Salah satu dari The Nines, seorang laki-laki bertampang kasar dengan rambut pirang dan tatapan tajam, datang mendekat, memberi sebuah tendangan ke wajah Axera kemudian membuang ludah ke samping. Dengan nada mencemooh dia mengatakan "Pergi dari hadapan kami sebelum kami membuatmu jauh lebih tak berguna dibanding sekarang"
Axera berusaha bangkit dengan cepat, namun rasa sakit di sekujur tubuh membuat ia merasa sulit bahkan hanya untuk berdiri. Seluruh tubuhnya gemetar, ia menggertakkan gigi untuk sesaat, mencoba menahan rasa nyeri yang kini datang menyerang sebelum akhirnya kembali tersenyum seperti biasa. Ia menundukkan badan pada murid pirang tersebut dan The Nines, lalu berjalan tertatih entah ke mana, intinya kabur dari tempat ini sebelum salah satu dari mereka berubah pikiran. Axera tak dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi dengan tubuh lemahnya jika satu saja pukulan melayang dari The Nines. Untungnya murid pirang tadi tak menggunakan mana untuk menendang, jika tidak, mungkin sekarang kepala Axera tak lagi berbentuk.
"Mengapa kau membiarkan dia pergi?" tanya seorang perempuan berambut merah bergelombang sambil meletakkan kedua tangan di pinggang.
Murid pirang itu menggelengkan kepala, menolak untuk menjawab. Ia berusaha menyembunyikan kedua tangannya yang kini gemetaran. Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi tadinya, tapi ia yakin mata milik Axera sempat berubah sesaat. Sepasang mata biru lemah itu, seketika berubah merah menyala dengan sebuah lambang asing di permukaan bola mata. Entah mengapa, hanya dengan menatap sepasang mata tersebut, sudah membuat sekujur tubuh berkeringat dingin dengan jantung berdegup cepat, seakan predator sedang mengintai.
Hanya beberapa anggota The Nines yang menyadari ada sesuatu yang aneh dengan murid pirang itu. Tetapi, mereka tak mempermasalahkannya lebih lanjut. Menurut mereka, dia hanya sedang sakit namun berusaha menyembunyikannya agar tak terlihat lemah, terlebih karena ketatnya persaingan The Nines untuk saling merebut tempat pertama. Tentu saja tak seorangpun ingin menyerahkan kedudukan tersebut, apalagi setelah akademi memberitahukan bahwa peringkat pertama mendapatkan berbagai akomodasi lebih dari akademi dan memiliki kemungkinan besar untuk bergabung dalam pasukan elite kerajaan.
Axera terus berusaha melangkahkan kaki. Ia terus berjalan tanpa mengetahui arah mana dirinya tuju, tahu-tahu ia sudah sampai di sebuah taman. Axera belum pernah melihat tempat ini sebelumnya. Delapan tahun tinggal dalam akademi, ia tak pernah menemukan sebuah tempat seindah ini. Bunga bertebaran di mana-mana dalam berbagai warna. Kupu-kupu beterbangan dengan riang di atas bunga-bunga tersebut, menghisap madu dan membawanya pergi. Sebuah pohon terletak di tengah-tengah taman, pohon dengan warna daun keemasan serta batang yang sedikit kuning. Tepat di bawah pohon, terdapat sebuah kursi taman, berwarna putih. Dibentuk, kemudian dipahat secara indah dengan ukiran-ukiran rumit namun seperti menyimpan sebuah makna.
Tanpa disadari, kakinya melangkah secara otomatis menuju kursi tersebut. Axera tak dapat menjelaskan perasaan hangat apa yang kini sedang dirasakan olehnya. Perasaan yang belum pernah ia rasakan, perasaan yang terasa begitu asing sekaligus familiar. Entah mengapa, perasaan ini membentuk sebuah senyum tulus di wajah polos dan kotor laki-laki itu.
Axera duduk di atasnya, merasakan betapa halus permukaan dan sisi kursi tersebut. Dapat dirasakan jika kursi ini dibuat oleh seseorang yang ahli, yang jarang ditemukan, bahkan mungkin hanya ada satu. Namun siapa seseorang yang dapat membuat sebuah kursi taman biasa menjadi sebagus ini? Dengan penuh kesabaran dan ketelitian, ia membentuknya, mengukir kemudian mempolesnya menjadi sebuah seni.
Kemudian Axera mencoba menghirup dalam-dalam udara yang terasa sejuk. Benar saja, hanya dalam sekali helaan, ia sudah dapat merasakan seluruh rasa sakit dan nyeri, perlahan berkurang. Tak hanya itu, bahkan perasaan dan amarah yang tadinya muncul, kini mulai mereda, tergantikan oleh rasa nyaman serta aman. Ia seperti ingin tinggal di tempat ini selamanya, tanpa perlu memikirkan berbagai siksaan dan hinaan yang harus ia jalani di luar sana. Kalau bisa, ia ingin bersatu dengan tempat ini, lalu mengundang siapapun yang juga merasakan hal yang sama sepertinya, memberitahu bahwa masih ada tempat hangat menanti di kejamnya hidup yang kelam.
Namun, belum sempat menutup mata, Axera sudah kembali ditarik oleh kesadarannya. Sekujur tubuh kembali merasakan rasa sakit serta nyeri, membuat ia meringis, menggigit bibir untuk menahan. Ia melihat sekitar, menyadari dirinya berada di depan sebuah danau, sedang bersandar di bawah sebuah pohon.
Axera bangkit berdiri, berjalan pelan menuju tepi danau dan memerhatikan pantulan dirinya. Di situ ia dapat melihat seorang bocah berumur 12 tahun yang tak dapat melakukan apa-apa, sebuah kegagalan, sebuah penyesalan dan seseorang yang tak pantas hidup.
Senyum itu masih dapat terlihat, senyuman yang sudah menjadi topeng baginya. Senyuman yang selalu ia berikan pada orang lain dengan harapan seseorang akan tergerak ketika melihatnya, namun hingga sekarang, tak seorang pun bahkan ingin membela dirinya ketika ia kesulitan. Apakah seburuk itu diriku di mata kalian? Ucap Axera dalam hati.
Setetes air mata, mengalir jatuh mengenai danau tersebut, menciptakan getaran kecil yang terus menyebar hingga ke seberang danau. Getaran kecil yang tak berarti apa-apa, namun menyimpan berbagai isi hati dan perasaan terdalam, sulit dijelaskan oleh sekedar kalimat biasa, namun dapat dirasakan hanya dalam sekali pandangan.
Axera dapat melihat seorang bocah dengan rambut putih bersemu ungu di tiap ujungnya, sedang menatap dirinya sendiri, meneteskan air mata yang sama, melewati hidung mancung serta mulut mungil, jatuh membuyarkan pantulan diri tersebut hingga tiap tetesan kini menjadi semakin deras dan banyak.
Ia tak lagi dapat melihat pantulannya di air danau. Yang dapat ia pikirkan sekarang hanyalah mengeluarkan seluruh perasaan yang sudah ia tahan semenjak tadi. Ia benar-benar tak mengerti mengapa dirinya dilahirkan jika tak memiliki bakat apapun? Bahkan untuk melindungi diri, ia pun tak bisa! Mengapa!?
Air mata itu terus mengalir dan mengalir, hingga Axera disela-sela tangisnya, melihat sesuatu tampak berbeda di pantulan air. Ia dengan cepat menyeka air mata yang masih berusaha mengalir keluar, menghela napas panjang, menenangkan diri sebelum akhirnya kembali melihat pantulan diri. Ia benar-benar merasa kaget ketika menyaksikan kedua mata biru miliknya, kini berubah menjadi merah menyala dengan sebuah lambang tepat di bagian tengah. Ia berlutut di tepi danau, memerhatikannya lebih dekat dan bertanya-tanya, apa yang kini sedang terjadi?
Saat itu juga ia dapat merasakan seluruh tubuhnya seperti terbakar oleh api yang sangat panas, kemudian berubah seperti tertusuk-tusuk oleh ribuan es tajam. Axera menjerit kesakitan. Seumur hidup menjadi samsak tinju, ia belum pernah merasakan sesuatu sesakit dan semenyiksa ini, hingga akhirnya ia jatuh pingsan karena tak dapat menahannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Agus
wah itu pasti saringgan😁😁😁😁
2024-06-09
0
anggita
Salam kenal Axera,👏
2021-04-03
1
Muhammad Nur Rifaldi
👍😉
2021-03-21
0