"Nenek!" Dewa berlari menghampiri sang nenek yang duduk selonjoran diatas sofa panjang. Wanita tua itu terlihat payah dengan keadaan pakaiannya yang kotor.
"Kamu sudah pulang?" Nenek mengusap belakang rambut Dewa yang tampak sangat panik melihat keadaan dirinya.
"Nenek kenapa bisa begini? Mana yang sakit, Nek? Ya Tuhaaaan." Dewa memeriksa badan neneknya dengan hati-hati. Wajahnya pucat melihat sobekan celana di bagian lutut neneknya dan noda merah disana yang sudah ditetesi betadine. Telapak tangan sang nenekpun sudah ditempeli plester bermotif kartun pororo yang membuatnya bisa bernafas lega. Siapapun si pororo itu pasti memiliki ilmu pertolongan pertama yang tidak diragukan dan Dewa sangat berterima kasih.
"Ini keajaiban--" Nenek terkekeh, sayangnya Dewa sama sekali tidak melihat ada yang lucu disini. "Ini kali pertama Nenek mendengarmu menyebut Tuhan."
Dewa diam. Ia menipiskan bibirnya gusar, "Apaan sih Nek? Lagi luka gini juga." Dewa berujar lirih. Ia paling malas kalau neneknya sudah membawa-bawa hal seperti ini dalam obrolan mereka. Bagi Dewa, Tuhan sudah tidak memikili eksistensi lagi semenjak kedua orang tuanya meninggalkannya. Dewa hanya seorang bocah berumur lima tahun saat sebuah kecelakaan bus pariwisata merenggut dua malaikatnya. Seharusnya ia tak memaksa hari itu. Seharusnya ia mendengar apa yang dikatakan ibunya untuk liburan di kebun binatang saja setelah hujan reda.
"Wa---"
Dewa buru-buru menyeka airmata dipelupuk matanya, "Nenek datang sama siapa? Yang nyelakain nenek udah ditangkap?" ia mengalihkan ke topik utama, neneknya sadar sang cucu mengalihkan isu tapi tak memaksa melanjutkan membahas salah satu topik sensitif menyangkut anak dan menantunya.
Nenek menghela nafas lelah, usia renta membuat satu-satunya keluarga yang dimiliki dewa itu cepat sekali lelah, "Polisi sudah memburunya. Dan itu gadis yang menolong nenek. Ndis, sini sayang." Nenek melambaikan tangannya.
Dewa menoleh kearah dimana neneknya memanggil seseorang, ia terkejut mendapati tuyul lepas sudah ada dalam rumahnya, mengenakan baju kaos miliknya yang kebesaran di badan kecilnya. Astaga permainan takdir semacam apa ini?
"Halo." Gendis melambaikan tangan ceria. Senyumnya terlalu lebar untuk ukuran orang yang baru saja bertemu dengan seseorang yang semalam diteriakinya penjahat kelamin.
"Sini, Ndis." Panggil nenek menepuk bagian sofa yang kosong, tepat didepan Dewa duduk bertumpu di lututnya "Kenalkan, ini cucu saya, namanya Dewa."
Gendis mengulurkan tangan tanpa sungkan, "Halo Om Dewa. Namaku Gendis."
Dewa masih memperhatikan tangan yang terulur di depannya. Menimbang apakah ia harus menyambut uluran tangan itu atau tidak. Bukannya apa-apa, ia khawatir tuyul manis di depannya tiba-tiba saja menggigitnya atau mungkin tangannya ini sudah diludahi. Hih!
BUK!!!
"AW!" Dewa meringis mengusap punggungnya yang baru saja mendapat tabokan dari neneknya. Ada ancaman dari tatapan sang nenek. Dewa mendengus sebal lalu kembali beralih pada gadis remaja di depannya.
Dewa berdehem, "Khm. Panggil bang Dewa saja."
Gendis menggeleng, "Gak boleh. Kata Mami harus menghargai orangtua."
******! Gue dibilang orangtua.
"Terserahlah." Malas berdebat Dewa menarik tangannya yang terulur, wangi minyak telon. Batinnya.
"Senang bertemu Om Dewa." Ucap Gendis masih memamerkan lesung pipinya yang membuat Dewa gatal ingin menyentuhnya. Sepertinya Gendis tidak mengingatnya melihat bagaimana gadis remaja di depannya ini tampak santai berdekatan dengannya. Dewa cukup bersyukur untuk itu tapi disisi lain egonya sedikit terluka. Bisa-bisanya wajah tampannya tidak meninggalkan kesan sama sekali, keterlaluan.
"Kamu yang nolong nenek saya?" Tanya Dewa sedikit sanksi. Bagaimana mungkin gadis remaja semanis ini bisa menolong seorang korban yang sedang di rampok? Atau jangan-jangan komplotannya dan sebenarnya target utamanya rumah ini? Hoho bisa jadi! Otak sinetron Dewa mulai membuat spekulasi-spekulasi konyol.
"Gak bisa dikatain nolong sih, Om. Gendis cuman bantuin teriak, warga pada ngumpul, rampoknya kabur." Terang Gendis mengingat kejadian saat ia pulang dari les sore tadi.
"Ia, Wa. Gendis gadis pemberani. Dia bahkan melindungi nenek saat perampok itu melempar linggis." Sambung nenek seraya mengusap lengan Gendis.
Gendis menyengir saat Dewa menatapnya intens, "Ada yang luka?"
Gendis menggeleng, "Gak apa-apa, Om. Tenang aja." ujarnya mengibaskan tangan cepat tapi kemudian "Awww!" ia meringis saat punggungnya membentur lengan sofa yang ujungnya terbuat dari ukiran kayu.
"Ndis?" Nenek berujar khawatir.
"Gak apa-apa, Nek. Ini cuman--" Gendis gelapan. Ia menatap takut-takut pada Dewa yang sejak tadi tak mengalihkan perhatian darinya.
"Nenek ke kamar ya. Istrahat. Nanti Dewa yang urus Gendis." Dewa mengangkat neneknya tanpa kesulitan meskipun wanita tua itu menolak.
"Jangan kemana-mana." Dewa mengingatkan sebelum menghilang didalam sebuah kamar dengan ornamen khas bali di pintunya.
Sepeninggal Dewa, Gendis buru-buru mengambil tas dan baju kotornya untuk segera pergi dari tempat itu. Namun saat ia akan kabur, seseorang memeluk perutmya posesif.
"Mau kemana?"
"Kabur."
Dewa berdecak. Kali pertama ia bertemu orang yang mengakui niatnya untuk kabur. Tidak bisakah tuyul manis ini memberikan sebuah alasan yang masuk akal? Bahkan tidak masuk akalpun tidak masalah. Janganlah ia terlalu jujur seperti ini. Ketahuan oon-nya.
"Nanti saya antar tapi kita cek dulu keadaan kamu."
"Gak usah. Gendis gak kenapa-kenapa kok." Gendis menggeliat berusaha meloloskan diri tapi lengan kokoh Dewa terlalu kuat menahannya.
"Jangan ngeyel." Dewa mengangkat Gendis begitu saja dengan satu tangan. Seolah badan gendis hanyalah manekin tak bernyama yang ringan dibawa-bawa.
"Eeeh Om, lepasin!" Teriak Gendis berusaha berpegangan pada sofa tapi Dewa dengan mudah melepaskan pegangan itu. Lelaki itu dengan langkah lebar membawa Gendis ke kamarnya dimana kotak obatnya tersimpan.
Dewa mendudukkan Gendis diatas ranjangnya. Gendis yang sudah lepas kembali berusaha melarikan diri namun tertahan oleh tarikan Dewa di kerah baju kaos yang dipinjamnya dari lelaki itu.
"Om, Gendis beneran gak apa-apa. Gendis harus pulang sekarang. Mami Papi ntar nyariin." Cerocos Gendis yang tak diabaikan oleh Dewa. Lelaki perkulit putih bersih itu tak kesulitan sama sekali menahan Gendis dengan satu tangannya sedangkan tangan yang lain mengambil kotak obatnya dari dalam tas loreng miliknya.
"Mana yang sakit?" Dewa sudah kembali mendudukan Gendis diatas ranjang. Sudah tidak ada jalan melarikan diri untuk tuyul manis itu.
Gendis pasrah. Ia duduk dengan bahu meluruh, "Punggung Gendis." ucapnya malas.
"Buka baju kamu!"
"GAK MAU!" gendis menyilangkan kedua tangan didadanya dengan waspada. Ia mengambil jarak sejauh mungkin dari Dewa hingga ia hampir terjerembab jika saja Dewa tidak sigap menarik lengannya.
"Heh, siapa yang mau ngapa-ngapain kamu sih bocah? Gak ada gue nafsu liat badan bocah kayak kamu." Omel Dewa lelah. Tuyul kecil ini benar-benar merepotkan. Padahal ia hanya mau berbaik hati mengobatinya, "Sini!"
"No!" Tolak Gendis masih mempertahankan posisinya.
"Astagaaaaa!" Dewa mengacak rambut kesal. Ia manarik nafas kasar, "Liat muka saya baik-baik. Ada tampang penjahat gak?"
"Ada." Jawab Gendis bahkan tanpa berpikir seolah diujung lidahnya memang sudah siap mengucapkan kata ini.
Dewa menganga tak percaya. Astaga muka angel kayak gue dituduh tampang penjahat? ASEM!
"Percaya sama saya. Nenek ada di sebelah. Pintu juga tidak di tutup. Mana ada tersangka se-open ini mau ngelakuin kejahatan?"
Gendis terdiam. Terlalu banyak orang jahat di dunia ini dan tampang baik-baik pun biasanya adalah bos besarnya. Gendis menggaruk hidungnya sembari berpikir keras terlihat dari lipatan di jidatnya. Dewa yang melihat itu hanya mengulum senyum diam-diam. Tuyul kecil di depannya ini sangat menggemaskan. Ingin rasanya ia menarik kepala itu dan mengetoknya untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.
"Huffff!" Gendis menghembuskan nafas panjang, "Ia deh, tapi Om jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan ya? Gendis kutuk nanti jadi kecoak kalau sampe Om macem-macem." Ancamnnya yang terdengar lucu di telinga Dewa.
Dewa mengangguk, "Iya elaaah. Gak percayaan bangat si bocah." senyumnya tersungging tipis saat Gendis mulai mengangkat kaosnya.
Ebuseeet, mulus bener ni tuyul! Mata Dewa berbinar melihat punggung Gendis yang putih bak pualan. Lembut pasti tuh. Pikirnya mulai kemana-mana. Demi apa lelaki yang sudah melepas keperjakaannya sejak SMP itu deg-degan sekarang. Seperti remaja tanggung yang baru pertama kali mendapatkan mimpi basahnya. Sialan, gue nafsu! Dewa menelan ludah susah payah. Baru kali ini ia tergoda hanya karena melihat punggung. Biasa juga penari xxxxx meliuk-liuk di depannya tidak ada perasaan seperti ini. Tapi sekarang--- Astagaaa Dewa sadar! Dia bocah, anjiiiim!
"Udah liat?"
"Udah?"
"Parah gak?"
"Asli."
"Eh?" Gendis menoleh kebelakang, ia memutar bola mata sebal melihat Dewa yang malah terpaku seperti patung pancoran.
"OM!"
"Eh ya?" Dewa gelagapan. Gendis baru saja teriak di depan wajahnya. Si bocah!
"Niat ngobatin gak? Kalau gak, Gendis pulang aja."
Dewa mengusap wajahnya kasar, "Iya. Ini mau diobatin." Dewa melihat punggung kiri Gendis tepat dibawah tali branya yang membiru. Tampak sangat jelas karena kulit Gendis yang memang putih bening.
Dewa mengambil minyak oles yang ampuh untuk mengobati cedera yang semacam ini, memar biru yang merusak kulit cantik si tuyul. Dewa mengangkat keatas tali bra Gendis sembari menahan nafas, godaan di depan mata. Bahaya! Dewa merapal segala jenis kalimat-kalimat suci yang masih diingatnya saat telunjuknya menyentuh kulit bak pualam itu tapi--- Astaga! Dewa gemetar. Ini kulit paling empuk dan halus yang pernah ia sentuh sebelumnya. Bukan karena selama ini kulit cewek-cewek yang ia sentuh bermotif belang-belang, polkadot apalagi zig zag tapi memang selama ini ia tidak memperhatikan dan tidak mau peduli dengan kelembutan kulit mereka. Selama keinginannya terpuaskan, sekasar kulit buaya pun ia tak masalah. Memang sebrengsek itu manusia bernama Dewa ini.
Dewa menguatkan iman yang entah tiba-tiba datang dari mana yang pasti ia mengingat dosa sekarang jika melecehkan gadis kecil di depannya ini. Dewa berhasil mengoleskan obat pereda lebam di punggung Gendis tanpa menyentuh bagian lain. Mata nakalnya yang halaf lekuk sempurna seorang gadis otomatis mengintip kebagian depan, tidak sampai melihat tapi bayangan akan kekenyalan dan kelembutan gendis sudah menari-nari di kepalanya.
Dewa, untuk kali ini jangan jadi brengsek! Hati malaikatnya mengingatkan. Cepat-cepat ia menggelengkan kepala. Ia akan jadi pria paling brengsek sedunia jika mencelakai gadis manis yang sudah menolong neneknya. Sekali lagi Dewa menarik nafas, saat akan menurunkan kaos yang dipakai Gendis, entah group setan darimana yang memprovokasinya hingga ia dengan lancang menyentuh kulit punggung itu dengan bibirnya.
Cup.
Hanya sentuhan ringan tapi membuat si pemilik punggung bereaksi.
"Obat apa tuh Om? Obatnya dingin gitu kena kulit Gendis."
Dewa tersadar, Astagaaaa apa-apaan tadi? Dewa mengusap wajahnya panik. Bisa-bisanya ia mencuri kecupan dipunggung gadis ini? Gilak Dewa! Gilak!
"Om?"
"Ya?"
"Itu tadi apa? Kok dingin kenyal gitu?"
Dewa tergagap, "Oh, i-itu---"
"Gendis suka."
Heh?
"Olesin aja Om semua punggung Gendis. Pegel soalnya, kebanyakan duduk." Pintanya polos.
Kali ini Dewa bukan hanya mengumpat tapi wejangan-wejangan dari neneknya seperti malaikat yang memintanya untuk menahan diri untuk melakukan sesuai apa yang bocah manis itu minta. Ini anak polos apa bego sih? Bibir gue masa disamain sama minyak nyong-nyong? Gak beres!
"Gak. Cukup. Ntar obat saya habis lagi dipake kamu." Dewa menutup kotak obatnya agak berisik. Sebenarnya hanya untuk mengalihkan pikirannya dari keinginan untuk merengkuh tubuh didepannya ini.
"Pelit." Gerutu Gendis yang tertangkap jelas oleh Dewa.
Bukan pelit, yul. Cuma lo nya nanti yang rugi kalau obat gue dijejelin di punggung lo. Dewa mendumel keki setengah mati. Bahaya sekali kalau Gendis bertemu manusia-manusia sejenis dirinya diluaran sana, bisa habis anak ini. Tiba-tiba saja Dewa merasa khawatir memikirkan kehidupan Gendis diluar. Bagaimana kalau si tuyul di jual? Bagaimana kalau yang beli kakek-kakek bau tanah yang doyan daun muda? Bagaimana kalau---
"Tidak!"
Gendis tersentak, "Om tidak jadi ngantar? Bilang dong dari tadi." Gendis mengambil tasnya lalu berjalan dengan kaki dihentak-hentakkan.
Dewa yang baru menyadari situasi yang ada bergegas menyusul Gendis, "Ndis, tunggu!"
"Udah, kalau gak ikhlas gak usah maksain diri, Om. Gendis bisa mesen taksi kok."
Kalau supir taksinya nyulik gimana? Dewa bergidik horor. Tidak, Gendis harus pulang dengan selamat. Kalau perlu ia akan memesan supir khusus untuk mengantar jemputnya.
Emang punya duit, Wa? Dewa menggaruk kepalanya pusing. Ia baru sadar kalau gaji sebulanmnya hanya cukup untuk beli kolor selusin, beras sekarung, dan mie se-dos. Selebihnya tabungan persiapan nikah dan cicilan rumah.
Nikah? Hadeh, menyebalkan!
Dewa menyamai langkah gendis, menahan lengan kecil itu, "Saya antar."
"Ikhlas gak nih, Om?"
"Ikhlas."
Gendis mengangguk, "Yaudah deh kalau Om maksa."
Tuyuuuuul gue gak maksa lo ya! Koreksi tuh baik-baik. Dewa rasanya mau memitas kepala cantik itu kalau tidak mengingat statusnya sebagai seorang abdi negara, tentara kebanggan rakyat. Ia akan mengotori kewibawaan kesatuannya kalau sampai ketahuan menyiksa anak dibawah umur.
"Aduh, Gendis lupa izin lagi. Bentar Om, Gendis izin dulu." Gendis baru akan kembali dalam rumah ketika tangan Dewa menahannya.
"Gak usah. Nanti saya sampaikan sama nenek kalau kamu udah pulang. Nenek lagi istrahat sekarang."
"Oh, ok deh." Gendis lantas mengikuti langkah Dewa kedalam sebuah mini garasi. Disana ada motor mio milik Dewa yang biasa ia pakai jalan-jalan bersama neneknya.
"Naik!"
"Bentar, Gendis gak tau pake helm." Gendis kelihatan kesulitan memakai helm ditangannya. Posisinya bahkan terbalik.
Dewa berdecak tak sabar, "Kayak gak pernah pakai helm aja."
"Emang. Ini kali pertama Gendis naik motor."
"Sumpah?" Dewa terpekik tak percaya. Anak remaja macam apa yang sedang dihadapinya ini? Masa motor saja tidak pernah naik. Pasti kebiasaan desak-desakkan di angkot nih. Kasian juga.
"Kata Papi, Gendis hanya boleh naik mobil kalau kemana-mana. Takutnya Gendis jatoh trus kelindes truk."
Astaganagaaaa.... serem amat penjelasannya.
"Jadi gak usah pake motor?" Dewa memberi pilihan.
"Motor aja Om, Gendis juga penasaran. Nanti gak usah sampe depan rumah Gendis supaya orang rumah gak liat."
Dewa mengangguk, ia sudah selesai memasang helm Gendis, "Naik."
HAP!!
"Jalan!"
Dewa melirik lengan kecil Gendis yang bertaut memeluknya erat. Konsentrasinya sedikit buyar saat merasakan benda kenyal menempel di punggungnya.
Auto kelindes becak ini sih.
***
Jadi geeees, Little angel bakal slow up sambil menunggu kisah om Gi dan Nad kelar, happy ending forever.
Yang mau nyicil baca, silahkan. Mau nunggu nanti-nanti juga silahkan.
Selamat membaca, maafkan otak kotor Dewa. Karena Dewa emang gak seputih kehidupan Gibran. Untungnya ketemu Gendis gadis polos yang cerdas meskipun rada-rada gitu.
Maklumi ya,...
Dari Dewa yang berusaha tobat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Yanti Raisyafariz
😍😍😍😍😍
2023-04-14
0
MR
baca nyicil aja deh.....daripada baca little persit ampe 4x 😜
saking fansbest nya om gi,...🤣🤣
2023-02-13
0
Sarn Niya
wkwk asli ngakak baca tiap part-nya 🤣
2022-10-08
2