Malam itu langit seperti tersihir, gemintang tidak lagi nampak di atas sana. Seluruhnya syahdu, hanya bulan membentuk sabit memberi cahaya temaram. Angin berhembus seperti serdadu perang yang tiada hentinya.
Di sudut sana. Rania Agatha sedang duduk diam menatap kaca yang menghadap langit dilantai atas tepat di kamarnya, menekuk kedua kakinya, memeluknya dan menjadikan tempurung kaki sebagai sandaran. Sesekali nafasnya terdengar berat. Jiwanya terguncang, hatinya yang mengering tiba-tiba menghujani dengan deras memenuhi hati yang kemarau berkepanjangan.
Ia tak pernah berfikir jika janji yang ia buat dengan orang tuanya akan menjadi kenyataan. Matanya mulai berkaca-kaca, belum sempat air matanya jatuh membasahi pipinya, Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Rania.
Tok.. Tok.. Tok..
Rania berlari kecil memegang gagang pintu lalu membukanya, kemudian dilihatnya wajah syahdu sang ibu yang tersenyum hangat.
" Ayo turun, kita makan malam bersama! Sudah beberapa hari ini kamu tidak makan bersama. " bujuk ibu Rania tersenyum manis dan memegang kedua tangan Rania.
" Iya bu, mari kita makan bersama, aku juga rindu makan bersama kalian. " tawa Rania pecah bersama ibunya sambil menuruni anak tangga satu persatu.
Dibawah, tepatnya di ruang makan dengan meja yang cukup besar, lengkap dengan 4 kursi yang tertata rapih. Ada ayah dan juga Tania, adik perempuan Rania yang masih duduk di kelas 3 SMA.
" Rania, kemari dan duduklah di samping ayah. " pinta ayahnya dengan suara lembut dan tersenyum hangat.
Rania bergegas duduk di samping ayahnya yang sudah menunggunya sedari tadi.
" Iya ayah " jawab Rania
Ditatapnya wajah ayahnya, ada semburat yang menyimpan banyak harapan padanya tentang perjodohannya dengan zein.
Rania bergegas mendekati ayahnya, duduk di sampingnya. Sementara itu sang ibu mengikuti dari belakang lalu duduk di samping Rania.
Lalu mereka makan bersama, suasana makan malam yang berbeda dari biasanya. Di mana Selalu ada tawa dan canda saat makan bersama, namun kini berubah menjadi begitu hening.
Menyadari bahwa Ayah, Ibu dan juga kakaknya perlu waktu untuk bicara. Tania berinisiatif untuk kembali ke kamarnya setelah makan malam selesai.
" Ayah, Ibu, kak Rania. Aku sudah kenyang. Aku ingin kembali ke kamar untuk belajar. " tiba-tiba suara Tania memecahkan keheningan sepanjang makan malam berlangsung.
" Iya sayang, pergilah ke kamar dan jangan lupa menggosok gigimu sebelum tidur! " pinta sang ibu pada putri bungsunya yang masih ia anggap sebagai anak kecil yang imut dan manis.
" Iya bu " Jawab tania singkat sembari tersenyum.
Kini di meja makan hanya ada mereka bertiga. Masih dengan suasana yang hening, tiba-tiba terdengar suara lembut sang ibu.
" Rania, bagaimana kabar rey sekarang? " Tanya Ayah Rania dengan suara lembut.
Degggghh.. Rania hanya bisa tertegun mendengar kalimat yang dilontarkan ayahnya. Bagaiman tidak, selama sekian tahun ia tak pernah berkomunikasi dengan rey hingga saat ini.
Jawaban apa yang perlu ku katakan padamu ayah? Bagaimana mungkin aku bisa menjawab kabar laki-laki yang menghilang sekian tahun, bak ditelan bumi? Aku bahkan tidak tahu dimana dia sekian tahun lalu hingga saat ini. batin Rania pedih.
Sebenarnya Ayah dan ibunya Rania sudah tahu, bahwa selama ini, semenjak lulus sekolah SMA. Rey pergi meninggalkan Rania tanpa kabar berita. Hanya saja selama ini mereka tak pernah bertanya karena tak ingin menyakiti hati Rania. Namun untuk kali ini, Ayah Rania ingin memastikan dan mendengar jawaban langsung dari Rania.
Belum sempat Rania menjawab pertanyaan ayahnya, ibunya kembali bertanya.
" Rania, ibu tahu kamu masih belum bisa melupakannya, tapi sudah berapa lama ia meninggalkanmu begitu saja tanpa kabar berita? Usiamu sudah 26 tahun dan kamu juga anak pertama. Tidak bisakah kamu membuka hatimu untuk laki-laki lain dan membiarkan kami melihatmu bahagia duduk di pelaminan? " dengan lirih ibu Rania berkata.
Sontak, kalimat yang keluar dari bibir ibunya membuat Rania terenyuh sekaligus hancur. Ia tak punya jawaban atau pembelaan apapun atas apa yang menjadi keyakinan hatinya. Selama ini Ia mempertahankan hati yang sia-sia.
Untuk seketika Rania hanya terdiam mematung tanpa sepatah katapun atas pertanyaan ibunya.
Baiklah bu, aku pun sudah lelah menunggu ketidakpastian ini dan membuang waktuku percuma. Lagi pula hatiku sudah lama mengeras seiring waktu yang tak pernah berpihak padaku untuk harapanku padanya. Batin Rania dengan hati yang hancur.
Rania menghela nafas panjang, berusaha menguatkan hatinya yang hancur karena harapan yang sirna, mempersiapkan jawaban yang akan membuat ayah dan ibunya bahagia. Sesekali Rania menatap wajah ayah dan ibunya. Terlihat jelas, ada harapan besar di bola mata kedua orang tuanya tentang perjodohannya dengan zein. Tangannya bergerak, mendekati dan memegang tangan ayah dan ibunya seraya berkata.
" Ayah, ibu aku tidak yakin akan keputusanku saat ini benar atau salah? Namun aku lebih tidak yakin akan keyakinanku menunggunya datang dan melamar ku. Mungkin aku perlu belajar menerimanya untuk saat ini." Rania menjawab dengan tegas meski di dalam hatinya ada kehancuran karena harapannya kepada rey benar-benar pupus.
Jawaban Rania mengundang senyum bahagia yang nampak jelas diraut wajah ayah dan ibunya. Seolah memperjelas bahwa Rania setuju menikah dengan laki-laki pilihan mereka.
Ada tangan menjulur berusaha memeluk anak sulungnya yang sebentar lagi akan meninggalkannya. Yah, itu adalah tangan lembut sang ibu yang berusaha memeluk seraya berkata " Jawabanmu sudah sangat tepat Ran, ibu yakin kamu akan bahagia hidup bersama Zein. "
Sang ibu memeluk sambil tersenyum, di ikuti sang ayah yang berada dibelakang Rania yang juga ikut bahagia mendengar jawaban dari Rania.
Makan malam berakhir, kegelisahan ayah dan ibu Rania pun sirna, Berubah menjadi ketenangan. Ketiganya berhamburan meninggalkan meja makan, lalu beristirahat.
*keesokan harinya
Seperti biasa setiap pagi pukul sembilan Rania bergegas pergi menuju butik miliknya di antar oleh supir pribadinya. Meski Rania dilahirkan dari keluarga yang cukup kaya, Rania tak punya cukup keberanian untuk mengendarai mobil di jalan raya. Rania lebih memilih menyerahkan tugas menyetir kepada supir pribadinya.
" Pak ferdi, tolong masukan barang-barang yang ada didepan pintu kamar saya kedalam bagasi yah. " pinta Rania kepada supir pribadinya.
Ferdian, laki-laki berumur 40 tahun yg sudah bekerja bersama Rania 2 tahun lalu adalah supir pribadi Rania yang pernah menolong Rania ketika terserempet motor dua tahun lalu di area luar kampus Rania. Ferdian sebenarnya dulu adalah seorang supir taksi yang biasa mangkal di depan kampus Rania, dari situlah Rania mengenal ferdian dan merasa berhutang budi pada ferdian lalu mengajak ferdian untuk bekerja bersamanya.
" Iya nona " Jawab ferdian singkat sambil bergegas pergi mengambil barang-barang tersebut dan memasukannya kedalam bagasi.
Sementara itu, Rania sudah berada di dalam mobil sambil merapikan rambut pendek sebahu dengan poni samping dan membiarkan rambutnya selalu terurai hingga menjadikannya tampak cantik dan elegan.
" Nona, semua barang sudah ku letakkan didalam bagasi, apa masih ada lagi? " tanya ferdian, memastikan bahwa semua sudah siap.
" Tidak ada pak, mari kita berangkat! " jawab Rania singkat sambil memerintah untuk segera pergi.
" Iya nona. " Timpal Ferdian, langkahnya menuju pintu mobil lalu memegang gagang pintu mobil dan membukanya lalu masuk.
Keduanya bergegas menuju mobil yang sudah di parkir di depan teras rumah oleh ferdian, langkahnya cepat dan menjulurkan tangannya memegang gagang pintu mobil. Lalu masuk ke dalam.
Dalam perjalanan menuju butik, Rania terdiam tanpa sepatah katapun. Ia mengingat pembicaraannya semalam bersama ibunya tentang perjodohannya dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Semakin mengingat Rania semakin larut dalam imajinasinya tentang seperti apa dan bagaimana sosok laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti?
Rasanya sungguh sangat sulit dipercaya, kenapa aku bisa berada dalam keadaan seperti ini? Dan kenapa aku bisa mencintai laki-laki jahat yang pergi tanpa sepatah kata pun? Sebegitu tidak berartinya aku dimatanya. Rania tertegun dalam lamunannya dengan tubuh dan kepala menyandar di samping kaca mobil.
Ngiiiiiiik..... Tiba-tiba ferdian mendadak menghentikan mobilnya yang sedang melaju dengan kecepatan normal hingga menyadarkan lamunan Rania yang sepanjang jalan hanya diam dan melamun.
" Ada apa pak? Apa bannya bocor? " Tanya Rania dengan cemas.
" Saya tidak tahu pasti non, tapi sepertinya saya menabrak sesuatu. " Ferdian menjawab dengan raut wajah panik.
" Coba keluar dan cek apa sebenarnya! " perintah Rania.
" Non... Nona saya menabrak kucing. " dengan perasaan bersalah dan suara terbata, Ferdian mengatakan apa yang dilihatnya.
Seekor kucing yang sudah tergeletak di depan ban mobil kanan Rania.
Apa... Pak ferdi menabrak kucing? Oh tuhan semoga ini bukan pertanda buruk. Batin Rania cemas bercampur sedih karena merasa bersalah pada kucing yang ditabrak ferdian meski tidak sengaja.
" Ya sudah bawa masuk kedalam mobil dan tolong dikubur dengan baik di samping butik ya pak. " pinta Rania.
Lalu mereka bergegas melanjutkan perjalanan menuju butik milik Rania.
Sesampainya di butik, seperti biasa Rania menyapa satu persatu karyawannya dengan senyum manis dan wajah riangnya.
Setelah seharian di dalam butik, duduk disebuah kursi lengkap dengan meja dan juga peralatan tulis (pensil, penghapus, penggaris, dll) memeras otaknya lalu menuangkannya kedalam secarik kertas yg ada di meja kerjanya.
Masih dengan posisi tangan kiri memegang kepala yang menyandar miring ke samping kiri. dan tangan kanan memegang pensil, menggerakkan beberapa gerakan tangan membuat sketsa gaun. Tiba-tiba terdengar suara hand phone yang berada tepat di samping kanannya.
" Trrrrrrrrrddd... My MoM. " ibunya memanggil lewat hand phone.
Ada apa ibu menelepon sore-sore gini? Gak biasanya. Rania membatin.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
lisa Lisa
lanjut👍👍👍
2020-05-31
0
Andi Minarmi
asyik jg
2020-05-16
0
Lale Ajha
q dh mampir NH thor
2020-04-16
0