Gara-gara Tuyul

Dewa tak bisa menahan kedutan dibibirnya kala melihat Gendis mendorong gerobak gulali yang baru saja dibelinya dari abang-abang pemiliknya. Tak tanggung-tanggung gerobak itu dibeli seharga lima puluh juta tanpa penawaran yang membuat si empunya gemetar melihat uang tunai super tebal di tangannya.

"Kenapa gak sekalian abangnya dibeli?" Dewa membantu Gendis mendorong saat melewati tanjakan. Untung saja gerobak itu didapatnya tak jauh dari kompleks rumahnya sehingga Gendis tak perlu mendorong begitu jauh. Lagian ada-ada saja, bukannya membeli gulali malah gerobaknya yang dibeli. Sepanjang usianya yang sudah kepala tiga ini Dewa baru menemukan spesies langka jenis Gendis.

"Gak, Om bisa kena pasal perdangan manusia kalau abangnya juga diangkut. Hukumannya lama." Terang Gendis.

Dewa cengok. Bukan itu poinnya Tuyuuuul, duh gemes. Dewa menahan tangannya untuk tidak menarik pipi tuyul manis itu. Kalau tidak sefrekuensi memang segaring ini. Tapi b*gonya ia mau-mau saja menghabiskan waktu bersama spesies langkanya ini. Gendis itu unik, perlu dilindungi biar tidak punah.

"Trus gimana lo bikin gulalinya? Emang bisa?" Secara ya, Dewa saja sebagai lelaki yang sudah melalang buana di bumi ini belum pernah mencoba membuat gulali apalagi si tuyul yang mainnya di tempat-tempat elit saja--ehm pinggiran juga adalah ya.

"Google." Jawab Gendis menyengir lebar. Dewa terdiam sejenak, Ya emang google tapi kan---

"Bisa?"

"Bisalah. Kata mami gak ada yang gak bisa kalau mau belajar." Ujar Gendis membuat Dewa mengangguk-angguk takjub. Yah, emang apa yang tidak bisa dilakuakan tuyul manis ini, kayaknya tinggal di mars juga bisa dia.

"Okelah." Ujar Dewa akhirnya. Lagian manusia optimis macam Gendis mana kenal namanya menyerah tanpa mencoba. Gendis pasti memiliki kamus yang tidak ada kata 'gagal' didalamnya. Keren juga.

"Udah sampe. Makasih ya Om."

Dewa melihat sekeliling, keasikan melamun ia tidak sadar sudah berada di depan sebuah pintu pagar yang lebih tinggi dari harga dirinya. Dewa berdecak takjub, ini rumah apa arena runner maze ya?!

"Pagar rumah lo tinggi bangat. Maling bakalan nangis darah sih kalau mau nyari nafkah disini."

"Rumah mama papa, Om. Gendis belum punya sendiri tapi rencananya mau bangun di sekitaran kali ciliwung."

Eh buset!

"Lha, lo ngapain mau bangun rumah di tempat kumuh rawan banjir gitu? Ada-ada aja ni bocah." Dewa menggeleng tak percaya. Ia saja yang hanya seorang prajurit biasa punya cita-cita membangun rumah atau setidaknya membeli apartemen di kawasan elit jauh dari kemiskinan, nah Gendis yang notabenenya bisa membeli satu pulau reklamasi malah mau bangun rumah di tempat kumuh. Sarafnya putus nih pasti.

"Kalau Gendis bangun rumah disana, Gendis bisa dekat sama anak-anak. Lebih gampang juga kalau mau Gendis bantuin. Paling nguntungin lagi mami dan papa pasti gak mikir banyak ngubah tuh tempat jadi pusat bisnis yang otomatis nguntungin warga disana. Keren kan?"

"Lo mikir sampe kesana?" Dewa sesaat kehilangan kata-katanya. Bisa-bisanya Gendis bisa berpikir sevisioner itu. Anak ini hatinya terbuat dari apa sih? Rendaman molto sebotol kali ya, lembut dan wangi.

"Hidup sekali doang kali Om. Masa iya cuma jadi beban bumi sih."

Dewa mengangguk kecil. Trus apa kabar gue? Udah jadi beban negara, beban dunia, terlebih beban neneknya.

"Hebat bangat anak kecil." Dewa menepuk-nepuk bahu Gendis membuat gadis itu memberenggut sebal.

"Jangan panggil Gendis anak kecil dong Om. Gendis bentar lagi punya KTP."

"Lo juga berhenti manggil gue Om. Panggil Dewa aja. Gak ada gue tampang om-om." Cukup Nadia saja yang memanggilnya Om yang tidak bisa ia protes sama sekali. Nadia punya hulk yang siap mematahkan tulang siapapun yang berani membantahnya.

Gendis menggeleng, "Gak sopan, Om. Kata mami Gendis meskipun nakal harus hormat sama orangtua."

Eh anjiiiiim, malah orangtua lagi sekarang.

"Gak. Gua gak masalah sama kesopanan. Panggil Dewa aja."

"Gak mau."

"Gue traktir es krim."

"Gak. Gendis bisa beli sendiri."

"Donat?"

"Gak suka. Manis, ntar gigi Gendis ompong."

"Kata siapa?"

"Mami."

Dewa memutar bola mata, "Kan bisa sikat gigi."

"Iya sih tapi tetap aja nggak suka."

"Burger deh."

"Gak sehat Om. Nanti jadi b*go.Gendis kan mau jadi ilmuwan."

Dewa menyerah, Dewa lelah, Dewa--hiks "Jadi lo maunya apa?"

Gendis diam sebentar, mengetuk-ngetuk dagunya sok mikir. Tak berapa lam kemudian, wajahnya langsung berbinar, alamat buruk untuk Dewa yang mulai menyesali pertanyaannya.

"Ajarin Gendis nembak."

"Nembak? Nembak cowok? Gak usah, jangan pacar-pacaran, masih kecil." Tolak Dewa cepat. Membayangkan Gendis sayang-sayangan agak menggelikan dan menyebalkan sekaligus.

Gendis menggeleng, "Bukan, Om. Nembak pake senjata gitu. Kan Om tentara tuh, bisalah bagi-bagi ilmu."

"ENGGAK! Ilegal. Lagian lo ngapain belajar nembak sih, udah lo sekolah yang bener aja ntar gue yang jagain" Ops. keceplosan. Dewa menggigit lidahnya sendiri. Mamp*s saja kalau Gendis meledeknya. Lagian apa-apan sih Dewa pake kalimat cringe begitu. Ah elah, harga diri gue.

"Ya nggak apa-apa dong Om. Kan ilmu juga. Siapa tau Gendis bisa buka lapangan tembak untuk anak-anak."

Dewa mengurut dada lega. Untung Gendis otaknya lemot jadi tidak ada ajang baper-baperan. Bagus juga cuma sepertinya sulit menghadapi bocah anti baper ini, lama pendekatannya. Eh, lo niat pendekatan, Wa?

"Gimana? Deal?" Gendis mengulurkan tangan. Kapan lagi bisa belajar menembak dari ahlinya langsung.

Dewa menggeleng, "Gak."

"Please... Gendis panggil abang deh atau kakak. Mau ya?" Mohon Gendis menautkan kedua tangannya. Kesempatan langka nih, harus di manfaatkan.

Dewa menimang, sebenarnya tidak ada ruginya tapi--

"Dilapangan tembak?"

Gendis mengangguk, "Iya dong, masa di jalan raya, Itu mah bisa disangka *******."

"Oke.Tapi-- Jangan senang dulu." Dewa menghentikan Gendis yang sudah akan melompat girang, "Ada tapinya."

"Apaan?"

"Jangan keliaran malam sendirian apalagi ke tempat rawan. Bahaya." Dewa masih mengingat jelas pertemuan pertamanya dengan Gendis, motel remang-remang bukanlah tempat yang aman untuk gadis sepolos gendis. Banyak predator yang mengincar gadis muda, cantik dan berbakat seperti Gendis. Sangat menghawatirkan.

"Kok gitu? Gendis aman kok."

Dewa menggeleng, "Lo nggak aman. Gadis muda mana boleh keliaran di tempat remang-remang. Diculik pedofil, habis lo."

Gendis mengernyit, "Om tau darimana gendis ke motel remang-remang?" Tatapannya lalu memincing membuat Dewa salah tingkah. "Om pelanggan disana ya? Apa jangan-jangan germonanya lagi-- Oww!"

"Sembarangan." Dewa menjentik jidat Gendis dua kali. "Pokoknya itu syarat dari gue. Kalau gak mau, berarti gak ada latihan tembak."

Gendis manyun. Bukannya tidak mau tapi disana ia punya misi rahasia yang sudah ia jalankan setahun belakangan ini, "Gak ada syarat lain Om?"

Dewa menggeleng. Ia diam-diam memperhatikan wajah bimbang Gendis, "Lagian lo ngapain sih ketempat gituan? Kalau mau nyewa hotel bukannya banyak tempat lain yang lebih aman? Minta jemput orang rumah atau apa gitu."

Gendis meringis, "Yaudah deh, gak usah aja Om."

Eh, gimana? Kok cepat nyerah si bocah.

"Yakin?" Dewa memancing. Terlihat sekali Gendis ingin latihan menembak tapi hanya karena diberi syarat seperti itu masa sudah menyerah. Memang ada apa di motel remang-remang? Pikiran Dewa mulai berkelana kemana-mana. Apa jangan-jangan Gendis dijebak atau semacamnya?

"Yakin." Angguk Gendis. Ia tidak bisa mengorbankan perjuangannya selama setahun ini hanya karena keinginannya belajar menembak.

Dewa memikirkan syarat lain, mungkin dengan terus disamping Gendis setidaknya ia bisa tahu apa yang dilakukan gadis itu di motel langganan grebekan BNN dan Polisi tersebut.

"Atau nggak, lo telfon gue deh kalau memang mau ke motel. Gue temanin." Ujar Dewa menawarkan.

Gendis diam sebentar lalu kemudian mengangguk, "Deal." ucapnya menghadirkan kelegaan di wajah Dewa.

"Deal. Udah nih, ambil gerobak lo."

"Makasih, Om-- eh, abang." Ralat Gendis menyengir aneh, tidak biasa saja menyebut kata itu. Sementara Dewa, senyum tengil diwajah laki-laki itu tak terelakan.

"Panggil sayang aja, nggak?"

"NAJIS!"

***

Dewa mengetuk-ngetuk jarinya diatas meja kayu kantornya. Sudah hampir seminggu ia tidak bertemu si tuyul, si*lnya ia merindukan anak kecil bau kencur itu. Bisa-bisanya Wa! Dewa mengetuk-ngetukkan kening diatas meja. Ini sudah tidak normal.

"WOE!"

"Anjriiiiit si*lan!" Dewa hampir menonjok wajah didepannya yang muncul bak jelangkung yang untungnya sigap menghindar.

"Ampun, bos. Canda elaaah. "

"Candaan lo nggak lucu kampr*t." Dewa mendorong bahu Jonathan kesal. Asik melamun ada saja gangguan.

"Abang kenapa melamun? Kemasukan jin penjaga pohon kan habis."

"Lo jin nya. Diem!" Dewa kembali mengetuk-ngetuk kepalanya di permukaan kasar itu membuat Jonathan tak habis pikir dengan kegalauan Dewa yang tak biasa.

"Lo ngapain diam?"

"Hah?" Jonathan bingung, bukannya seniornya ini tadi yang menyuruhnya diam?! Labil.

"Mulai gila gue."

Dari dulu. Jonathan mendengarkan.

"Bisa-bisanya kepikiran tu bocah. Kutukan gue sama Gibran nyerang balik apa gimana. Habis gue."

"Bang Dewa membicarakan siapa?" Tanya Jonathan, akhirnya penasaran juga.

"Tuyul."

"Abang melihara tuyul??"

Dewa mengangkat kepala memberikan tatapan mematikan pada Jonathan yang hanya bisa meringis serba salah. Nasib jadi junior ya begini.

"Siap, salah, Bang."

"Emang lo salah. Idup lo juga salah." Dewa menendang kaki Jonathan. Gara-gara Gendis ia jadi setengah waras begini. "Udah makan lo?" Tanyanya pada Jonathan yang tengah mengusap kakinya.

Jonathan menggeleng.

"Pesen. Ntar gue bayar."

Jonathan seketika melupakan sakitnya, "Warung sederhana porsi banyak dan lengkap."

"Terserah."

Jonathan bersorak dalam hati. Walaupun menyebalkan dan terkadang asal main damprat, Dewa adalah pahlawan dalam hidupnya. Selama ada Dewa maka uang makannya selama sebulan selamat sentosa. Jonathan bergegas meninggalkan Dewa untuk memesan makan siang sebelum mood laki-laki itu kembali anjlok dan menghanguskan jatah makan siangnya.

Seperginya Jonathan, Dewa mengambil hp lalu mengetik nama Gendis disana. B*gonya ia kenapa tidak mengambil nomor hp tuyul kecil itu. Bagaimana ia bisa menghubungi Gendis kalau jejaknya saja tidak ada. Apa ia kerumahnya saja ya? Dewa menimbang hal apa yang harus dilakukannya. Ini baru seminggu tapi seperti sudah seabad lamanya ia tidak bertemu dengan tuyul lincah itu.

Saat tengah melihat-lihat medsosnya, satu pesan masuk dari Gio. Malam ini para bujang lapuk itu akan meramaikan rumah salah satu rekan mereka yang baru saja sold out, Gibran. Ia harus menyiapkan diri melihat tingkah Nadia yang kadang membuat ubun-ubunnya menguap. Ngomong-ngomong soal Nadia, sepertinya ia seumuran dengan tuyul kecilnya. Ia akan menanyakan tentang Gendis, biasanya anak-anak hits jaman sekarang punya tongkrongan sama siapa tau saja saling kenal.

"Makan siangnya, Bang." Jonathan meletakkan satu kantong plastik hitam diatas meja.

"Airnya mana?"

"Ah lupa."

"Ck, cari sana. Lo mau kayang abis makan emang?!" Dewa membuka isi plastik itu dan bukan saja isi warung sederhana yang ada melainkan beberapa jajanan mengandung micin yang kata Gendis bisa bikin b*go. Ah, Gendis lagi. Dewa meletakkan bungkusan itu tak bersemangat. Hidupnya benar-benar kacau sekarang. Mungkin malam ini sepulang dari rumah Gibran ia butuh ke club untuk membersihkan kepalanya dari wujud Gendis.

"Lha, gak dimakan bang?" Jonathan heran melihat Dewa yang tampak bosan menjalani hidupnya. Benar-benar bukan Dewa sekali. Biasanya kalau melihat makanan, mau sekesal apapun ia pasti langsung kalap makan seperti orang kesurupan.

"Lo makan aja. Gak napsu gue." Dewa menjauhkan makanan itu dari hadapannya.

"Tumben. Abang sepertinya harus ke rumah sakit." Ujar Jonathan khawatir. Meskipun Dewa bermulut pedas dan sering menyebalkan, tetap saja senior satunya ini salah satu panutannya.

"Lo pernah liat tuyul?"

"Hah?" Jonathan mengusap kupingnya. Tuyul?

"Gue kayaknya kena guna-guna tuyul." Dewa berujar tak jelas. Sejak kapan tuyul bisa mengguna-guna?! Naik level tuh makhluk ghaib?

"Bisa-bisanya gue mikirin tuh tuyul. Gue, seorang Dewa si international playboy masa dikadalin tuyul sih. Gak bener." Dewa mengacak rambut cepaknya, tak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Jonathan yang tak paham arah omongan seniornya itu memilih mengisi lambungnya sebelum ikut-ikutan stres. Siapapun tuyul yang Dewa maksud, Jonathan harus memberikan lencana atas keberhasilannya mengacaukan mood seorang manusia tersantuy di dunia ini. Sebelumnya mana pernah Dewa segalau ini. Pacarnya menyimpan foto Gibran saja ia abaikan begitu saja, bahkan neneknya yang setiap hari mengancam menikah lagi kalau Dewa tidak menikahpun tak di dengarnya.

"Makan bang."

"Uang gue, lo gak perlu nyuruh."

"Kali aja lupa." Ujar Jonathan lirih. Ampun bangat dapat mood jelek Dewa. Nafas aja dia salah. Jangan sampai Dewa kepikiran menyuruhnya mencari tu tuyul, bisa repot dia.

"Bentar malam temenin gue ke club."

"Maaf, Bang. Nanti malam saya ada ibadah pemuda."

Dewa yang baru akan membuka bungkus makanannya terdiam, sudah berapa lama tepatnya ia tidak berdoa?! Terakhir kali sepertinya nyepi dua tahun lalu itupun karena dijebak sang nenek yang katanya mau liburan ke bali sekaligus melihat pembangunan hotel baru sang nenek ternyata disana ia dipaksa ikut melaksanakan nyepi dan pergi berdoa.

"Lo berdoa siang malam gak bikin perut kenyang juga." Ujar Dewa sinis. Ia tidak percaya dengan doa, bahkan Tuhan sekalipun. Mana ada Tuhan yang jahat mengambil kedua orangtuanya.

"Perut emang gak kenyang bang tapi jiwa terisi penuh." Ucap Jonathan tersenyum kecil. Ia tahu Dewa memang memiliki masalah dengan kepercayaannya pada Tuhan tapi ia tidak punya hak menginterfensi keyakinan seseorang. Jonathan hanya berdoa agar seniornya itu kelak bertemu dengan seseorang yang akan kembali menariknya ke jalan yang benar. Mungkin hari ini, hari esok atau nanti seperti judul lagu yang biasa di dengarnya.

***

"Ah elah, ini yang punya rumah mana sih? Lo udah nelfon kan Jon?"

Jonathan yang berdiri di depan pintu rumah hijau itu mengangguk, "Sudah Bang."

"Sabar." Gio menepuk bahu Dewa yang bertingkah tak sabaran. Punya sahabat semodel Dewa harus menebalkan sabar kalau tidak makanya sehari-harinya hanya akan diisi dengan pergulatan bahkan mungkin baku tembak.

Ketiganya menoleh kebelakang saat mendengar suara berisik dari tiga orang cewek yang sedang adu mulut. Ternyata bukan hanya mereka yang rusuh, ada yang lebih parah. Bahkan tetangga sebelah sampai membuka pintu karena suara cekikikan tidak jelas mereka.

"Selamat malam, Om-om." Sapa salah satu diantara mereka.

"Malam Dek." Jawab Gio menghadapi ketiganya sementara Dewa, perhatiannya teraliha pada salah satu sosok tak asing yang sedang menatap padanya.Gadis itu melambaikan tangannya.

"Selamat malam, Om."

"Tuyul?" Gumamnya lirih. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat dengan jelas senyum secerah mentari Gendis. Gadis itu tampak sehat wal afiat bahkan tak terkejut sama sekali dengan keberadaannya.

Bisa-bisanya lo masih bisa senyum selebar gitu setelah ngacauin gue.

***

Halo readers, maaf lamaa ya soalnya belakang ini mau fokus ke lil persit yang beberapa episode lagi akan tamat. Setelahnya akan up cerita-cerita yg belum end.

Beri cinta untuk dua anakku ini, Gendis dan Dewa. Semoga menghibur.

Puyeng gegara si uyul

Gimana gak bikin galau, tuyulnya semodelan peri gini.

Terpopuler

Comments

Maiia Dewii

Maiia Dewii

bnyak crta yg GK selsai ya Thor :(

2023-06-15

0

Yanti Raisyafariz

Yanti Raisyafariz

Kena pelet tuyul...

2023-04-15

0

inisial Z

inisial Z

suka suka suka banyak banyak banyak pokokyaa

2021-12-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!