Tuyul Kecil

Dewa tak akan pernah mengerti aturan semesta. Dia yang begitu alergi dengan anak kecil alias cabe-cabean sekarang malah dibuat dag dig dug hanya karena membonceng tuyul manis yang tangannya anteng melingkari pinggangnya. Dewa miris sendiri dengan dirinya yang murahan. Apa karena beberapa malam ini ia tidak mendapat belaian makanya sensitif seperti sekarang? Tapi dirinya bukan maniak, harusnya baik-baik saja berdekatan dengan makhluk sejenis gendis ini. Astagaaaa... harusnya ia memesan taksi saja untuk si uyul.

"Heh! Lo tidur?" Dewa mengedikkan bahunya saat merasakan punggungnya di sundul oleh helm yang dikenakan Gendis.

"Enggak, Om. Gendis nyender doang, punggung Om nyaman." Ujar Gendis berteriak diantara bising kendaraan dan klakson kendaraan lain.

Sialan ni bocah. Dia pikir punggung gue bantal apa?

"Awas lo sampe ketiduran. Jatoh, gue gak tanggung jawab."

"Iya iyaaaaa bawel bangat sih udah kayak mami aja."

Dewa menghela nafas kesal. Kampret bangat gue disamain emaknya.

Dewa kembali berkonsentrasi membawa motornya menuju perumahan elit yang disebutkan Gendis. Tak seperti perumahan-perumahan lainnya yang bebas akses, kompleks perumahan orangtua Gendis di jaga oleh dua orang satpam di gerbang besar.

"Om om om, berhenti berhenti!" Gendis menepuk bahu Dewa membuat laki-laki itu kaget dan mengerem mendadak.

"Astaga, apa sih bocah? Bahaya!" Dewa turun dari motor dengan kesal sementara Gendis merasa tak berdosa sama sekali malah berlari ke belakang dan berhenti pada gerobak somai. Dewa bergegas menyusulnya. Bahaya kalau tuyul kecil ini hilang, bisa-bisa dia di panggang oleh neneknya.

"Ngapain?" Tanya Dewa melihat Gendis yang duduk anteng di trotoar.

"Jajan." Ujar Gendis memamerkan gigi-gigi bersihnya. Ditangannya sudah ada piring yang siap diisi aneka jajanan pinggir jalan.

Dewa menghela nafas lalu mengambil kursi plastik yang disiapkan oleh abang penjual.

"Duduk!" Perintah Dewa. Seorang gadis manis harusnya bersikap manis dan anggun bukannya bar-bar seperti Gendis.

"Tidak, terima kasih. Enakan gini bisa selonjorin kaki." Tolak Gendis sembari meluruskan kakinya. Beberapa pemuda yang lewat dengan kurang ajarnya melirik nakal kaki jenjang Gendis yang putih, mulus dan bersih. Hal itu tak luput dari perhatian Dewa yang berdecak tak suka. Pria yang terkenal playboy pemain wanita itu terganggu dengan tatapan nakal cowok-cowok pada seorang gadis semulus Gendis, bukankan itu aneh? Ya, harusnya tapi Dewa tidak merasa aneh sama sekali, hanya tidak terima saja si tuyul ditatap semesum itu. Maka dengan gerakan cepat ia melepas jaketnya dan melemparnya diatas pangkuan Gendis.

"Tutupin kaki lo!"

Gendis mendongak, "Kenapa?"

"Banyak nyamuk. Mau lo deman berdarah?"

Gendis menggeleng.

"Yaudah pake."

Gendis mengambil jaket Dewa dan menutupi kakinya sesuai perintah laki-laki itu, hangat dan wangi.

"Ini, Neng."

"Makasi, Bang." Mata Gendis berbinar melihat lumeran bumbu kacang diatas potongan daging goreng yang begitu menggugah seleranya. Dewa yang melihatnya hanya menggelengkan kepala kasian. Gendis terlihat seperti bocah yang tidak jajan sebulan.

"Om mau?" Gendis memberikan setusuk pada Dewa.

"Gak, makasih." Tolak Dewa pura-pura sibuk dengan hpnya yang sebenarnya ia sangat suka menonton Gendis makan. Sangat lahap. Tidak mirip anak orang kaya yang biasanya begitu pilih-pilih makanan. Atau jangan-jangan bocah ini adalah anak dari asisten salah satu pemilik rumah gedongan di kompleks ini? Ah ya, masuk akal. Sebuah spekulasi baru menari-nari dikepala Dewa. Ia manggut-manggut menyetujui hasil analisis cerdasnya.

"Udah. Yuk, Om. Pulang." Gendis mengembalikan piring abang penjual somai berikut uang merah dua lembar.

Semahal itu?

Dewa melongo melihat harga sepiring somai yang dimakan Gendis. Bisa kaya penjual di kompleks ini.

"Kamu kok mau makan somai dengan harga selangit gitu? Rasanya emang setingkat mentri?" Tanya Dewa heran melihat Gendis mau-maunya bayar mahal untuk seporsi jajanan pinggir jalan. Belum tentu sehat dan bersih juga.

"Gak apa-apa, Om. Enak. Worth it lah. Sayang aja tempatnya di pinggir jalan, kalau di gedung mewah mungkin harga seporsinya sejuta."

"Seenak itu?" Dewa terhenyak. Mampus aja gajinya jika setiap hari jajan di tempat itu.

"Gaklah. Harganya sepuluh ribu aja." Ucap Gendis tertawa puas setelah berhasil dengan candaannya.

"Trus kenapa lo bayar dua lembar?" Dewa masih penasaran. Ia memasangkan helm di kepala Gendis siap meluncur.

"Buat jajan anaknya. Anaknya lima loh Om. Ucup, bagong, risna, uti dan loli, semuanya bantuin bapaknya jualan." Jelas Gendis bersemangat.

Dewa manggut-manggut, "Kamu kenal mereka semua?"

"Iya. Mereka murid Gendis di sekolah alam."

"Sekolah alam? Sekolah apa itu?" Dewa tidak langsung menyalakan mesin motornya. Ia penasaran dengan cerita Gendis.

"Sekolah untuk anak-anak yang harus ngebantuin orangtuanya kerja." Jelas Gendis. "Ini jaket Om, Makasih." Ia mengembalikan jaket Dewa tapi laki-laki itu menggeleng.

"Pake aja. Dingin."

"Om gak dingin emang?"

"Gak. Lanjutin cerita kamu." Pinta Dewa tak sabar.

Gendis memakai jaket tersebut, menarik resletingnya hingga ia tampak tenggelam dalam balutan jaket Dewa yang kebesaran di badan kecilnya "Cerita yang mana?"

"Sekolah alam itu."

"Oh, udah sih itu aja. Kalau Om penasaran nanti hari minggu depan ikut Gendis kesana."

"Emang boleh?"

"Boleh dong. Kan kepseknya Gendis." Ujar Gendis lalu tertawa. Dewa yang merasa keki menoyor kepalanya.

"Iseng bangat sih bocah."

"Abisnya Om serius bangat. Udah jalan aja. Gendis harus ngerjain tugas sekolah." Gendis duduk anteng di belakang Dewa dan lagi, menyandarkan kepalanya di punggung laki-laki itu.

"Jalan, Om."

"Iyaaah. Pegangan."

"Hmmmmm"

***

"Anak kecil!"

Gendis yang baru turun dari mobil menoleh ke sumber suara. Tak jauh di sebrang jalan Dewa melambaikan tangan padanya.

"Om ngapain disini?" Tanyanya saat Dewa sudah berdiri di depannya.

"Kebetulan lewat." Ucap tentara muda itu menyeka keringat di dahinya.

Gendis memperhatikan Dewa dari ujung kaki ke ujung kepala, "Om ternyata keren juga pakai seragam gini."

"Maksud lo selama ini gue gak keren gitu?"

"Enggak." Jawab Gendis polos membuat Dewa keki sendiri.

"Lo mau kemana?" Mengabaikan sejenak kekesalannya, Dewa memperhatikan penampilan Gendis yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya.

"Ngajar."

"Lo nyambi?" Benar kan dugaan gue? Ni tuyul pasti anaknya ART.

"Iya. Om mau ikut?"

"Boleh?"

Gendis mengangguk, "Ayo." Tanpa sungkan ia menggandengan lengan Dewa. Caranya Sangat natural seolah dia sudah terbiasa melakukannya. Gibran yang diseret pasrah saja, tatapannya terpaku pada lengannya yang di gandeng Gendis. Anjiiiir gue merinding, ini kali rasanya di gandeng tuyul.

Kening Dewa mengerut saat Gendis membawanya semakin masuk ke dalam gang kumuh. Beberapa anak punk terlihat waspada akan kehadirannya yang lengkap dengan seragam tentaranya. Dewa dibuat takjub melihat bagaimana interaksi Gendis dengan anak-anak jalanan itu. Tidak ada sekat sama sekali diantara mereka. Gendis seolah sudah menyatu, menjadi bagian dari anak-anak itu.

Dewa menahan langkah Gendis, "Lo yakin gak salah tempat?"

Gendis menggeleng, "Enggak. Gendis udah hafal jalanannya. Gak bakalan nyasar apalagi salah tempat."

"Tapi ini--" Dewa memandang sekelilingnya tak yakin. Tempat ini terlalu suram untuk tuyul semanis Gendis.

"Udah, ayo. Mereka gak gigit kok." Canda Gendis lalu kembali menyeret Dewa.

Dewa pasrah. Ia mengikuti langkah riang Gendis melewati gang sempit. Di tengah gang mereka bertemu beberapa orang dengan tampang preman, sontak Dewa menarik Gendis dalam kungkungannya agar tak bersinggungan dengan orang-orang itu.

"Om ngapain?" Tanya Gendis mengerjapkan matanya. Posisinya saat ini terjepit antara dinding dan badan kekar Dewa.

Dewa berdehem, dengan posisi mereka yang seperti ini ia bisa melihat dengan jelas mata cemerlang Gendis yang menatap polos padanya. Hidungnya kecil dan proposional, kulitnya bersih seperti tanpa pori dan bibirnya--sepertinya--nagihin. Eh?!

"Om!" Sentak Gendis memukul kening Dewa yang kelamaan bengong.

"Lo mukul gue?" Dewa mengusap keningnya tak menyangka Gendis akan berani memukulnya.

"Iya. Kelamaan bengong sih. Minggir! Gendis sesak diteken gini." Keluhnya mendorong dada bidang Dewa.

Dewa segera mundur, "Sorry." Ucapnya tiba-tiba salah tingkah. Gila efek ni bocah bahaya juga ya. Dewa mengikuti Gendis yang kembali menyusuri gang sempit itu.

Tak lama kemudian mereka masuk dalam sebuah perkampungan kumuh. Dewa sampai harus menutup hidungnya karena aroma sampah yang dihasilkan dari banyaknya tumpukan sampah hasil mulung yang di biarkan begitu saja memenuhi halaman rumah-rumah beratap seng darurat itu.

"Kak Gendiiiiiiiss!!!" Dewa terkejut saat dengan tiba-tiba segerombolan anak-anak berpakaian lusu berlari menyongsong Gendis berebut memeluk gadis muda yang ditemaninya itu.

Speechless. Dewa hanya bisa terdiam melihat bagaimana lembutnya Gendis berkata-kata pada anak-anak itu. Senyum tak lepas dari bibir tipisnya dan Dewa tanpa sadar ikut tersenyum. Hatinya berdebar kencang untuk alasan yang tidak ia ketahui.

"Om, sini!"

"Ah, ya." Dewa mengerjap tersadar dari keterpesonaannya saat Gendis menarik tangannya mendekat.

"Adik-adik, kenalin, ini Om Dewa. Omnya Gendis. Dia tentara loh. Yang katanya kemarin mau jadi tentara, nih, boleh tanya-tanya. Yakan Om?" Gendis menatap Dewa penuh binar dan senyum manis yang membuat dada Dewa jungkir balik.

"Ya." Dewa mengangguk seperti kucing keberuntungan yang biasa ada di meja kasir toko cina.

Beberapa pasang mata yang penuh rasa ingin tahu tertuju padanya. Ini benar-benar pengalaman baru untuk Dewa. Jika biasanya waktu luangnya saat lepas piket ia habiskan di sebuah bar, pub atau diskotik, dan tak jarang hotel, kali ini beda, Gendis mengenalkannya pada dunia yang tak pernah ia duga akan bersinggungan dengannya. Dewa melihat kearah Gendis yang asik menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan anak-anak itu. Bocah, lo ini sebenarnya apa sih, tuyul cilik apa malaikat tak bersayap?

"Om-om--"

"Ya?"

Sepasang mata bulat polos menatap antusias padanya, "Om bisa menembak? Berapa banyak musuh yang om tembak? Memangnya negara kita belum merdeka ya Om? Kok Om masih jadi tentara."

Dewa menggaruk pelipisnya. Bingung harus menjawab pertanyaannya yang mana. Banyak sekali.

"Bisa dong. Kamu mau saya tembak?"

BUGH!

"AWW!"

Sebuah kaleng susu jatuh menggelinding setelah berhasil menimpuk kepalanya. Si*lan! Siapa yang berani nimpuk gue? Dewa mengambil kaleng itu dan bersiap melempar siapapun yang sudah menimpuk kepalanya. Matanya melihat kiri kanan tapi tidak ada anak-anak atau siapapun yang bisa jadi tersangka. Nanti saat ia melihat ke depan barulah ia melihat pelototan Gendis yang juga mengangkat tinju kearahnya.Ini tersangkanya!

"Apa salah gue sih, yul?" Protesnya tak terima.

Gendis bersidekap, "Jawaban Om ambigu. Gak liat tuh adik-adik sampe pucat gitu?" tunjuknya pada bocah yang duduk di depan Dewa.

Dewa melihat anak-anak itu dan benar saja, mereka menatapnya dengan takut-takut. Dewa menggaruk lehernya yang tak gatal. Ternyata candaannya tadi ditanggapi serius oleh anak-anak itu.

"Mmm--- maksud Om, kalian

mau diajar menembak? Yah, gitu." Demi apapun, ia tidak punya pengalaman berbicara dengan anak-anak. Ia tak seperti Gibran yang meskipun berwajah kaku sangat paham dengan dunia anak-anak. Atau Gio yang cocok sekali menjadi bapak dari sebelas anak, atau Jonathan yang bisa terjun dalam dunia kanak-kanak. Dirinya hanya seorang Dewa yang terbiasa menghadapi wanita cantik dan seksi yang siap menghangatkan malam-malamnya.

"Mauuuuuuuuuuu"

Jawaban serempak dan penuh semangat malah membuatnya kelimpungan. Ini gue ajarin nembak apa? Nembak malaikat?Diam-diam ia melirik Gendis yang sudah melanjutkan kegiatannya mengajar beberapa anak membaca.

.

.

"Pulang bareng gue aja. Ini udah mau gelap." Dewa melirik jam di pergelangannya. Mereka sudah selesai dari mengajar dan Gendis masih menunggu jemputannya.

"Gak mau. motor Om tinggi, Gendis nggak suka." Tolak Gendis keukeh. Dewa melihat kearah motornya yang terparkir di sebrang jalan, MoGe keluaran terbaru.

Dewa menghela nafas lelah, hanya gendis satu-satunya perempuan yang menolak naik diatas moge super mahalnya ini. Perempuan lain malah meminta khusus dirinya memakai motor ini jika ingin di jemput dengan alasan lebih mudah mengelit kalau jalanan macet padahal Dewa tahu alasan mereka sesungguhnya adalah agar bisa peluk-pelukan diatas motor sekaligus menggodanya dengan dada sintal yang sengaja digencet-gencetkan di punggungnya. Untuk informasi saja, bukan hanya laki-laki yang punya otak kotor karena biasanya sebagaian perempuanlah yang suka menawarkan diri untuk dikotori.

"Tapi ini udah mau gelap. Lo mau diculik wewe gombel?"

Gendis yang duduk jongkok di bawah lampu jalan mendongak, "Emang wewe gombel nyulik orang segeda Gendis juga, Om?"

Gaklah bocah. Gue lagi ngibulin lo!

"Iyalah. Apalagi kalau lo keras kepala, suka tuh wewe gombel buat makan malamnya."

Dewa hampir menyemburkan tawanya saat Gendis bangun cepat-cepat dan menarik tangannya.

"Ayo, pulang."

Dewa tersenyum geli mengikuti langkah cepat Gendis kesebrang jalan menuju salah satu gedung pusat perbelanjaan dimana ia memarkirkan motornya. Malah percaya aja ni anak. Otaknya pentium berapa sih?!

Dewa mengambil jaket yang ia simpan dalam bagasi motornya dan menyerahkannya pada Gendis, "Pake."

Gendis tak lagi menolak seperti sebelum-sebelumnya, ia langsung memakai jaket itu untuk melapisi baju seragamnya yang tipis.

"Pakai helemnya."

"Pakein, tangan Gendis gak keliatan." Adunya menggoyang-goyangkan tangannya yang tak terlihat karena jaket milik Dewa yang kebesaran.

Dewa tersenyum samar, Gendis benar-benar lucu dengan jaket miliknya. Boleh gue bungkus gak sih ni bocah? Lucu bangat. Dewa memakaikan helm di kepala Gendis. Untung sekali ia membawa dua helm. Feelingnya begitu kuat bahwa hari ini ia akan kembali bertemu si tuyul. Mulai hari ini dan seterusnya ia akan membawa dua helm, tidak ada yang tau kan di jalan nanti ia bertemu tuyul manis ini lagi.

Puk puk puk!

Dewa menepuk-nepuk helm Gendis, gemas sendiri melihat wajah polos tuyul kecil dihadapannya ini.

"Jangan ditepukin kepala gendis." Gendis menepis tangan Dewa yang nankring di atas kepalanya.

"Ndis, Ibu lo ngidam apa sih pas hamil lo ini?"

"Sabun."

"Heh?" Dewa yang niatnya bercanda malah diberi jawaban ngaco.

"Maksud lo, Ibu lo ngemilin sabun gitu?"

Gendis mengangguk, "Iya. Makanya kulit Gendis lembut, wangi dan bersih."

"Emang iya?"

Gendis mengangguk, "Iya. Mau bukti? Nih--"

"Eh eh lo ngapain?" Dewa menahan tangan Gendis yang berusaha menurunkan leher jaket dan seragamnya, menunjukkan tengkuk mulusnya. Gilak ya, itu tengkuk bisa bikin gue gak bisa tidur ntar malam.

"Mau nunjukin bukti." Jawab Gendis polos.

Dewa menggeram tertahan, "ya gak gitu juga kali, bocah. Buruan naik!" Ini lama-lama gue khilaf juga kalau tiap hari main sama ni bocah.

"Pegangan." Titah dewa.

"Gak bisa. Ini punggung gendis sakit bangat kalau pagangan doang."

"Yaudah peluk!" Dewa gregetan sendiri. Masa begitu saja bocah ini tidak paham sih.

"Gak mau nanti dada Gendis ketekan lagi di punggung Om. Ogah!"

Eh buset, tau loh dia.

Dewa menggeleng, "Gak bakal. Lo kan belum punya dada. Gak bakalan terasa, tenang aja." ujarnya asal.

"Ih enak aja. Gini-gini gendis 36b."

Dewa mencibir, "Rata gitu."

"Enggak! Om mau bukti? Ni Gendis buka--"

"Eeeh gilak!" Dewa sampai menoleh untuk memukul helm Gendis saking gemasnya. Ya ampun anak iniiiii! Arg!

Gendis mengaduh memegang kepalanya, "Kok Gendis di pukul sih?"

"Rasain! Dengar baik-baik ya bocah. Dengerin!" Dewa sampai menekan-nekan kalimatnya saking tak habis pikirnya dengan otak gendis.

"Apaan?" Gendis mengusap helmnya yang di pukul Dewa tadi.

Dewa menarik nafas dalam, "Gak mesti lo buktiin semua hal hanya karena orang lain gak percaya sama lo. Apalagi sampai buka baju gini hanya karena mau buktiin ukuran dada lo. Gak boleh! Mengerti?"

"Bukannya dengan bukti bisa lebih meyakinkan ya Om?" Gendis malah bertanya balik.

"Tapi jangan yang hal-hal pribadi juga. Badan lo, milik lo. Gak boleh ada satupun yang liat. Lo dapat s*x education gak sih? Perlu bangat gue ajarin?" Kepala Dewa mulai berasap. Ia kesal, gemas sekaligus khawatir. Bagaimana kalau kepolosan Gendis dimanfaatkan orang jahat? Astagaaaaa!!!!

"Belajarlah Om. Mami ngajarin."

Malah ngejawab lagi. Dewa mengurut keningnya yang semakin pusing.

B*go dan polos ada bedanya gak sih?

***

Manis sih tapi kata Om Dewa si tuyul ini rada-rada b*go tapi ngangenin

Gimana dong 👉👈

Masih gue liatin lo, bocah 🧐

Terpopuler

Comments

Yanti Raisyafariz

Yanti Raisyafariz

Hadeuh

2023-04-14

0

Aida Zufi

Aida Zufi

baru keinget ini dewa temanya om gi ya....jadi rkangen om gi..lanjutin thor🥰🥰🥰

2022-09-29

1

buk e irul

buk e irul

aduh visual nya bikin gemes... kalo lagi nyolot 🤣🤣🤣

2022-08-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!