dengan tanggal tua yang dipercepat.

"Iya. Gendis tau diri kok." Gendis berlenggak mendahului Dewa namun laki-laki itu bergegas menyajarinya lalu menautkan tangan mereka.

"Nanti lo ilang." Terang Dewa saat melihat kernyitan di dahi Gendis. Gendis melihat tautan tangan mereka lalu mengedikkan bahu acuh.

Dua manusia beda generasi itu masuk dalam sebuah restoran jepang. Langkah Gendis ringan sementara Dewa berkali-kali mengerjapkan mata memastikan bahwa mereka benar-benar memasuki sebuah restoran dengan tulisan kanji besar di depan pintu yang tentu saja memamerkan harganya yang selangit. Gaji seorang tentara biasa seperti dirinya seharusnya jauh-jauh dari tempat semacam ini.

Ini yang namanya tau diri?

"Lo yakin gak mau nyari tempat lain?" Tanya Dewa untuk kesekian kalinya. Bisa-bisa ia puasa sebulan kedepan kalau harus makan di tempat ini.

"Yakin. Udah, tenang aja. Gendis jamin makanannya enak. Om gak bakalan nyesal deh."

"Sekarang aja gue udah nyesal." Gumam Dewa nelangsa.

"Om ngomong apa?"

Dewa menggeleng, "Gak. Gue nggak ngomong." bohongnya lalu dengan hati yang was-was mulai menghitung apakah uang di dompetnya cukup atau tidak untuk membayar semua ini.

"Menu spesialnya apa mbak?"

Dewa memperhatikan Gendis yang tampak luwes membahas menu dengan seorang pelayan yang menghampiri mereka dengan buku menu harga selangitnya.

"Kami ada menu baru mbak, unagi donburi set. Mungkin mbak dan mas mau mencobanya?"

"Gimana Om? Mau?"

Dewa melirik menu yang di tunjuk oleh mbak pelayan dan seketika nyawanya hampir melayang melihat harga makanan tersebut yang setara gajinya dua bulan. Ini makanan apaan sampe harganya segini?!

Dewa mencolek lengan Gendis. Tidak ada pilihan lain, ia harus menyeret Gendis keluar dari sini apapun yang terjadi.

"Tiba-tiba gue jadi pengen makan gulali, Ndis." Bisiknya pelan.

"Gulali? Apa itu?" Gendis mengernyit bingung. Ia baru pertama kali mendengar jenis makanan itu. Apa sejenis sushi?

"Jajanan manis dan warnanya pink. Lo pasti suka." Terang Dewa bersemangat. Tiba-tiba saja ia meyakini keberadaan Tuhan sekarang. Segala macam doa ia rapalkan agar Gendis mau keluar dari tempat pengeruk hartanya itu. Tidak masalah jika Gendis tidak mengenal jajanan merakyat itu, ia bisa mengakrabkan keduanya pelan-pelan.

"Tapi Gendis suka yellow bukan pink." Ucap Gendis polos.

"Rainbow juga ada." Ujar Dewa cepat. Nantilah ia pikirkan dimana ia akan mendapatkan rainbow yang di maksud yang penting sekarang ia harus menyelamatkan dompetnya dulu.

"Oke deh, Gendis mau."

Muka Dewa seketika berubah cerah. Akhirnya doanya dikabulkan juga.

"Ayo." Dewa mengembalikan menu itu pada si pelayan, "Maaf ya, Mbak, istri saya tiba-tiba ngidam gulali. Lain kali saja kami kesini."

***

Terpopuler

Comments

Yanti Raisyafariz

Yanti Raisyafariz

Dasar dewa

2023-04-15

0

Cucu Saodah

Cucu Saodah

hahahahaha...... perwira kere..... ngaku bini sama anak konglomerat.... berat diongkos bos.... maamam tuh gengsi

2021-12-23

1

Dian_ode

Dian_ode

hahaha sampe dipart ini gakak terus sampe guling2 aku

2021-12-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!