“Cih. Sekarang saja kau akui bahwa dia adalah anakmu, dan apa kau sadar dengan ucapanmu barusan? Setelah Diana mati dengan mengenaskan karna ulahmu sendiri! Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri!” seru Amel, suaranya tak kalah tingginya dengan Haris. “Kau lebih memalukan...” tekan Amel.
“Kau benar. Dan mulai sekarang aku akan menebus semua kesalahanku pada Diana, dengan menjamin kebahagiaan Alin. Jika perlu akan aku jadikan dia pewaris yayasan selanjutnya, jika putramu yang bodoh itu tidak bisa mencapai tempatnya tanpa bantuan orang lain.” Haris melangkah keluar kamar, menutup pintu dengan kasar.
Amel tampak sangat terkejut mendengar ucapan Haris barusan, tangannya mengepal dengan kuat napasnya terdengar memburu. “Anakku adalah satu-satunya pewaris yayasan. Tidak akan aku biarkan orang lain menggantikannya.” geram Amel.
***
Sudah seminggu lamanya Alin tinggal di rumah Wira. Kegiatan sehari-harinya adalah membantu Mama wira membuat kue pesanan pelanggan. Terkadang, Alin juga menemani Mama pergi ke pasar desa untuk berbelanja. Hampir setiap hari pesanan baru terus berdatangan.
“Banyak juga ya Ma, pesanan yang masuk,” ujar Alin saat menyusun kotak-kotak kue ke atas meja.
“Iya nak Alin. Kalau nak Alin cape pergilah istiraha, Mama tidak apa-apa, biar Mama yang bereskan, ini kan tinggal sedikit lagi.” ujar Mama. Mengusap punggung Alin.
“Eh, aku bukanya mengeluh kok Ma. Cuma heran saja kok pesanannya sampai sebanyak ini he he he...” Alin menyengir merasa tidak enak pada Mama Wira.
“Iya, ini biasanya Mama ada yang bantu, Cuma anaknya lagi pergi keluar kota, ada acara keluarga katanya.” ujar Mama.
“Oh, baguslah kalau Mama ada yang bantu, kalau tidak, Mama pasti bakalan rempong mengurus ini semua sendirian.” imbuh Alin. “Untung ada aku saat dia cuti. Iya kan, Ma.” seru Alin.
“Hahaha. Iya, iya Mama sangat beruntung ada nak Alin di sini yang mau bantuin Mama.” Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis yang tinggal di rumahnya selama seminggu ini selalu membuatnya tertawa dengan kepolosannya.
Wira yang pergi sejak hari kelulusan, tidak pernah menampakkan batang hidungnya di rumah itu lagi. Saat di telepon oleh Mama, alasannya karna dia sudah mulai bekerja di rumah sakit besar di kota. Wira bahkan tidak mengizinkan Mamanya datang di hari kelulusannya.
“Kok Mama ngga pergi sama Wira?” tannya Alin bingung, saat melihat Wira pamit pada Mamanya pagi itu.
“Acaranya ngga penting juga.” jawab Wira sekenanya.
Karna masih penasaran Alin pun mengulangi pertanyaannya pada Mama.
“Kata Wira acaranya ngga penting gitu, cuma buat foto-foto doang. Ngapain Mama susah-susah ke kota, jauh juga.” jawab Mama. “Apa nak Alin tahu Wira mendapat banyak hadiah, karna dia lulusan terbaik ke dua, Hadiahnya uang satu goni, Mama tidak perlu lagi membuat kue dua tahun ini.” Mama terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu ngga pulang ke kota?” tannya Wira saat mereka berada di teras rumah, hendak mengantar kepergian Wira.
Alin mengerlingkan matanya, menatap sinis pada Wira “ Pelit amat sih lo. Perasaan gue ngga banyak makan, malah sering bantu-bantu Mama beberes. Kasih gue waktu sebentar lagi napa!” Alin menggerutu.
“Janji kamu kemarin cuma satu malam, ini su_”
“Sudah, sana pergi nanti telat lagi ke acara kelulusannya.” Mama memotong ucapan Wira. “Biarkan nak Alin tetap tinggal di sini sepuasnya. Kapan lagi Mama bisa punya anak secantik ini.” Mama menggandeng tangan Alin. “hati-hati di jalan!” Mama melambaikan tangannya, dan masuk ke dalam rumah bersama Alin, padahal Wira belum berangkat, bahkan masuk ke mobil pun belum. Sejak hari itu lah Wira tidak pernah pulang ke rumahnya lagi.
*
“Mama sepertinya ada yang datang!” seru Alin, dia mendengar ada sebuah kendaraan berhenti di halaman rumah. “Pasti ingin mengambil kue ini. Alin liat ke luar bentar ya Ma!”
“Loh, Wira! Hmmm... Gue kira jemputan yang datang.” Alin dengan malasnya berbalik badan, hendak kembali masuk ke dalam rumah.
“Aku mau ngomong!” ujar Wira.
Alin menghentikan langkahnya. “Ngomong apa? Kapan Gue pergi dari sini?”
“Ngga. Kamu kenal sama orang ini?” Wira menunjukkan sebuah foto pada Alin.
Dengan cepat Alin merebut foto itu dari tangan Wira, matanya terbelalak. “Lo kok bisa punya fotonya Bibi Fatma!?”
***
Alin langsung menghambur keluar dari mobil, saat Wira masih berusaha untuk memarkirkan mobilnya di parkiran Rumah sakit. Berlari sempoyongan ke arah pintu masuk.
“Akhirnya lo muncul juga!” Alin menghentikan langkahnya, melihat ke arah suara, ternyata David si adik tiri yang menyebalkan. Alin meneruskan langkahnya. “Lo mau kemana! Gue lagi ngomong!” David menahan tangan kiri Alin.
Alin menghembuskan napas, mata sembabnya menatap tajam pada David. “Lepas!”
“Lo mau nengokin pembantu kesayangan lo? Ngga usah repot-repot. Mending langsung lo siapin acara pemakamannya. Karna, sebentar lagi dia bakal.” David menggerakkan tangannya seperti memotong lehernya sendiri, kemudian memiringkan kepalanya, menatap Alin dengan senyuman kemenangan. Alin tidak menyia-nyiakan kesempatan.
“Aww...” Alin menjambak rambut David, lalu menghadiahkan tamparan bertubi-tubi pada wajah David. Tenaga Alin yang tadinya hampir terkuras habis karna menangis sepanjang perjalanan, kembali membara saat memukuli David dengan membabi buta. Karna Alin menyerangnya secara dadakan, David di buat tak berkesempatan untuk membalas, bahkan untuk membebaskan diri pun dia tidak ada kesempatan.
Banyak orang yang menyaksikan pergulatan mereka, namun tak ada yang berani melerai. Mungkin itu hari kesialannya David, security yang biasanya nongkrong di pintu masuk pun tak terlihat batang hidungnya, mungkin sedang kebelet. sehingga penyiksaan yang dia alami berjalan cukup lama.
“Alin. Hei, cukup!!” Wira berlari mendekati Alin dan David. Mendekap tubuh Alin dari belakang, mengangkatnya sedikit, dan menjauhkannya dari David. Alin masih meronta mencoba melepaskan diri dari dekapan Wira. “Alin Stop! Kamu ngga liat ini rumah sakit. Banyak orang yang mengenali kamu dan David, jangan memperburuk keadaan!” Wira berkata sedikit berbisik namun tegas. Itu berhasil, Alin sedikit tenang di buatnya. “Ayo aku antar kamu ke ruangan Bibi Fatma.” Wira menarik tangan Alin, menjauh dari TKP.
Mata Alin masih menatap tajam pada David, hidung David tampak mengeluarkan darah, si empunya tampak meringis.
Alin menyunggingkan seringainya.
Alin melihat Bibi Fatma dari balik jendela kaca, tubuh kurus Bibi Fatma di gerayangi banyak kabel dan selang, Wajahnya terlihat sangat pucat. Air mata Alin kembali mengalir deras. Ia membungkamkan mulutnya dengan tangan agar isakannya tak terdengar oleh orang lain. Perasaan haru dan sedih menyelimuti hatinya, hampir sepuluh tahun lamanya mereka terpisah, dan dia bisa bertemu kembali dalam keadaan Bibi Fatma seperti ini.
Seorang dokter keluar dari ruang Bibi Fatma. Alin buru-buru menghampiri dokter tersebut.
“Dokter! Bagaimana keadaan Bibi Fatma dokter?” Desak Alin, menyeka air matanya dengan telapak tangan.
“Apa Anda keluarga pasien?” tanya dokter. Alin mengaguk cepat.
“Silakan ikut ke ruangan saya.” Alin dan Wira mengikuti dokter dari belakang. “Silakan duduk” Ujar dokter saat mereka telah sampai di ruangannya. “Saya akan langsung saja. Pasien Fatma harus segera melakukan Transplantasi ginjal. Selama di rawat di sini tidak ada kemajuan terhadap kondisi pasien, jadi kita harus segera mencari pendonor dan menentukan jadwal operasi untuk pasien.” Terang dokter.
“Saya dokter, ambil ginjal saya.” ujar Alin.
“Tidak ada tindakan apa pun terhadap Fatma!”
Alin, Wira dan dokter sontak melihat ke arah suara. Dokter langsung berdiri dari duduknya, dia tampak terkejut dengan kedatangan direktur tempatnya bekerja.
“Papa!” pekik Alin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Zulfa
Salken kak, JIKA mampir membawa like nih, mari saling dukung kakak 😍
2021-04-12
0
anggrymom
suka karakter aline. tegas, kuat, pemberani👍
2021-04-11
0
Helis Helis Mariayani
aku syuka thor alin kuat orang nya ?
2021-03-20
0