"Setiap orang bersalah untuk setiap hal baik yang bisa dilakukan namun tidak dilaksanakannya" kalimat sederhana itu terngiang terus di telingaku..
Sepenggal kalimat kotbah seorang pemuka agama yang pernah ku dengar dulu, terpatri secara permanen tidak hanya di pikiranku, namun juga di loh hati ini.
Itulah sebabnya aku merasa tidak bisa tinggal diam di istana megah di rumah keluargaku, tidak juga senang dengan segala fasilitas mewah yang ku miliki dan selalu ditakut-takuti akan diambil kalau tidak bisa jadi pelengkap dalam keluarga.
Memang seh tuntutan sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara, tidak seberat beban yang dipikul Koko tertuaku, yang harus serba bisa dan jadi teladan bagi adik-adiknya, tapi sesuatu dlm hatiku seringkali memberontak.. terlebih ketika melihat begitu banyak uang yang dihambur-hamburkan keluargaku untuk mendekorasi rumah secara unik dalam setiap acara.. belum lagi bahan pangan dan lain-lain yang terkesan terlalu berlebih, padahal tak jauh dari komplek rumah kami, banyak sekali keluarga dan anak-anak yang membutuhkan dan akan merasa terbantu dengan diberikan sedikit saja bagian dari kemewahan berlebih ini.
Memang keluargaku, tidak hanya terkenal kaya raya, namun juga tergolong dermawan dengan kerap memberikan sejumlah sumbangan tetap dan bantuan sewaktu-waktu melalui beberapa yayasan dan panti sosial, namun semuanya hanya terasa semu dan terkesan rutinitas untuk pencitraan semata.
Masa ngasih sumbangan bawa-bawa media dan harus ada peliputan? Belum lagi publish nominalnya (ria banged ga seh?) dan tentu saja sejumlah kerepotan yang terjadi dalam rangka mempersiapkan acara pemberian sumbangan tersebut (EO, sewa gedung, bikin undangan, katering, bayar wartawan dsb), yang sekilas dilihat saja pastinya memakan dana lebih besar daripada jumlah yang disumbangkan..
Sedari kecil, aku sering kabur dari acara-acara keluargaku, bukan hanya karena aku merasa bosan dicubitin pipi ini dan dipuja-puji sebagai kesayangan keluarga (terutama oleh orang-orang yang menjilat orangtuaku), tapi jg karena aku tidak rela melihat begitu berlimpahnya makanan yang lebih banyak terbuang daripada yang sanggup tamu-tamu orangtuaku habiskan. Sedari kecil aku sering membawa tas kain berisi cemilan-cemilan yang aku sembunyikan dari acara dan ku bawa ke perumahan belakang komplek rumah kami.
Teringat kembali kenangan sore itu, aku masih cukup kecil namun sudah dapat mengingat betapa rasa bosan membuatku keluar dari rumah kami yang ramai oleh para tamu dengan gemerlapnya pakaian mereka masing-masing.
Aku menyelinap dari penjaga rumah yang sibuk mengatur parkiran mobil-mobil mewah dan tampak sampai menguar ke jalan depan rumah kami.
Sebenarnya aku hanya berencana ke taman komplek untuk bermain ayunan sesaat sambil membuka kancing-kancing rompi dan dasi kupu-kupu yang dipakaikan pelayanku beberapa jam sebelum acara dimulai.
Tapi tiba-tiba saja perhatianku tertarik pada seorang anak seusiaku yang sepertinya diajak ayahnya (tukang kumpul sampah komplek kami) untuk bekerja.
Aku melihat betapa lusuhnya pakaian dan alas kaki si anak dan ayahnya tersebut. Namun mereka tampak tetap tersenyum riang dan sesekali sang ayah mengelus kepala anaknya sambil tergelak, seakan yang disampaikan anaknya tersebut sangat menghibur hatinya.
Aku teringat pada hardikan dan makian dari Papa dan Mama yang seringkali terlontar bagi Koko, Cici dan dirinya. Mereka dituntut selalu tampil sempurna, berkelas dan indah dipandang, yang artinya tidak bertindak sembarangan, tidak boleh lari-lari, apalagi loncat-loncatan sampai berkeringat dan mengotori pakaian, tidak menggunakan bahasa yang tidak sopan, tidak membantah kata-kata orang tua, tidak... tidak... tidak... dan banyak tidak-tidak lainnya.
Untuk mendapatkan sekilas senyum dari Papa ataupun Mama, mereka harus memiliki prestasi tertentu yang membanggakan, seperti ketika Ian berhasil menjadi lulusan terbaik di TK-nya, atau ketika menang kejuaraan mewarnai.
...***...
Perlakuan si-tukang sampah kepada anaknya mengusik keingintahuanku. Apa yang sudah dilakukan atau dihasilkan si-anak yang membuat ayahnya tampak bangga dan bahagia demikian. Ian kecil pun mengikuti mereka dari kejauhan.
Mereka berjalan santai mengelilingi komplek mewah tersebut sambil mengangkat plastic-plastik sampah yang sudah dipilah di tempat-tempat sampah depan rumah-rumah mewah yang jumlahnya tidak terlalu banyak ini (sampah sore memang tidak sebanyak sampah pagi).
Setelah semua sampah terangkut, tiba-tiba si-ayah mengangkat anaknya ke bahunya yang tampak tergelak dan terlihat senang sekali. Sambil mendorong gerobak sampahnya, si-ayah berjalan ke arah pembuangan sampah di belakang komplek dan dengan sabar mendengarkan celotehan si-anak.
Sungguh pemandangan yang langka buat aku yang masih kecil kala itu.
"Hei, kamu si-wajah sedih, mau bermain bersamaku?" teringat aku pada sebuah suara kecil yang menyapanku tak lama kemudian.
Selanjutnya yang aku ingat, aku kemudian menjadi tamu tetap anak-anak di perumahan kumuh itu. Aki selalu merasa bahagia bermain bersama mereka, apalagi ketika aku datang membawa panganan di tas kainku. Aku bahagia ketika merasa dibutuhkan dan hatiku berdendang jika bisa berbagi.
Tidak terlalu ku pedulikan omelan pengasuh bahkan makian kedua orangtuaku ketika mengetahui kebiasaan baru-ku tersebut. Bahkan aku hanya sempat merasa sedih sesaat ketika suatu sore aku melihat perumahan kumuh tersebut telah rata dengan tanah dan tidak ada lagi teman-teman kecil yang menyapa ku riang, menunggu pembagian kue dari tas kainnya.
Yang pasti, aku tidak membiarkan hati ini bersedih-sedih terlalu lama, karena dalam perjalannya pergi-pulang sekolah, aku kerap melihat bahwa ternyata banyak perumahan-perumahan kumuh lainnya.
Aku selalu membawakan hadiah-hadiah.. seperti peralatan sekolahku yang selalu berlebihan tersedia, makanan/minuman yang ku ambil dari gudang rumah kami, baju-baju yang sudah tidak terpakai bahkan kain sprai dan sarung bantal-guling yang bisa ia temukan.
...***...
"Hei kamu si-wajah sedih.. jangan bengong, itu ada senior yang menyuruh kita baris.." sapaan riang itu membuyarkan lamunannya.
Aku melihat pada seorang gadis cantik berambut kemerahan yang nyengir di sebelahku, yang langsung bergerak lincah ke barisan.
'Apa sapaannya tadi? Si-Wajah Sedih?' batinku aga sedikit teringat dengan masa lalu.
Tak jauh dari kerumunan teman-teman seangkatannya, tampak seorang senior menurunkan tas tangannya di samping kakinya dan berkata tegas: "Perhatian adik-adik semua, silahkan tinggalkan koper kalian di trotoar itu dan berbaris 3 sab, SIAP GRAK!"
Melihat ke arahku dia kembali berkata "Hei kamu yang sipit, jadi komandan pasukan kamu, berdiri disamping kanan pasukan".
'Sial neh senior, mentang-mentang badannya besar, seenaknya aja ngatain orang sipit, ga tau apa dia kalau ada yang namanya UU anti-body-shaming?' batinku lirih.. Namun tak urung ku lakukan juga 22yang diperintahkannya.
"ISTIRAHAT DI TEMPAT GRAK.. Perhatian ya, selamat datang di ksatrian, selama tinggal di sini akan ada beberapa peraturan yang harus kalian taati, untuk lebih detail akan dijelaskan nanti, namun sekilas sy informasikan, tidak ada yang bergerak apalagi jalan seenaknya disini, kalian harus berbaris dengan rapi. Komandan pasukan wajib memberikan hormat/ppm kepada setiap senior, dosen, pelatih ataupun pengasuh yang kalian temui.." perintah si senior galak, kata-katanya sempat terhenti sesaat, namun dilanjutkan: "Untuk sekarang, kalian harus menunggu dalam barisan seperti ini sampai ada pemberitahuan lebih lanjut."
"Maaf ka' Han, apakah kami boleh ke toilet?" sebuah suara cempreng dan ceria menahan langkah kaki si senior ketika akan berbalik.
"Silahkan ke arah PKD, bergantian dan yang tinggal tetap berbaris!" jawabnya sambil melotot ke arah sumber suara, yang tak lain ternyata si gadis berambut kemerahan tadi, yang langsung keluar dari barisan dan berlari lincah ke arah PKD.
"Berhenti, kamu bisa jalan tertib kan?" tegurnya galak.
"Maaf ka, sudah kebelet.." gadis berambut kemerahan tadi menjawab tanpa menoleh dan terus berlari lincah. Gadis yang ceria dan berani.
"Ok yang lain tetap dalam barisan!" perintah si-senior, kembali melirik ke arahku, seakan memerintahkan supaya aku bisa mengontrol pasukanku. Ia tampak dongkol ketika melangkah mengikuti arah lari si gadis berani tadi.
Di kejauhan, ku lihat bapak pimpinan rombongan kami bersama seorang senior lain, yang tampak lebih manusiawi (karena badannya tidak sebesar badan ka'Han dan terlihat ramah, sama sekali tidak seperti ka'Han yang selalu pasang "muka ngeden lagi pup"), berjalan menuju yang disebut pos PKD.
Lalu tampak seorang senior putri lewat dengan menekuk wajahnya di depan barisan kami.
Wajahnya sebenarnya lumayan enak dilihat, tapi keacuhannya akan sekitar menguar jelas.
Ia sama sekali tidak mengindahkan keberadaan kami. Tatapan tajamnya ketika sekilas melihat ke arah kami pun tampak seakan melihat semak di pinggir jalan, yang tidak terlalu indah untuk menyita perhatiannya dan tidak terlalu perlu juga untuk dipedulikan, karena memang tidak bermanfaat apa-apa buat dirinya.
...***...
Baru sesaat kami tiba disini, bahkan melewati gerbang depannya pun belum, sudah ada 3 karakter senior yang ku temui.
Wasana Praja yang merasa diri berkuasa, Nindya Praja yang ramah berwibawa dan Madya Praja yang acuh dan tampak tertekan.
Ini pengalaman pertamaku hidup dalam sekolah kedinasan. Beragam karakter manusia akan aku pelajari di tempat ini.. Konon sekolah ini sering dianalogikan sebagai Indonesia mini, semua suku bangsa, semua agama dan semua karakter manusia Indonesia ada di sini.. benar-benar tempat yang tepat untuk menimba ilmu dan belajar tentang keberagaman.
Slogan yang kubaca ketika mencaritahu tentang sekolah kedinasan ini pun sangat keren "ABDI PRAJA DARMA SATIA NAGARA BHAKTI".
'Kalau nanti sudah mulai pendidikan, aku berjanji pada diri sendiri untuk menjadi seperti senior yang manusiawi tadi, lebih banyak mengolah otak daripada otot, menyebarkan kebaikan bukan ketakutan, mengunggah rasa hormat dari para junior dan bukan memaksakannya.. peduli kepada kepentingan orang lain dan tidak terfokus pada diri sendiri saja.. Semoga aku bisa menjadi semakin bijak dan menjadi semakin bermanfaat bagi banyak orang.. semoga tidak ada masalah lanjutan dari orang tua dan keluargaku yang lainnya, semoga.. semoga... dan semoga...' batinku lirih.
Hidupnya di ksatrian akan segera dimulai, mari berjuang demi hidup itu sendiri..
...***...
《Foto ini inspirasi penulis menggambarkan karakter seorang Ian》
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
🇮🇩⭕Nony kinoy❃hiat🇵🇸
Memang kebahagian tdk dpt di lihat dr sisi materi saja, kadang orng yg serba kekurangan nampak lebih bebas dan bahagia, tp mereka jg ada sisi kesusahan yg dpt kita rasa kan😔
2022-12-02
2
PYS
Ian-nya kurang sipit ya thor.. 🤔
2022-07-21
3
Author yang kece dong
semangat kaka
2022-05-10
2